Membahas generasi seperti tak pernah ada habisnya. Generasi millennial menjadi topik yang cukup menarik, mulai dari segi pendidikan, teknologi maupun moral dan budaya. Istilah milenial berasal dari millennials yang diciptakan dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe, dalam beberapa buku mereka. Secara harfiah memang tidak ada demografi khusus dalam menentukan kelompok generasi yang satu ini. Namun, para pakar menggolongkannya berdasarkan tahun awal dan akhir.
Generasi Millennials yang lagi booming sekarang ini adalah generasi “Z” atau kadang juga disebut dengan iGeneration atau generasi internet atau generasi net. Generasi NET adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X dan Y, yaitu orang yang lahir pada kisaran antara 1998 hingga kini. Maka ini berarti generasi muda yang terlahir dengan akses ke Teknologi yang makin masif dan canggih, bahkan memiliki kemampuan Multitasking. Bahkan gadget sudah menjadi pegangannya dari sejak kecil. Mereka juga adalah orang-orang dengan usia produktif sekaligus konsumen yang mendominasi pasar saat ini. Dunia pendidikan pun khususnya pendidikan tinggi pun kini didominasi generation Net yang merupakan generasi transisi dari Gen Y ke generasi selanjutnya, yaitu Generation Alpha atau Gen “A”.
Nah, Berbicara tentang Generasi Milenial dan Generasi Z, mungkin kita memiliki berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan kedua generasi ini. Beberapa pertanyaan yang mungkin kita pikirkan seperti, “Generasi milenial dari tahun berapa hingga tahun berapa ya? Siapakah generasi milenial? Generasi Z tahun berapa hingga tahun berapa? Apa saja karakteristik generasi milenial dan generasi Z? atau bahkan, Sekarang generasi apa, ya? Pertama-tama, kita memang perlu untuk memahami kedua generasi ini lebih dalam. Mari kita bahas beberapa hal dasar yang perlu diketahui dari Generasi Milenial dan Generasi Z.
Generasi milenial atau milenium adalah generasi yang lahir dari tahun 1980 hingga 1995. Perhitungan ini menandakan bahwa pada tahun 2020, generasi milenial akan berada dalam kisaran umur 25 sampai 40 tahun. Lalu, Apa yang dimaksud dengan gen Z? Generasi Z adalah generasi yang lahir dalam rentang tahun 1995 hingga tahun 2010. Ada juga definisi lain yang mengkategorikan generasi Z sebagai generasi yang lahir antara tahun 1996 hingga 2015. Hal ini mengindikasikan bahwa usia para generasi Z Indonesia di tahun 2020 adalah kisaran umur 5 sampai 24 tahun. Banyak orang yang mengatakan bahwa setelah kehadiran generasi Z, sekarang telah muncul generasi Alpha yang mana generasi ini tidak pernah tahu bagaimana keadaan hidup tanpa teknologi dan tanpa ponsel pintar.
Jika dilihat secara singkat, kedua generasi ini sama-sama masih berusia muda, namun tentu saja generasi milenial dan generasi Z memiliki perbedaannya masing-masing. Lalu, sebenarnya apa saja karakteristik yang dapat kita kenali dari Gen Z ini? dilansir dari Jojonomic.com, berikut ini karakteristiknya.
1. Mahir Teknologi
Gen Z sendiri merupakan generasi yang hidup di zaman teknologi dan hal itu bukan menjadi sebuah rahasia lagi. Bahkan di zaman ini aplikasi komputer mulai berkembang sehingga segala sistem yang ada mulai dilakukan dengan metode komputerisasi. Jadi kemampuan generasi ini dalam menguasai teknologi dirasa merupakan bawaan sejak lahir. Generasi ini tentu dapat melakukan akses dengan cepat dan mudah sehingga bisa lebih diandalkan dalam hal IPTEK.
2. Suka Berkomunikasi
Gen Z memiliki ciri suka berkomunikasi dengan semua kalangan. Saat ini generasi ini semakin mengembangkan proses komunikasinya misalnya dengan menggunakan berbagai macam jejaring sosial yang semakin merebak di dunia internet. Melalui jejaring sosial inilah orang mulai berkomunikasi dan berekspresi secara spontan sehingga terkadang seolah bertindak atau berkata tanpa sopan dan santun.
3. Gemar Mengumbar Privasi
Penggunaan jejaring sosial yang ada dan jumlahnya banyak ini sayangnya digunakan oleh para generasi Z untuk menunjukkan segala hal yang dialaminya. Untuk mengatasi hal ini beberapa orang mulai menggunakan platform yang bersifat lebih privasi dan sementara saja atau tidak permanen.
4. Lebih Mandiri
Karakteristik dari gen Z saat ini jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya adalah lebih mandiri. Generasi ini lebih sering mengambil keputusan secara mandiri tanpa melibatkan peran dan pertimbangan dari orang lain. Tidak hanya itu saja tetapi Anda juga tentu lebih memilih untuk belajar dan berkembang sendiri.
5. Lebih Toleran
Sikap toleransi tampaknya mulai dikembangkan oleh generasi ini. Memang saat ini termasuk di Indonesia rupanya beraneka ragam kultur dan budaya muncul dan semakin berkembang. Demikian pula perbedaan juga semakin banyak ditemukan. Dalam hal ini generasi yang umumnya lahir di akhir abad 19 ini mulai bisa menerima segala perbedaan yang ada dengan sikap lapang dada disertai dengan toleransi. Generasi ini juga dapat menerima dan menghormati semua orang dan lingkungan yang berbeda dengannya.
6. Penuh Ambisi
Gen Z lebih memiliki ambisi yang menggebu-gebu. Karier dan perkembangan diri serta kesuksesan mencerminkan karakter dari generasi di era digital ini. mereka tidak cepat merasa puas diri dan selalu ingin terus berkembang. Mengejar impian selalu diupayakan dengan baik bahkan terkadang mengabaikan kepentingan orang lain. Karakter individualistis dan egosentris mungkin ada di dalam diri gen Z karena adanya ambisi yang penuh
Menurut website salesforce dot com, organisasi layanan jasa dan produk, perusahaan dan bisnis di zaman modern ini harus mengenal dan mengetahui perbedaan antara generasi Z dan generasi milenial. Mengapa demikian? Alasannya karena kedua generasi ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan, terutama dalam cara mereka memilih produk, berbelanja dan menghabiskan waktu. Yuk, kita simak penjelasannya berikut ini.
1. Pengalaman Pelanggan bagi Generasi Milenial Jauh Lebih Penting Dibandingkan Generasi Z
Ketika berbicara tentang pengalaman pelanggan atau customer experience, kita tidak bisa menyamaratakan kedua generasi ini. Fakta membuktikan bahwa generasi milenial adalah generasi yang lebih memperhatikan pengalaman pelanggan atau customer experience daripada generasi Z. Ini terbukti bahwa 74% generasi milenial mengatakan bahwa mereka memiliki standar dan harapan yang tinggi atas pelayanan pelanggan yang diberikan atas produk atau layanan jasa yang mereka gunakan.
Disisi lain, 62% generasi Z mengatakan bahwa pengalaman pelanggan atau customer experience penting untuk mereka. Dengan kata lain, pebisnis dan pengusaha harus bersikap lebih teliti dalam melayani generasi milenial karena mereka memiliki standar pengalaman pelanggan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan generasi Z. Selain itu, oranisasi layanan jasa dan produk, perusahaan dan bisnis juga perlu melakukan riset yang lebih dalam terhadap apa yang lebih diprioritaskan oleh Generasi Z dibandingkan pengalaman pelanggan atau customer experience.
2. Gen Z Memiliki Harapan yang Lebih Tinggi pada Inovasi Dibandingkan Para Generasi Milenial.
Mungkin ini bukan suatu fakta yang mengejutkan jika Gen Z atau Generasi Z memiliki harapan yang lebih tinggi terhadap inovasi-inovasi yang bisa diciptakan oleh perusahaan. Mengapa demikian? Karena Gen Z adalah generasi yang lahir dan tumbuh di dalam era inovasi dan era modern seperti sekarang ini. Penjelasan ini didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 80% generasi milenial menganggap bahwa perkembangan industri yang ada sudah membawa inovasi-inovasi baru dan nilai-nilai pelanggan yang berkualitas. Namun, data menunjukkan bahwa hanya 71% dari generasi Z yang setuju dengan generasi milenial. Maknanya, generasi Z masih belum puas dengan inovasi yang ada pada saat ini dan mengharapkan inovasi-inovasi baru yang lebih membanggakan dari apa yang sudah ada sebelumnya.
3. Generasi Z Sulit Mempercayai Perusahaan Dibandingkan Generasi Milenial.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salesforce Research menunjukkan bahwa 71% generasi milenial mengaku bahwa mereka dapat mempercayai perusahaan. Sedangkan, 63% generasi Z mengatakan bahwa mereka sangat sulit untuk mempercayai perusahaan, terutama dalam hal penggunaan informasi peribadi mereka.
Sementara itu, 62% generasi milenial mengatakan bahwa perusahaan yang dapat menunjukkan tanggung jawab sosial akan lebih mudah meraih kepercayaan mereka, namun hanya 56% generasi Z yang bisa mempercayai perusahaan walaupun perusahaan dapat membuktikan tanggung jawab sosial mereka.
4. Generasi Milenial Bersifat Idealis, Sedangkan Generasi Z Bersifat Pragmatis.
Pernyataan ini berkaitan dengan periode kelahiran antara generasi milenial dan generasi Z. Generasi milenial dibesarkan selama ekonomi booming, sedangkan generasi Z lahir selama resesi terjadi. Oleh karena itu, generasi Z atau gen Z bersifat pragmatis, sedangkan generasi milenial bersifat lebih idealis.
Bagi oranisasi layanan jasa dan produk, perusahaan dan bisnis yang ingin mendapatkan perhatian dari para gen Z, mereka harus memiliki bisnis yang berfokus pada nilai jangka panjang dan investasi yang cerdas, karena mereka tidak ingin resesi yang pernah terjadi pada orang tua mereka terjadi kembali pada mereka.
5. Generasi Milenial Lebih Memprioritaskan Keaslian, Namun Gen Z Membawanya ke Tingkat yang Berbeda.
Generasi milenial adalah generasi yang sangat memprioritaskan keaslian merek atau brand, sedangkan generasi Z akan percaya dengan produk atau layanan jasa yang terasa lebih otentik. Maksudnya, jika ada trendsetter atau duta dari suatu produk yang memang terlihat sangat kredibel, maka generasi Z akan lebih mudah mempercayai dan memilih produk atau layanan jasa tersebut.
6. Generasi Z Lebih Rajin Menabung Dibandingkan Generasi Milenial.
Tumbuh di saat masa resesi datang telah menjadikan generasi Z menjadi anak-anak yang lebih hemat dan bijak dalam mengeluarkan uang. Mereka sangat suka menabung dan mencari investasi jangka panjang. Generasi milenial jauh lebih mementingkan pengalaman. Pengalaman disini maksudnya bagaimana pengalaman yang mereka rasakan dalam membeli dan menggunakan suatu produk, meskipun produk tersebut harus dibeli dengan harga yang mahal.
7. Generasi Z Lebih Suka Berbelanja di Toko, Sedangkan Generasi Milenial Sangat Suka Berbelanja Online.
Meskipun Generasi Z lahir di era inovasi dan era digital, namun mereka sangat suka membeli barang langsung dari tokonya. Mereka suka memilih-milih produk (barang) secara langsung dan nyata, serta memastikan bahwa produk yang ingin mereka beli benar-benar memiliki kualitas yang tinggi.
Hal ini sangat berbeda dengan para generasi milenial yang lebih suka mengandalkan ponsel pintar, laptop dan perangkat teknologi lainnya untuk mencari, memilih dan membeli barang-barang secara online.
8. Generasi Milenial Lebih Memperdulikan Merek, Sedangkan Generasi Z ingin mandiri secara mandiri
Dari dulu, generasi milenial sangat suka untuk memakai barang-barang dengan merek (brand) yang terkenal atau merek yang memang sudah terjamin kualitasnya. Nah, kebiasaan ini masih berlanjut sampai sekarang. Ketika generasi milenial beranjak dewasa, mereka masih mempertahankan hal ini dengan rela membayar mahal demi merek produk yang mereka percayakan. Kondisi ini sangat berbeda dengan generasi Z yang mana mereka akan mengutamakan kenyamanan dan merasa tidak perlu untuk membeli barang-barang yang bermerek mahal, apalagi jika mereka tidak tertarik dengan produk tersebut. Dalam hal ini, generasi Z jauh lebih mandiri dalam menentukan pilihannya terhadap produk yang akan digunakan.
Dalam hal pola konsumsi, banyak dari kalangan generasi Z memutuskan untuk melakukan pembelian suatu produk, setelah melihat review atau testimoni yang dilakukan oleh orang lain di internet. Mereka juga tak segan-segan membagikan pengalaman buruk mereka terhadap suatu merek. Dsisi lain, karaekteristik generasi Z cenderung membanggakan pola hidup kebebasan dan hedonisme. Memiliki visi yang tidak realistis dan terlalu pragmatis , yang penting bisa gaya.
Kesiapan Kampus dan Para Dosen dalam Membelajarkan mahasiswa Generasi “Z”
Pasar kini telah didominasi pelanggan dari generasi Z yang lebih fasih teknologi dan memiliki karakter unik, maka saatnya organisasi bisnis, industri dan khususnya dunia pendidikan mempersiapkan strategi untuk membidik mereka. Bagaimana pendekatan setiap organisasi pendidikan maupun bisnis yang bersentuhan dengan mereka, entah sebagai workforce maupun pelanggan.
Beberapa organisasi layanan jasa dan produk, perusahaan bisnis dan industri telah melakukan berbagai langkah strategi dalam menghadapi Generasi “Z”, seperti Netfix, sebuah perusahaan dengan bisnis Video streaming, memanfatkan platform media social, seperti Twitter dan Facebook untuk memikat dan berinteraksi dengan pelanggan millennial. Netfix mengakomodasi kesenangan gen Z itu melalui setting serta fitur yang memudahkan pelanggan mengoneksikan Netfix dengan media social. Lewat media social pula, Netfix mengkampanyekan brand-nya untuk memikat calon pelanggan potensial.
“Share a Coke” yang dibuat Coca Cola mungkin menjadi contoh berikutnya. Pelanggan kian menyukai produk-produk yang dipersonalisasi. Dalam kampanye ini, coca-cola menuliskan 250 nama terpopuler di kalangan pelanggan usia belasan tahun dan millennial di botol coca-cola ukuran tertentu. Selain itu coca-cola juga membuat situs web khusus di mana pelanggan dapat menemukan hal-hal menarik seputar nama mereka, memesan botol dengan nama mereka dan mencari tahu jadwal Tur Share a Coke. Menurut Wall Street Jurnal, penjualan minuman ringan Coca Cola meningkat sebanyak dua persen setelah kampanye itu dilakukan.
Carieer.com sebagai Perusahaan dalam bidang perekrutan SDM sudah mengambil peran dalam mengantisipasi Generasi Millenial “Z” dalam indutri dan Implementasi pengembangan SDM di Indonesia khususnya, pemanfaatan teknologi dalam proses perekrutan secara “online”. Begitupula di bidang Industri penyiaran dan pertelevisian di Indonesia, hampir 90 % karyawan dan staffnnya adalah dari generasi Millenial. Dan banyak Perusahaan Nasional dan Multinasional lainnya di Indonesia didukung dengan technologi sudah dapat meng-implementasikan Strategi bisnisnya dalam menghadapi Generasi “Z” ini, sehingga mendapatkan peluang dan benefit significant dalam menjalankan bisnis Industrinya, Seperti “Online Shopping”, “Transportasi Online “ dan lainnya.
Kesiapan Kampus
Generasi Z adalah generasi yang mendominasi peserta didik di perguruan tinggi kekinian. Kalangan dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi wajib memahami sifat dan perilaku millennial gen Z ini, agar praktek pendidikan dan pembelajaran yang dilaksanakan dapat diterima mereka. Sederet karakter generasi Z tentu patut diperhitungkan institusi pendidikan tinggi yang bersentuhan dengan mereka sebagai pelanggan. Nah, beberapa hal yang perlu dipersiapkan kampus dalam menghadapi genersi Z, yaitu:
Kesiapan Infrastuktur teknologi : Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan hal yang wajib adanya. Dari sisi teknologi, sangat mempengaruhi kesiapan kehadiran calon mahasiswa atau Mahasiswa di institusi pendidikan, termasuk sarana dan prasarana Laboraturium Praktikum, Perpustakaan dan pendukung Teknologi lainnya yang akan menjadi Impresi awal saat pertama kali diperkenalkan dengan dunia kampus.
Kesiapan Tenaga Dosen: Mendidik generasi mahasiswa di masa sekarang tentunya berbeda dengan generasi sebelumnya. Perkembangan zaman dan teknologi menjadi salah faktor satu penyebabnya. Saat ini, kalangan mahasiswa merupakan generasi z dan Y, sedangkan para pendidik masih didominasi generasi X. Gap tersebut kerap membuat tidak selarasnya proses pembelajaran di kelas.
Dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi, penulis dapat mendefiniskan beberapa hal yang harus saling menyesuaikan :
Pertama, Mahasiswanya. Generasi millennial itu cenderung melakukan sesuatu sesuai dengan keinginananya. Kalau tidak suka, mereka tidak mau melaksanakan. Kalau mereka tidak suka atau terlalu banyak teori akhirnya malas, oleh sebab itu, bahwa pendidik atau dosen harus mampu menyesuaikan sifat para mahasiswanya, mahasiswa saat ini tidak bisa dipaksa untuk menuruti semua arahannya. Para dosen harus menemukan cara untuk membuat mahasiswa suka dengan apa yang diajarkannya
Kedua, Kebutuhan Kurikulum Mata Kuliah dan beradaptasi dengan era industri Industri 4.0. Dunia kerja dan industri Industri butuh SDM yang mau berinovasi sehingga penting untuk menumbuhkan kreativitas mahasiswa. Bahkan beberapa perusahaan menerapkan analisis pendidikan. Berdasarkan suatu penelitian, ada titik tertentu ketika seseorang memiliki IPK tinggi, justru ada gap besar dengan kemampuannya di dunia kerja. Ini yang menyebabkan perusahaan tidak hanya melihat dari segi akademis saja atau tidak lagi hanya merekrut lulusan yang punya IPK tinggi.
Perguruan tinggi harus meramu materi kurikulum dan Implementasinya di Industri sehingga wawasan Mahasiswa akan terbentuk dan Industri tidak lagi mengeluarkan biaya untuk pengembangan SDM baru dalam Industrinya (siap bekerja/pakai).
Ketiga, Teknik Pengajaran. Pemberian Praktikum dan Penulisan Karya Ilmiah / Proyek dalam setiap mata kuliah proposional sebesar 70% dan Teori 30% akan menjadi nilai tambah wawasan pada mahasiswa termasuk dosen dituntut untuk merepresentasikan kapasitasnya.
Kesiapan Para Dosen
Kita tahu, setiap perubahan, seperti yang terjadi karena teknologi informasi, melahirkan kegamangan dan tantangan berat di berbagai aspek kehidupan. Tugas pendidik membimbing agar peserta didik tidak tersesat dalam rimba transisi ini.
Dosen kekinian dituntut harus mampu mengidentifikasi langkah-langkah yang dapat digunakan untuk mempromosikan kegiatan belajar-mengajar yang menyenangkan. Menemukan cara terbaik untuk menjadi dosen sesungguhnya dan bagaimana seorang dosen berkembang menjadi pendidik yang kreatif. Mampu mendorong peserta didik agar mengalami perkembangan kemampuan kognitif dan kreativitas.
Tanpa kehendak mendorong peserta didik untuk mengembangkan kreativitas, jangan berharap dunia pendidikan dapat mengurangi problem sosial kemasyarakatan. Dunia berkembang dengan cepat, motede dan strategi butuh prosedur dan waktu khusus untuk disesuaikan. Di titik inilah, para dosen, pendeknya pendidik, harus terus mengembangkan profesionalisme.
Mengutip Phenix, Buchori (2011) merangkai tujuan pendidikan sebagai proses mengantarkan peserta didik kepada kemampuan menghidupi diri sendiri, hidup bermakna/memaknai kehidupan, dan kemampuan untuk hidup mulia serta memuliakan kehidupan. Profesionalisme dikembangkan di atas pijakan itu.
Juga dikatakan Buchori, dari aspek penekanannya ada dua jenis pendidik profesional. Pertama, pendidik yang menekankan penguasaan materi pembelajaran dan kedua, lebih memperhatikan cara atau metode belajar yang digunakan peserta didik. Yang pertama dapat dipandang sebagai transmitter of knowledge atau ‘penerus pengetahuan’, sedangkan yang kedua disebutnya sebagai ‘pembimbing’.
Seorang pendidik sebagai ‘penerus pengetahuan’ selalu bersemangat mengotak-atik materi pembelajaran, mencoba hal-hal baru, mengembangkan kombinasi baru berbagai jenis materi hingga mungkin menghasilkan kemasan-kemasan materi pelajaran baru dan segar bahkan untuk suatu pelajaran klasik seperti sejarah.
Sementara itu, seorang pendidik sebagai ‘pembimbing’ memberi perhatian lebih pada masalah peserta didik daripada (pembaharuan) materi pelajaran. Mereka terutama memperhatikan cara belajar dan peserta didik sebagai pribadi yang menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan mereka, selain prestasi akademiknya.
Tipe lain, pendidik sebagai ‘pembimbing belajar’, yang mengembangkan diri dengan terus-menerus memperdalam pengetahuan serta keterampilan dalam proses belajar. Ia mampu mendiagnosis kesulitan belajar, berkreasi, dan jika perlu, mengembangkan metode belajar sebagai terapi.
Bagaimana dengan pendidik sebagai ‘pembimbing peserta didik? Pendidik tipe ini sangat tertarik pada peserta didik sebagai pribadi-pribadi. Ia concern pada peserta didik sebagai bagian dari kehidupan sosial, budaya, dan bidang lain. Ia memupuk pandangan-pandangan logis tentang politik, agama.
Tipe terakhir, pendidik sebagai ‘pembimbing perjalanan transisi kultural’. Ia membimbing peserta didik menjalani proses transisi kultural, suatu proses yang sedang berlangsung dalam diri kita sebagai bangsa, atau bahkan sebagai manusia di tengah kemajuan zaman. Proses transisi kultural yang kompleks, akan sangat sulit dihadapi peserta didik seorang diri.
Dosen sebagai Pembimbing transisi kultural
Secara umum, mayoritas pendidik hari ini sedang menghadapi para peserta didik dari gen Z, atau generasi millennial yang sudah, tengah, dan masih akan terus berselancar di tengah transisi budaya. Ditilik dari domain kehidupannya secara umum, generasi ini hidup di dunia internet, selain rumah, sekolah, kampus, ruang publik lainnya.
Karakter anak milenial terbentuk oleh zaman yang disebut Terry Flew (2016) sebagai era konvergen media sosial, sebuah era yang media dikuasai siapa saja sebagai alat produksi beragam pesan. Tidak ada lagi barrier, produksi dan reproduksi pesan dilakukan dengan biaya murah, partisipatif dan masif oleh siapa pun. Di dunia seperti inilah peserta didik kita hari ini ‘hidup’. Mereka ialah ‘penduduk asli’ dunia digital (native digital).
Berapa pun rerata usia para dosen hari ini, jumlah mereka yang lahir sebelum era ‘80-an masih sangat signifikan. Artinya, para pendidik umumnya merupakan pendatang di dunia digital (digital immigrant). Ketika para pendidik (masih) berkutat dengan buku-buku dan media cetak, para mahasiswa hidup dan banyak ‘berguru’ secara mandiri melalui media digital. Tentu saja, mendidik di era ini tidak mudah. Namun, barangkali, kita bisa mulai beberapa langkah.
Pertama, memastikan diri terus belajar atau bersedia meng-uprade pemahaman serta keterampilan menggunakan media baru.
Kedua, secara logis dan kreatif menunjukkan betapa produk teknologi informasi sebagaimana teknologi apa pun--ialah pisau bermata dua. Bisa membuat mereka lebih baik, atau sebaliknya.
Ketiga, menjadikan kekayaan dunia digital sebagai ruang belajar bersama, alih-alih menegasikannya. Pemanfaatan e-learning, penugasan menulis dengan bimbingan ketat melalui personal blog, mengembankan kreativitas lewat film pendek, iklan, dan lain sebagainya sekadar contoh dalam konteks ini.
Keempat, perkuat jaringan, belajar bersama, sebagaimana (salah satu) ‘amanah’ era digital: perbanyak kolaborasi.
Ketersediaan berbagai informasi dan aplikasi yang tersedia tentu sangat mendukung Keinginan dosen untuk terus belajar. Banyak website yang bisa dijadikan rujukan untuk menambah pengetahuan dan wawasan, bahkan bisa secara praktis digunakan sebagai media ajar. Dengan sedikit penyesuaian, seorang dosen akan sangat tertolong menciptakan kelas yang dinamis dan menarik. Tersedia pula berbagai aplikasi--gratis maupun berbayar--yang bisa digunakan untuk berinteraksi dengan para peserta didik, berdiskusi, menyampaikan tugas dan mengoreksinya secara simultan.
Dosen kekinian dituntut menjadi ‘pembimbing perjalanan transisi kultural’ para peserta didik, memperbaiki cara-cara mentransmisi pengetahuan, memperbaharui metode, strategi dan pendekatan sebagai seorang pembimbing agar peserta didik tumbuh mandiri, hidup mulia dan mampu memuliakan kehidupan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, diperlukan kesiapan para Pemangku Kepentingan Pendidikan di Indonesia dalam menghadapi era perubahan generasi yang dinamis, terutama Kompetensi dan Kapasitas para Dosen yang menguasai Praktikal lapangan disesuaikan dengan Kurikulum mata kuliah yang diajarkan.
Link & Match, Sektor Pendidikan dan Industri diperlukan sehingga dapat menyerap hasil Lulusan perguruan tinggi dengan Industri yang ada. Apa jadinya mutu SDM kita dikemudian hari bila sektor Pendidikan tidak “compliance” dengan Industri yang ada bertumbuh ?
Akhir kata, semoga Tulisan ini menjadi Sharing bagi semua kalangan Khususnya semua Pemangku Kepentingan dalam Dunia Pendidikan Tinggi di Indonesia dalam rangka membelajarkan generasi milenial untuk SDM Indonesia kedepan yang lebih baik.
Comments