Tentang Mengajar dan Pendekatan Student Centered Learning
- Yusrin Ahmad Tosepu
- Jul 7, 2021
- 29 min read

PENGANTAR
Mengajar bukan sesuatu yang asing bagi dosen atau guru, itu kerjaan sehari-hari. Sebagai dosen, Anda pun pasti sudah memiliki pandangan dan keyakinan tentang mengajar. Anda mungkin sudah punya metafor tentang mengajar. Dalam menjalankan tugasnya sebagai penyaji pelajaran khususnya di kelas, dosen tidak hanya dituntut mentransfer pengetahuan atau isi pelajaran yang ia sajikan kepada para peserta didiknya melainkan lebih dari itu.
Mengajar bahkan mengandung konotasi membimbing dan membantu untuk meraih kecakapan cipta, rasa, dan karsa yang menyeluruh dan utuh. Sudah tentu kecakapan-kecakapan seluruh ranah psikologis tersebut tak bisa dicapai sekaligus tetapi berproses, setahap demi setahap. Dan dari penjelasan diatas, kita sangat perlu mempelajari tentang arti penting mengajar.
Mengajar merupakan istilah kunci yang hampir tak pernah luput dari pembahasan mengenai pendidikan karena keeratan hubungan antara keduanya. Sebagian orang menganggap mengajar hanya sebagian dari upaya pendidikan. Mengajar hanya salah satu cara mendidik, maka pendidikan pun dapat berlangsung tanpa pengajaran. Sebagian orang lagi menganggap bahwa mengajar tak berbeda dengan mendidik.
Setiap kegiatan kependidikan hanya dapat dilakukan oleh tenaga pendidik yang mempunyai wewenang mengajar, yakni guru atau dosen. Meskipun hingga kini masih banyak orang yang bersikeras mempertahankan ketidaksamaan antara mengajar dan mendidik, dalam kenyataan sehari-hari tidak terdapat perbedaan yang tegas antara keduanya.
PEMBAHASAN
Definisi dan Contoh Mengajar
Pengertian yang umum dipahami orang terutama mereka yang awam dalam bidang-bidang studi kependidikan, ialah bahwa mengajar itu merupakan penyampaian pengetahuan dan kebudayaan kepada peserta didik. Sedangkan dalam bahasa Inggris kata mengajar, instruction [Inggris, berarti: perintah]. Kata mengajar sama dengan instruction, berarti memberikan perintah. Sebagai kata kerja, instruction, berarti dosen harus memberikan perintah kepada Mahasiswa. Tentu saja, sebagai suatu perintah, berarti ada pesan (isi) dari perintah itu.
Isi dari perintah biasanya berupa meminta orang lain [Mahasiswa] untuk melakukan sesuatu. Jika seorang ayah memerintahkan anaknya, "Adik, tolong ambilkan ayah gelas yang ada di meja", berarti si Ayah memerintahkan si-Adik untuk melakukan sesuatu [mengambil gelas] yang ada di meja. Ada tiga kemungkinan tanggapan ketika si Adik menerima perintah itu dari ayahnya:
1. Menolak perintah, berarti tidak melakukan apa yang diperintahkan;
2. Mengerjakan apa yang diperintahkan dengan benar, berarti "Si Adik mengambil gelas, bukan mengambil piring";
3. Mengerjakan apa yang diperintahkan dengan salah, berarti "Si Adik mengambil piring, bukan mengambil gelas".
Kegiatan mengajar terkait dengan kondisi seperti di si Ayah. Mari kita bahas satu per satu.
Pertama, si Adik menanggapinya dengan menolak perintah [Si Adik tidak mengerjakan apa yang diperintahkan oleh si Ayah]. Mengapa si Adik menolak perintah ayah? Ada banyak kemungkinan, yaitu Si Adik sedang mengerjakan sesuatu yang lain yang dianggap lebih penting daripada mengerjakan perintah Ayah.
Ketika si Adik menerima perintah, Adik menjawab: "Maaf ayah, Aku sedang menggambar pesawat luar angkasa, ... besar sekali". Dari jawaban si Adik, si Ayah tahu bahwa dalam pikiran si Adik, menggambar pesawat luar angkasa lebih penting daripada mengambil gelas.
Dari contoh tersebut kita dapat mengetahui bahwa seseorang akan mengerjakan perintah orang lain ketika apa yang harus dikerjakan itu lebih penting dibandingkan yang lain. Ketika si Adik menganggap lebih penting menggambar pesawat luar angkasa, maka si Adik menganggap tidak lebih penting mengambil gelas.
Sama persis dengan situasi yang dihadapi dosen di kelas. Ketika Anda [dosen] mengajar, maka isi perintah belajar haruslah sesuatu yang penting buat Mahasiswa didik Anda, sehingga Mahasiswa didik Anda mau mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Anda. Tentu menjadi tantangan sendiri buat Anda: bagaimana agar apa yang Anda anggap penting juga dianggap penting oleh Mahasiswa Anda. Tidak menutup kemungkinan, apa yang Anda anggap penting, tidak dianggap penting oleh Mahasiswa. Kepentingan menjadi satu konsep penting dalam pembelajaran dan kepentingan terkait dengan motivasi belajar.
Kedua, si Adik mengerjakan apa yang diperintahkan oleh si Ayah dengan benar. Dalam konteks si Adik mau mengerjakan perintah Ayah, berarti si Adik sudah merasa lebih penting mengerjakan perintah Ayah dibandingkan yang lain. Tentu motivasi untuk menunjukkan kepatuhan melaksanakan perintah si Ayah 'mengambil gelas' dianggap lebih penting dibandingkan mengerjakan yang lain menggambar pesawat luar angkasa.
Si Adik dikatakan mengerjakan dengan benar perintah Ayah, ketika si Adik berhasil mengambil gelas, bukan mengambil piring. Pertanyaannya: "Mengapa si Adik mampu mengerjakan perintah Ayah dengan benar?" Seseorang dapat melakukan sesuatu dengan benar ketika terpenuhi dua syarat: [1] mengerti apa yang diperintahkan; [2] memiliki kemampuan untuk mengerjakannya.
Pada kondisi pertama, si Adik mengerti isi perintah: "Adik tolong ambilkan ayah gelas yang ada di meja". Ketika mengerti isi perintah, berarti Adik mampu menerjemahkan arti dan maksud dari perintah Ayah. Si Adik mengerti arti dan maksud "mengambil" [bukan membanting], mengerti arti dan maksud "gelas" [bukan piring], mengerti arti dan maksud "yang ada" [bukan yang tidak ada], dan mengerti arti dan maksud "meja" [bukan kulkas].
Ketika si Adik mengerti arti dan maksud dari pesan Ayah, maka "si Adik akan mengambil gelas yang ada di meja", bukan membanting gelas yang ada di meja [kesalahan tingkat 1]; mengambil gelas yang ada di rak [kesalahan tingkat 2]; mengambil piring yang ada di meja [kesalahan tingkat 3]; membanting piring yang ada di meja [kesalahan tingkat 4]; membanting piring yang ada di rak [kesalahan tingkat 5].
Tingkatan kesalahan dari 1 sampai dengan 5 mencerminkan bahwa semakin tidak mengerti arti dan makna dari pesan [materi kuliah], akan semakin jauh menginterpretasikan pesan [materi kuliah], dan semakin jauh kesalahan yang terjadi [incompetencies]. Dari situasi itu, kita dapat menyimpulkan bahwa penguasaan nalar adalah penting dalam kegiatan pengajaran.
Pada kondisi kedua, si Adik memiliki kemampuan untuk mengerjakan apa yang diperintahkannya. Mengambil menuntut kemampuan berjalan, memegang, dan memindahkan. Bayangkan jika si Adik tidak memiliki tiga kemampuan itu, apakah si Adik mampu mengerjakan apa yang diperintahkan Ayah?. Tentu tidak. Kemampuan untuk melakukan tugas kompleks membutuhkan penguasaan komponen keterampilan.
Ketiga, si Adik mengerjakan apa yang diperintahkan oleh si Ayah dengan salah. Kesalahan terjadi ketika kedua syarat, yakni: [1] tidak mengerti apa yang diperintahkan; [2] tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakannya.
Dari penjelasan tersebut, kita dapat memahami dua hal, yaitu pertama, pastikan perintahnya jelas. Ambilkan gelas yang ada di meja, bukan "Ambilkan alat untuk minum yang ada di meja" atau hanya "Ambilkan gelas". Perintah yang jelas dapat membuat si penerima perintah memahami apa yang diinginkan oleh si pemberi perintah. Kedua, pastikan Mahasiswa didik mengerti pesan perintah.
Jika si penerima perintah tidak mengerti arti dan maksud perintah, maka si penerima perintah akan membuat kesalahan. Kenyataannya, kemungkinan Mahasiswa tidak memiliki pengetahuan tentang arti dan makna dari pesan. Ketika hal itu terjadi, maka kemungkinan besar Mahasiswa didik melakukan kesalahan. Lalu siapa yang salah? Jawabannya pasti, dosen.
Mahasiswa tidak akan melakukan kesalahan, jika dosen menyampaikan perintah yang jelas dan mahasiswa mengerti apa yang diperintahkan dosen, dan memiliki kemampuan prasyarat untuk mengerjakan perintah dosen. Kebanyakan dosen selalu mengasumsikan bahwa Mahasiswa memahami apa yang diperintahkan dosen, tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Ketiga, pastikan untuk membentuk motivasi Mahasiswa. Meyakinkan bahwa mengerjakan apa yang diperintahkan [belajar] lebih penting daripada mengerjakan yang lain. Itu penting.
Selaku pengelola kegiatan belajar mengajar, dosen sangat diharapkan menjadi pembimbing para Mahasiswa didik , bukan hanya ketika mereka berada didalam kelas melainkan ketika mereka berada diluar kelas, khususnya apabila berada dilingkungan kampus, seperti di perpustakaan, laboratorium, dan lain sebagainya. Dalam hal menjadi pembimbing, dosen perlu mengaktualisasikan (mewujudkan) kemampuannya dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Membimbing kegiatan belajat Mahasiswa;
2. Membimbing pengalaman belajar Mahasiswa.
Membimbing kegiatan belajar Mahasiswa, khusunya ketika mengajar tidak hanya berceramah dimuka kelas, tetapi juga memberikan peluang seluas-luasnya kepada mahaiswa untuk melakukan antivitas belajarnya. Sedangkan dalam membimbing pengalaman Mahasiswa, dosen dituntut untuk menghubungkan mereka dengan lingkungannya. Hal ini penting karena dalam pengalaman berinteraksi dengan lingkungannya itulah sesungguhnya para peserta didik mengalami proses belajar.
Selanjutnya, selain membimbing, mengajar juga berati membantu Mahasiswa agar berkembang dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Alhasil, kegiatan mengajarkan sebuah materi pelajaran bukan semata-mata agar Mahasiswa menguasai pengetahuan (materi) pelajaran tersebut, melainkan juga agar ia memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan-Pandangan Pokok Mengenai Mengajar
Ada dua macam aliran pandangan yang berbeda dalam melihat profesi mengajar. Yaitu aliran pertama yang menganggap mengajar sebagai “ilmu” dan aliran kedua yang menganggap mengajar sebagai “seni”.
1. Mengajar sebagai ilmu
Dosen merupakan tenaga profesional yang memiliki pengetahuan dan kemampuan tinggi dalam dunia pendidikan yang berkompeten untuk melakukan tugas mengajar. Siapa pun orangnya, asal ia memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam bidang ilmu pendidikan akan mampu melakukan perbuatan mengajar dengan baik. penguasaan dosen terhadap materi pelajaran bidang tugasnya penting, akan tetapi yang lebih penting adalah penguasaannya atas ilmu-ilmu yang berhubungan dengan tugas mengajarnya.
Oleh sebab itu, untuk memahami sekaligus menerapkan sebuah teori proses mengajar, dosen hendaknya pandai-pandai menyimpan perasaan dan harapan emosinal dalam tempat penyimpanan yang dingin. Kemudian hendaknya ia berusaha mengahadapi kenyataan dengan akal terbuka. Menurut teori John Locke (1632-1704) perkembangan klasik yang disebut empirisme yaitu pembawaan dan bakat yang diturunkan oleh orangtua tidak berpengaruh apa-apa terhadap perkembangan kehidupan seseorang, karena pada dasarnya setiap manusia pasti lahir dalam keadaan kosong. Hendak menjadi apa manusia itu kelak setelah dewasa, tergantung pada lingkungan dan pengalamannya, terutama lingkungan dan pengalaman belajarnya.
2. Mengajar sebagai seni
Sebagian ahli lainnya memandang bahwa mengajar adalah seni (art), bukan ilmu. Karena tidak semua orang berilmu (termasuk orang yang berilmu pendidikan) bias menjadi dosen/guru yang piawai dalam hal mengajar. Untuk menjadi seorang dosen yang profesional, orang harus belajar dan berlatih selama bertahun-tahun. Namun, kenyataannya dalam mengajar terdapat faktor tertentu yang abstrak dan hampir mustahil dipelajari.
Contohnya, seorang dosen akuntansi atau bahkan berpredikat seorang doktror akuntansi, namun sama sekali tidak menarik dan membosankan ketika ia berceramah mengenai masalah akuntansi. Namun sebaliknya, ada pula seorang seorang sarjana akuntansi tetapi ternyata berhasil menjadi guru akuntansi yang baik. Si sarjana itu cukup piawai dalam mentransfer pengetahuan, sikap, dan keerampilannya kepada peserta didiknya.
Setiap mengajar, ia selalu berpenampilan menarik dan selalu berbeda dalam gaya dan cara penyampaian aneka ragam pokok bahasan pelajaran yang menjadi tugasnya. Sehingga peserta didiknya tidak pernah merasa bosan atau terpaksa mengikuti proses belajar yang dipimpinnya.
Berdasarkan kenyataan yang ada, maka cukup kuatlah aliran yang memandang bahwa mengajar adalah seni, dan kecakapan mengajar yang notabene artistic itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang berbakat. Dengan demikian, menurut aliran ini seseorang dapat mengajar dengan baik semata-mata karena bakat yang dimilikinya. Dengan kata lain, orang itu menjadi dosen atau guru (yang kompeten dan profesional) karena ia telah menjiwai pekerjaannya sehingga ditakdirkan lahir sebagai seorang dosen atau guru yang professional.
Selain itu mengajar secara ilmiah (scientific teaching) juga tidak akan pernah memadai selama dosen atau guru dan peserta didiknya masih sama-sama berstatus manusia yang tentu memiliki perasaan dan nilai di luar jangkauan ilmu.
Mengajar menurut guru besar sastra Gilbert Hight….teaching is an art, not a science yakni mengajar adalah sebuah seni, bukan sebuah ilmu itu seperti membangkitkan reaksi kimiawi, melainkan seperti menggambar sebuah lukisan, atau menata sebuah musik, atau menanami kebun bunga, atau menulis sepucuk surat yang bersahabat. Ilmu memang perlu namun,namun dalam mengajar seperti kegiatan tadi, memerlukan lebih banyak seni (art) daripada ilmu (science).
Hasil antara mengajar sebagai ilmu dengan mengajar sebagai seni itu terdapat benang merah yang membuat keduanya saling terikat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan demikian, hubungan bakat keguruan dengan proses belajar yang sesuai dengan bakat itu, ibarat hubungan antara dua sisi mata uang logam yang berfungsi saling melengkapi.
Model Pokok Mengajar
Untuk mengatasi beberapa problematika dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan model-model mengajar yang dipandang mampu mengatasi kesulitan dalam melaksanakan tugas mengajar dan kesulitan peserta didik dalam belajar. Model dapat diartikan sebagai suatu tipe atau desain yang digunakan untuk proses visualisasi dalam penyampaian materi seorang dosen atau guru kepada peserta didik.
Kumpulan atau set model yang dianggap komprehensifadalah set model yang dikembangkan oleh Brunce Joyce dan Marsya Weil dengan katagorisasi sebagai berikut:
1. Model Information Processing ( Tahap Pengolahan Informasi)
Information Processing adalah istlah kunci dalam psikologi kognitif yang akhir-akhir ini semakin mendominasi sebagian besar upaya riset dan pembahasan psikologi pendidikan. Kata informasi processing digunakan untuk menjelaskan bagaimana cara individu member respon yang matang dari lingkungannya dengan cara mengoprasikan pengetahuan dan mengelolah informasi yang dilestarikan dari peristiwa yang ada dilingkungan sekitarnya, seperti suara atau kata, gerakan benda, gambar dan sebagainya.
2. Model Personal (Pengembangan Pribadi)
Model Personal merupakan rumpun model pembelajaran yang menekan pada proses mengembangkan kepribadian individu peserta didik dengan memperhatikan kehidupan emosional. Model personal ini lebih ditekankan pada pembentukan dan perorganisasian realitas kehidupan lingkungan dan kehidupan yang khas/unik.
3. Model Sosial (Hubungan Kemasyarakatan)
Model Sosial adalah merpakan model mengajar yang menitik beratkan pada proses interaksi antarindividu yang terjadi dalam kelompok individu atau tesebut. Oleh karena itu, rumpun mouel ini lazim disebut sebagai interactive model (model yang berisifat hubungan antar-individu).
4. Model Behavioral (Pengembangan Prilaku)
Model Behavioral adalah tingkat dan karakteristik perilaku peserta didik yang telah dimilikinya pada saat akan memasuki kegiatan belajar-mengajar. Model system perilaku dalam pembelajaran ini dibangun atas dasar kerangka teori perubahan perilaku, melalui teori ini peserta didik dibimbing unuk dapat memecahkan masalah belajar melalui penguraian perilaku kedalam jumlah yang kecil dan berurutan.
Strategi dan Tahapan Mengajar
Strategi mengajar didefinisikan sebagai sejumlah langkah yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Sebuah strategi mengajar dapat berlaku umum bagi semua bidang studi selama orientasi sasannya sama.
Strategi mengajar tidak terlepas dari metode mengajar, karena merupakan kiat praktis yang dipakai dosen atau guru untuk mengajarkan materi pelajaran tertentu dengan metode mengajar tertentu pula seperti metode ceramah, metode demonstrasi, dan sebagainya.
Menurut Newman dan Mogan, strategi dasar setiap usaha meliputi empat masalah masing-masing:
1. Pengidentifikasian dan penetapan sesifikasi dan kualifikasi hasil yang harus dicapai dan menjadi sasaran usaha tersebut dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang memerlukannya
2. Pertimbangan dan pemilihan pendekatan utama yang ampuh untuk mencapai sasaran
3. Pertimbangan dan penetapan langkah-langkah yanga ditempuh sejak awal sampai akhir
4. Pertimbangan dan penetapan tolok ukur dan ukuran baku yang akan digunakan untuk menilai keberhasilan usaha-usaha yang dilakukan.
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran modern terdapat cukup banyak strategi yang khusus dirancang untuk mengajar dengan materi tertentu hingga mencapai kecakapan yang diinginkan. Diantara macam-macam strategi mengajar/ pembelajaran yang sering digunakan tenaga pendidik untuk mengajar adalah:
1. Strategi Mengajar SPELT
Strategi ini berdasarkan strategi kognitif yang relatif masih aktual. Strategi ini bernama strategy program for effective learning/ teaching disingkat SPELT. Strategi ini sengaja direkayasa untuk memperbaiki dan meningkatkan efektivitas belajar dan berfikir peserta didik. Secara eksplisit tujuan strategi ini ialah membuat peserta didik menjadi:
a. Penuntut ilmu yang aktif sebagai pemikir dan pemecah masalah
b. Penuntut ilmu yang mandiri, memiliki rencana dan strategi sendiri yang efisien dalam mendekati belajar
c. Penuntut ilmu yang lebih sadar dan lebih mampu dalam mengendalikan proses berpikirnya sendiri (metacognitive awareness).
Dalam melaksanakan strategi SPELT, perlu mengikuti tiga macam langkah panjang dan terpisah dalah arti mengambil waktu yang berbeda tetapi berurutan.
a. Direct strategy instruction (pengajaran dengan strategi langsung)
b. Teaching for transfer ( mengajar untuk mentransfer strategi)
c. Generating elaborative strategies (pembangkitan strategi belajar peserta didik yang luas dan rinci)
2. Pembelajaran Direct Instruction (Pembelajaran Langsung/ Metode Exspositori)
Berbeda dengan metode ceramah, dalam metode ekspositori dominasi dosen atau guru banyak dikurangi. Dosen tidak terus bicara, tapi hanya memberi informasi kepada bagian atau saat-saat diperlukan. Namun pembelajaran ini berpusat pada dosen, tetap tetap menjamin terjadinya keterlibatan peserta didik. Metode ini dirancang untuk menunjang proses belajar peserta didik yang berkenaan dengan pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan mengenai bagaiman orang melakukan sesuatu.
Fase-fase pada model pembelajaran langsung adalah:
a. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik
b. Mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan
c. Membimbing pelatihan
d. Mengecek pemahaman dan memeberikan umpan balik
e. Memberikan latihan dan penerapan konsep.
Beberapa keuntungan dari strategi pembelajaran langsung:
a. Dapat mengontrol isi dan urutan informasi yang diterima peserta didik, sehingga kita dapat mencapai fokus hasil yang dicapai peserta didik
b. Dapat digunakan secara efektif di kelas besar maupun kecil
c. Pembelajaran ini menekankan pada pendengaran dan observasi, keduanya dapat membantu peserta didik yang suka belajar dengan cara ini
d. Dalam hal ini dosen dapat menentukan arah dengan jalan menetapkan sendiri apa yang akan dibicarakan
e. Oraganisasi kelas sederhana.
Beberapa keterbatasan dari strategi pembelajaran langsung:
a. Agak berat bagi peserta didik untuk mengasimilasi informasi melalui mendengar, observasi dan mencatat (note-taking), karena tidak semua peserta didik mempunyai ketrampilan ini
b. Sangat susah melayani perbedaan individu antara peserta didik, pengetahuan awal, tingkat pemahaman, gaya belajar, atau minat belajar selama pembelajaran
c. Pembelajaran ini sangat tergantung dari gaya berkomunikasi oleh dosen. Komunikasi yang kaku cenderung menghasilkan pembelajaran pembelajaran pasif
d. peserta didik kurang aktif dan lebih banyak mengharapkan bantuan dosen
e. peserta didik kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir.
Aspek kunci agar pembelajaan ini efektif:
a. Katakanlah pada peserta didik bahwa belajarlah apa yang mampu dipelajari
b. Sajikan materi pelajaran secara urutan logis
c. Berikan contoh yang tepat saat menjelaskan
d. Jelaskan kembali segala sesuatu jika peserta didik mendapatkan kebingungan
e. Jelaskan arti dari istilah-istilah baru
f. Jawablah pertanyaan peserta didik sampai mereka puas
3. Diskusi sebagai suatu Strategi Pembelajaran
Adalah suatu proses tatap muka interaktif dimana peserta didik menukar ide tentang persoalan dalam rangka pemecahan masalah, menjawab suatu pertanyaan, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman, atau membuat keputusan. Dalam diskusi peserta didik dituntut untuk selalu aktif berpartisipasi peserta didik dilatih berpikir kritis, siap mengemukakan pendapat secara tepat, berpikir secara objektif, dan menghargai pendapat orang lain.
Beberapa keuntungan dari penggunaan Diskusi:
a. Memaksa peserta didik untuk berbicara dengan bahasa yang baik, belajar mengemukakan pendapat dengan tepat dalam waktu relatif singkat, dan belajar menanggapi pendapat orang lain secara benar
b. Berlati memecahkan masalah
c. Lebih efektif dalam mengubah sikap peserta didik dibanding dengan ceramah, peserta didik menjadi aktif, lebih mengerti, kreatif, berfikir kritis dan objektif
d. Diskusi membangun kemampuan peserta didik untuk menganalisiskan isi pelajaran, mengungkapkan ide secara lisan, dan berfikir ke depan (Fergusson, 1977)
e. Dapat menghasilkan aktivitas belajar yang lebih dinamis, dibanding strategi lain. Ini terjadi karena mereka mampu mengkonstruk atau mengkonstruk kembali pengetahuan dengan cara mereka sendiri
f. Dapat membangkitkan ide baru atau menghasilkan pnyelesaian yang asli.
Beberapa keterbatasan diskusi:
a. Diskusi tidak mungkin produktif kalau peserta didik tidak mempersiapaka diri dengan baik, dan ini biasanya syarat untuk mulai diskusi
b. Beberapa peserta didik mungkin enggan mengeluarkan ide atau pendapatnya. Mereka cenderung menurut
c. Diskusi kelompok dapat memudahkan seseorang berkompetisi secara emosional dan ini akan menyulitkan pemimpin diskusi
d. Beberapa peserta didik mungkin akan mengeluarkan pendapat yang tidak sesuai dengan alur diskusi, atau beberapa peserta didik mungkin terlalu banyak berbicara dan cenderung merendahkan orang lain.
4. Penggunaan Small-Group Work sebgai suatu Strategi Pembelajaran
Apa itu Group-Work (kerja kelompok)? Suatu waktu kamu pernah menyuruh peserta didik bekerja bersama-sama dalam suatu kelompok, dari pada menjelaskan persoalan ini kepada seluruh kelas (klasikal). Hal ini dapat dikatakan bahwa kamu telah menggunakan group work (Killen, 1998).
Keberhasilan group work tergantung dari banyak faktor yang tentu dapat membantu diskusi kelas, misalnya:
a. Fokus pembelajaran bagi peserta didik harus jelas
b. Persiapan peserta didik harus memadai
c. Bimbingan dosen/guru pada peserta didik harus jelas
d. Arahan,tapi tidak intervensi oleh guru
e. Monitoring dan feedback oleh dosen
f. Pengaturan waktu yang bagus dan kesimpulan yang logis
Kalau digunakan secara efektif, strategi ini banyak keuntungannya dibandingkan dengan pembelajaran langsung, diskusi dalam kelompok besar, (klasikal) dan bekerja secara individual, antara lain:
a. Group work memperbolehkan merubah materi pelajaran sesuai latar belakang perbedaan antar group. Hal ini bertujuan untuk mengadaptasi kebutuhan peserta didik, minat, dan kemampuan tanpa memperhatikan perbedaan antar peserta didik
b. Group work mendorong peserta didik untuk secara verbalisme mengungkapakan idenya, dan ini dapat membantu mereka memahami materi pelajaran
c. Beberapa peserta didik akan sangat efektif ketika menjelaskan idenya pada yang lain, dalam bahasa yang mudah mereka mengerti. Ini dapat membantu pemahaman bagi anggota group untuk ketuntasan materi pelajaran
d. Group work memberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik untuk menyumbangkan ide dan menuntaskan materi dalam suasana lingkungan yang aman dan nyaman
e. Group work melibatkan peserta didik secara aktif dalam belajar dan ini dapat meningkatkan prestasi mereka serta retensi (Peterson, 1981)
f. Group work membantu peserta didik belajar menghormati peserta didik lain, baik yang pintar maupun yang lemah dan bekerja sama satu dengan lainnya.
Beberapa keterbatasannya:
a. peserta didik harus belajar bagaimana belajar dalam lingkungan
b. Beberapa peserta didik mungkin pada awalnya mendapatkan kesulitan seperti yang dialami anggota group lainnya (mungkin karena mereka tidak populer atau berbeda antara satu anggota dengan anggota lainnya dalam group)
c. Seandainya dimonitoring interaksi peserta didik dalam setiap group, beberapa peserta didik akan menghabiskan waktu diskusi dengan persoalan yang tidak relevan
d. Beberapa peserta didik lebih suka belajar secara langsung dan tidak senang ketika dosen menyuruh mereka untuk ”mengajar sesama mereka”
e. Beberapa dosen merasa tidak mudah mengontrol semua peserta didik dalam group
f. Karena membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam.
5. Penggunaan Co-Operative Learning sebagai suatu Strategi Pembelajaran
Merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerja sama diantara peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif dapat menciptakan saling ketergantungan antar peserta didik, sehingga sumber belajar bagi peserta didik bukan hanya dosen/guru dan buku ajar tetapi juga sesama peserta didik.
Ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah:
a. peserta didik belajar dalam kelompok kecil, untuk mencapai ketuntasan belajar
b. Kelompok dibentuk dari peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah
c. Diupayakan agar dalam setiap kelompok peserta didik terdiri dari suku, ras, budaya, dan jenis kelamin yang berbeda
d. Pengahargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok dari pada individual.
Terdapat beberapa pendekatan dalam belajar Cooperative learning yaitu Student Team Achievement Divisions (STAD), Team-Games-Tournaments (TGT), Jigsaw, Group Investigation (GI), dan Dyadic.
Beberapa keuntungan dari penggunaan Co-Operative Learning sebagai suatu Strategi Pembelajaran adalah:
a. Co-Operative Learning mengajarkan peserta didik menjadi percaya pada dosen/ guru dan lebih percaya pada dosen/guru dan lebih percaya lagi pada kemampuan sendiri untuk berpikir, mencari informasi dari sumber lain, dan belajar dari peserta didik lain
b. Co-Operative Learning mendorong peserta didik untuk mengungkapkan idenya secara verbal dan membandingkan dengan ide temannya. Ini secara khusus bermakna ketika dalam proses pemecahan masalah
c. Co-Operative Learning membantu peserta didik belajar menghormati peserta didik yang pintar dan peserta didik lemah serta menerima dan saling menghargai perbedaan ini
d. Co-Operative Learning suatu strategi efektif bagi peserta didik untuk mencapai hasil akademik dan sosial termasuk meningkatkan prestasi, percaya diri, dan hubungan interpesonal positif antara satu peserta didik dengan yang lain, meningkatkan ketrampilan manajemen waktu dan sikap positif.
e. Co-Operative Learning meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.
Sedangkan beberapa keterbatasannya ialah:
a. Beberapa peserta didik mungkin pada awalnya segan mengeluarkn ide, takut dinilai temannya dalam group
b. Tidak semua peserta didik secara otomatis memahami dan menerima philosophy Co-Operative Learning. Dosen banyak tersita waktu untuk mensosialisasikan peserta didik belajar dengan cara ini
c. Penggunaan Co-Operative Learning harus sangat rinci melaporkan setiap penampilan peserta didik dan tiap tugas peserta didik, dan banyak menghabiskan waktu menghitung hasil prestasi group
d. Meskipun kerja sama sangat penting untuk ketuntasan belajar peserta didik, banyakl aktivitas kehidupan didasarkan pada usaha individual. Namun peserta didik harus belajar menjadi percaya diri. Itu susah untuk dicapai karena memiliki latar belakang berbeda
e. Sulit membentuk kelompok yang solid yang dapat bekerja sama dengan secara harmonis
f. Penilaian terhadap peserta didik sebagai individu menjadi sulit karena tersembunyi dibelakang kelompok.
6. Penggunaan Problem Solving sebagai suatu Strategi Pembelajaran
Menurut Gagne (1996) problem solving atau pemecahan masalah adalah tipe belajar yang tingkahnya paling tinggi dan kompleks dibandingkan dengan tipe belajar lainnya. Ciri-ciri pokok problem solving adalah:
a. peserta didik bekerja secara individual atau dalam kelompok kecil
b. Tugas yang diselesaikan adalah persoalan realistik untuk dipecahkan, namun lebih disukai soal yang memiliki banyak kemungkinan jawaban
c. peserta didik menggunakan beberapa pendekatan belajar
d. Hasil pemecahan masalah didiskusikan antara semua peserta didik.
7. Penggunaan Strategi Think-Talk-Write sebagai suatu Strategi Pembelajaran
Suatu strategi pembelajaran yang diharapkan dapat menumbuh kembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik peserta didik adalah strategi think-talk-write (TTW). Strategi yang diperkenalkan oleh Huinker & Laughlin (1996:82) ini pada dasarnya dibangun melalui berfikir, berbicara, dan menulis.
Alur kemajuan strategi TTW dimulai dari keterlibatan peserta didik dalam berpikir atau bedialog dengan dirinya sendiri setelah proses membaca, selanjutnya berbicara dan membagi ide (sharing) dengan temannya sebelum menulis.
Langkah-langkah pembelajaran dengan strategi TTW:
a. Pengajar membagi teks bacaan berupa lembaran aktivitas peserta didik yang memuat situasi masalah bersifat open-ended dan petunjuk serta prosedur pelaksanaannya
b. peserta didik membaca teks dan membuat catatan dari hasil bacaan secara individual, untuk dibawa ke forum diskusi (think)
c. peserta didik berinteraksi dan berkolaborasi dengan teman untuk membahas isi catatan (talk). Pengajar berperan sebagai mediator lingkungan belajar
d. peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan sebagai hasil kolaborasi (write).
8. Strategi Pembelajaran Berbasis Konstruktivis
Strategi pembelajaran berbasis konstruktivisme menurut Peaget, dapat dikatakan berkenaan dengan bagaiman anak memperoleh pengetahuan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pola intelektual untuk berinteraksi dengan lingkungannya adalah melalui asimilasi. Bila seorang peserta didik tidak memiliki pengetahuan memadai untuk menanggapi suatu situasi yang datang dari lingkungannya, maka ia harus mengubah pola intelektualnya, sehingga melakukan akomodasi terhadap lingkungannya.
Manakala peserta didik sudah mampu menyatukan atau mengintegrasikan antara pengetahuan yang ada pada dirinya atau pengalamannya dengan pengetahuan yang timbul dari lingkungannya (keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi), dikatakan peserta didik telah mengadakan adaptasi.
Selain Piaget, konstruktivis yang lain yaitu Vygotsky berpendapat bahwa, perkembangan intelektual anak dipengaruhi oleh faktor sosial. Lingkungan sosial dan pembelajaran secara natural mempengaruhi perkembangan anak dalam meningkatkan kekomplekan dan kesitematikan kognitif (Ginsburg at al. 1998: 409). Strategi ini banyak digunakan untuk bermacam-macam mata pelajaran.
Tahapan-tahapan dalam proses mengajar memiliki hubungan erat dengan penggunaan strategi mengajar. Maksudmya ialah bahwa setiap penggunaan strategi mengajar harus selalu merupakan rangkaian yang utuh dalam tahapan-tahapan mengajar. Setiap proses mengajar harus melalui tiga tahapan.
1. Tahap Prainstruksional, yaitu persiapan sebelum mengajar dimulai. Langkah ini dilakukan oleh dosen/guru saat mulai memasuki kelas dan hendak mengajar. Pada tahap ini dosen/guru dianjurkan untuk memeriksa kehadiran peserta didik, kondisi kelas, dan kondisi peralatan yang tersedia dengan alokasi waktu yang singkat. Setelah itu, dosen/guru perlu melakukan ”pemanasan” dengan menanyakan perihal materi yang disajikan sebelumnya, serta materi yang akan diajarkan (pre-test). Kemudian melakukan kegiatan apersepsi dengan mengungkapkan kembali secara sekilas materi yang diajarkan sebelumnya lalu menghubungkannya dengan materi palajaran yang akan segera diajarkan. Kegiatan ini penting, karena kediatan belajar dan memahami materi pelajarn itu kebanyakan bergantung pada pengenalan peserta didik terhadap hubungan antar pengetahuan yang telah ia miliki dengan pengetahuan yang akan diajarkan.
2. Tahap Intruksional, yaitu saat-saat mengajar. Tahap ini merupakan tahap inti dalam proses pengajaran. Pada tahap ini, dosen/guru menyajikan materi pelajaran (pokok bahasan) yang disususn lengkap dengan persiapan model, metode, dan strategi mengajar yang dianggap cocok. Seperti menggunakan metode ceramah atau metode mengajar lainnya, maka pada tahap pelaksanaan pengajaran ini, dosen/guru sangat dianjurkan menjelaskan pokok-pokok materi dan tujuannya. Sebelum menguraikan pokok-pokok materi tersebut lebih lanjut, setiap uraian seyogyanya dilengkapi dengan contoh dan peragaan seperlunya. Terakhir dosen/guru hendaknya membuat kesimpulan mengenai uraian yang yang telah disampaikan. Jika memungkinkan, penulisan kesimpulan ada baiknya dilakukan oleh para peserta didik.
3. Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut, yaitu penilaian atau hasil belajar peserta didik setelah mengikuti pengajaran dan penindaklanjutannya. Tahap terakhir proses mengajar terdiri atas kegiatan evaluasi dan tindak lanjut (follow up). Pada tahap ini dosen/guru melakukan penilaian keberhasilan belajar peserta didik yang berlangsung pada tahap instruksional. Caranya ialah dengan mengadakan post test (alat pengukuran prestasi belajar peserta didik) sesudah menyajikan materi pelajaran. Kadar hasil pembelajaran (proses mempelajari sesuatu) peserta didik dapat digunakan sebagai pedoman penindak- lanjutan, baik yang bersifat pengayaan maupun perbaikan.
Ketiga tahapan yang telah dibhas di atas merupakan satu rangkaian kegiatan terpadu, tidak terpisahkan satu sama lain. Dosen atau guru dituntut untuk mampu dan dapat mengatur waktu dan kegiatan secara fleksibel. Sehingga ketiga rangkaian tersebut diterima oleh peserta didik secara utuh.
Akhirnya, sebelum meninggalkan ruang kelas, dosen atau guru dianjurkan untuk memberitahukan pokok bahasan yang akan diajarkan kepada peserta didik pada pertemuan berikutnya. Langkah ini yang sangat sering dilupakan para dosen/ guru itu cukup penting artinya bagi para peserta didik dalam mempersiapkan diri dalam menghadapi materi baru dengan cara membaca sumber yang ada di rumah atau di perpustakaan. Selain itu, metode mengajar memiliki kelemahan-kelemahan disamping keunggulan-keunggulannya sendiri. Oleh karena itu dosen/guru perlu bijaksana dalam memilih atau memodifikasi metode yang hendak digunakan.
Cara Mengajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indosesia cara diartikan sebagai jalan, aturan, sistem yang dilakukan seseorang untuk berbuat sesuatu. Setiap orang mempunyai cara yang berbeda-beda satu sama lain dalam mengekspresikan kemampuannya karena cara merupakan karakter dari pemiliknya, yang dalam hal ini adalah cara yang digunakan oleh seorang pengajar (dosen).
Mengajar menurut Hamalik (1992:8) adalah aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya sehingga menciptakan kesempatan bagi anak untuk melakukan proses belajar secara efisien. Sedangkan Sudjana (1989:7) mendefinisikan mengajar sebagai bimbingan (membimbing) kegiatan peserta didik belajar, mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar peserta didik sehingga dapat mendorong peserta didik belajar.
Definisi cara dan mengajar dapat disimpulakan bahwa cara mengajar adalah jalan, aturan, atau sistem yang diterapkan oleh seorang pengajar dalam mengorganisasi dan mengatur lingkungan pembelajaran sebaik-baiknya sehingga menciptakan kesempatan bagi peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara efisien dan dapat mendorong peserta didik untuk belajar dengan baik agar tercapai tujuan pembelajaran berupa prestasi be lajar yang baik.
Rumusan tersebut disamping berpusat pada peserta didik yang belajar (student centered), juga melihat hakekat mengajar sebagai proses, yakni proses yang dilakukan oleh pengajar dalam menumbuhkan kegiatan belajar peserta didik. Proses tersebut meliputi sikap dan perilaku seorang dosen, strategi mengajar yang digunakan, kreativitas, metode, dan media yang digunakan oleh dosen.
Persiapan mengajar
Persiapan mengajar pada hakekatnya merupakan perencanaan jangka pendek untuk memperkirakan atau memproyeksikan tentang apa yang dilakukan. Dengan demikian, persiapan mengajar merupakan upaya untuk memperkirakan tindakan yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran, terutama berkaitan dengan pembentukan kompetensi. Dalam mengembangan persiapan mengajar, terlebih dahulu harus menguasai secara teoritis dan praktis unsur-unsur yang terdapat dalam persiapan mengajar.
Kemampuan membuat persiapan mengajar merupakan langkah awal yang harus dimiliki dosen atau dosen/guru dan sebagai muara dari segala pengetahuan teori, keterampilan dasar, dan pemahaman yang mendalam tentang objek belajar dan situasi pembelajaran. Dalam persiapan mengajar harus jelas kompetensi dasar yang akan dikuasai peserta didik, apa yang harus dilakukan, apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajarinya, serta bagaimana pendidik mengetahui bahwa peserta didik telah menguasai kompetensi tertentu.
Aspek-aspek tersebut merupakan unsur utama yang secara minimal harus ada dalam setiap persiapan mengajar sebagai pedoman pendidik dalam melaksanakan pembelajaran dan membentuk kompetensi peserta didik.
Dosen profesional harus mampu mengembangkan persiapan mengajar yang baik, logis dan sistematis, karena di samping untuk kepentingan pelaksanaan pembelajaran, persiapan mengajar merupakan bentuk dari “profesional accountability”.
Persiapan mengajar akan membantu pendidik dalam mengorganisasikan materi standar, serta mengantisipasi peserta didik dan masalah-masalah yang mungkin timbul dalam pembelajaran. Persiapan mengajar tersebut dapat berupa apersepsi dosen tentang materi yang akan dipelajari pada pekuliahan tersebut.
Mengajar Dengan Pendekatan Student Centered Learning
Metode Student Centered Learning dipilih untuk memperbaiki metode pembelajaran sebelumnya yaitu Teacher Centered Learning yang ternyata belum cukup memuaskan dalam meningkatkan pemahaman Mahasiswa.
Secara luas, Student Centered Learning didasarkan pada konstruktivisme sebagai teori pembelajaran yang dibangun pada gagasan bahwa peserta didik harus membangun dan merekonstruksi pengetahuan untuk belajar secara efektif ketika dengan belajar menjadi paling efektif sebagai bagian dari suatu kegiatan dan peserta didik mengalami konstruk produk yang bermakna.
Metode Student Centered Learning juga serupa untuk pembelajaran transformatif yang memiliki beberapa jenis cara pembelajaran yang dapat dilakukan secara bergantian sesuai dengan materi atau kondisi namun tetap berpusat pada peserta didik. Selain itu metode ini juga menekankan pada proses perubahan kualitatif dalam proses pembelajaran sebagai proses yang berkelanjutan dari transformasi yang berfokus pada peningkatan dan pemberdayaan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan kritis mereka.
Student Centered Learning (SCL) dapat dikatakan juga sebagai tempat peserta didik belajar dalam kelompok dan secara individu untuk mengeksplorasi masalah, menjadi pihak yang aktif dalam proses pembelajaran berlangsung dan tidak hanya menjadi penerima pengetahuan yang pasif (Harmon SW, 1996).
Dalam pelaksanaannya, lingkungan belajar yang berpusat pada peserta didik dirancang untuk memberikan peserta didik kesempatan mengambil peran yang lebih aktif dalam pembelajaran mereka dengan mengalihkan tanggung jawab pengorganisasian, menganalisis, dan mensintesis konten (Means, 1994). Lingkungan ini memungkinkan peserta didik untuk memeriksa masalah kompleks menggunakan berbagai sumber daya, mengembangkan strategi mereka sendiri untuk mengatasi masalah ini, menyajikan dan menegosiasikan solusi untuk masalah ini secara kolaboratif (Hannafin, Hill, & Land, 1997).
Prinsip Dasar Student Centered Learning (SCL)
Student centred learning merujuk pada teori constructivism yang menempatkan peserta didik sebagai individu yang memiliki bibit ilmu di dalam dirinya yang memerlukan berbagai aktifitas / kegiatan untuk mengembangkannya menjadi pemahaman yang bermakna terhadap sesuatu hal.
Dalam pandangan Student centred learning ini peserta didik perlu dan harus terlibat mengkonstruksi pemahaman melalui penalaran oleh diri sendiri maupun dalam kelompok diskusi atau suatu kelompok kecil yang membahas suatu materi belajar. Dosen atau guru lebih bersifat sebagai fasilitator dalam proses membangun pengetahuan tersebut.
Pada student centred learning ini peserta didik mengambil tanggung jawab yang lebih untuk memantau kemajuan belajar mereka sendiri. Tugas belajar yang harus mereka selesaikan bersifat lebih terbuka dan menantang untuk dikuasai (boleh jadi mempunyai varian penyelesaian tergantung pada situasinya).
Peserta didik lebih terlibat jauh dalam berpikir tingkat yang lebih tinggi (high order thinking). Dalam pendekatan ini peserta didik secara berdiskusi dengan kelompoknya mengeksplorasi secara mandiri terhadap suatu permasalahan.
Namun metode ini juga memiliki beberapa kekurangan yang perlu diperhatikan seperti, sulit diimplementasikan pada kelas besar, memerlukan waktu yang lebih banyak, tidak efektif untuk semua jenis kurikulum dan tidak cocok untuk peserta didik yang tidak terbiasa aktif, mandiri dan demokratis.
Terdapat beberapa jenis metode Student Centered Learning yang diterapkan dalam mata kuliah tersebut, metode-metode tersebut adalah sebagai berikut :
1. Self-directed learning
Self Directed Learning (SDL) merupakan proses pembelajaran dimana seseorang memiliki inisiatif dengan atau tanpa bantuan orang lain, menganalisis kebutuhan belajarnya sendiri, merumuskan tujuan belajarnya sendiri, mengidentifikasi sumber-sumber belajar, memilih dan melaksanakan strategi belajar sesuai serta mengevaluasi hasil belajarnya sendiri.
2. Collaborative learning
Collaborative Learning merupakan suatu jenis pendekatan yang meliputi penggabungan karya/usaha intelektual Mahasiswa atau Mahasiswa bersama dengan pengajar. Biasanya Mahasiswa didik bekerja dalam 2 atau lebih kelompok, saling mencari pemahaman, penyelesaian, membentuk suatu produk atau hasil proses belajar kelompok yang setiap anggota menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan, dan ketrampilan yang dimilikinya, untuk secara bersama-sama saling meningkatkan pemahaman seluruh anggota.
3. Small group discussion
Small group discussion merupakan proses pembelajaran dengan melakukan diskusi kelompok kecil tujuannya agar peserta didik memiliki ketrampilan memecahkan masalah terkait materi pokok dan persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari yang didalamnya terdapat proses penglihatan dua atau lebih individu yang berinteraksi secara global dan saling berdiskusi mengenai tujuan atau sasaran yang sudah tertentu melalui tukar menukar informasi, mempertahankan pendapat atau pemecahan masalah.
4. Project-based learning
Project Based Learning merupakan metode pembelajaran yang menggunakan proyek sebagai kegiatan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Penekanan pembelajaran terletak pada aktivitas-aktivitas mahasiswa untuk menghasilkan produk dengan menerapkan keterampilan meneliti, menganalisis, membuat, sampai dengan mempresentasikan produk pembelajaran berdasarkan pengalaman nyata.
Pendekatan ini memperkenankan Mahasiswa untuk bekerja sama secara mandiri maupun berkelompok dalam mengkontsruksikan produk nyata. Produk yang dimaksud adalah hasil proyek dalam bentuk desain, skema, karya tulis, karya seni, karya teknologi atau prakarya dan nilai-nilai.
5. Cooperative learning
Cooperative learning merupakan metode pembelajaran yang didasarkan pada belajar dalam kelompok kecil yang menekankan pada kemampuan Mahasiswa baik secara individu maupun kelompok.
Pembelajaran kooperatif memiliki dua aspek yaitu lingkungan yang kooperatif yang memacu Mahasiswa didik untuk bersaing satu sama lain dan bukan hanya sekedar bekerja sama dan mengindikasikan bahwa belajar kooperatif bila diimplikasikan secara umum mempunyai potensi untuk memberikan kontribusi secara umum, mempunyai potensi untuk memberikan kontribusi secara positif pada kemampuan akademik, keterampilan sosial dan kepercayaan diri.
6. Discovery learning
Discovery learning adalah proses mental dimana Mahasiswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses mental tersebut antara lain mengamati, mencerna, mengerti menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Terdapat dua jenis metode discovery, yaitu pembelajaran penemuan bebas (Free Discovery Learning) yakni pembelajaran penemuan tanpa adanya petunjuk atau arahan dan pembelajaran penemuan terbimbing (Guided Discovery Learning) yakni pembelajaran yang membutuhkan peran pengajar sebagai fasilitator dalam proses pembelajarannya.
7. Simulation
Metode simulasi adalah metode yang diberikan kepada Mahasiswa agar dapat menggunakan sekumpulan fakta, konsep, dan strategi tertentu. Penggunaan metode tersebut memberi kesempatan kepada Mahasiswa untuk berinteraksi sehingga dapat mengurangi rasa takut.
Metode simulasi cenderung lebih dinamis dalam menanggapi gejala fisik dan sosial, karena melalui metode ini seolah-olah melakukan hal-hal yang nyata ada. Dengan mensimulasikan sebuah kasus atau permasalahan, seseorang akan lebih menjiwai keberadaannya.
Perlu diketahui bahwa banyaknya SCL metode yang digunakan belum tentu dapat memberikan hasil yang diharapkan karena harus disesuaikan terlebih dahulu dengan berbagai aspek yang terkait dalam proses pembelajaran yang berlangsung
Di dalam implementasi student centered learning yang sesuai pendekatan-pendekatan berikut harus dipenuhi agar lebih menjamin implementasi yang tepat. Pendekatan-pendekatan yang penting adalah:
Peserta didik harus jelas apa yang mereka butuhkan untuk dicapai.
Mereka harus melihat belajar sebagai sesuatu yg bermakna.
Bimbingan (atau panduan) harus disediakan untuk membantu peserta didik mencapai hasil yang diinginkan harus ada kegiatan yang diperlukan peserta didik untuk membangun pengetahuan mereka sendiri dari berbagai sumber belajar
Dalam penerapannya, metode Student Centered Learning ini memiliki beberapa kelebihan yang menjadi dorongan untuk diimplementasikan dalam proses belajar mengajar seperti, akan dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya karena peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi, tumbuhnya suasana demokratis dari dialog dan diskusi yang terjadi, menambah wawasan dan pengetahuan bagi pengajar ataupun peserta didik karena sesuatu yang disampaikan mungkin tidak diketahui sebelumnya, mengenalkan hubungan antara pengetahuan dan dunia nyata, mendorong peserta didik ikut berpartisipasi secara aktif dan berpikir kritis, memberikan kesempatan pengembangan untuk berbagai strategi assessment dan lain sebagainya.
Metode Student Centered Learning juga serupa untuk pembelajaran transformatif yang memiliki beberapa jenis cara pembelajaran yang dapat dilakukan secara bergantian sesuai dengan materi atau kondisi namun tetap berpusat pada peserta didik.
Selain itu metode ini juga menekankan pada proses perubahan kualitatif dalam proses pembelajaran sebagai proses yang berkelanjutan dari transformasi yang berfokus pada peningkatan dan pemberdayaan untuk mengembangkan kemampuan kritis mereka.
Student Centered Learning (SCL) dapat dikatakan juga sebagai tempat peserta didik belajar dalam kelompok dan secara individu untuk mengeksplorasi masalah, menjadi pihak yang aktif dalam proses pembelajaran berlangsung dan tidak hanya menjadi penerima pengetahuan yang pasif (Harmon SW, 1996).
Dalam pelaksanaannya, lingkungan belajar yang berpusat pada peserta didik dirancang untuk memberikan peserta didik kesempatan mengambil peran yang lebih aktif dalam pembelajaran mereka dengan mengalihkan tanggung jawab pengorganisasian, menganalisis, dan mensintesis konten dari guru ke pelajar (Means, 1994).
Lingkungan ini memungkinkan peserta didik untuk memeriksa masalah kompleks menggunakan berbagai sumber daya, mengembangkan strategi mereka sendiri untuk mengatasi masalah ini, menyajikan dan menegosiasikan solusi untuk masalah ini secara kolaboratif (Hannafin, Hill, & Land, 1997).
Dalam penerapannya, metode Student Centered Learning ini memiliki beberapa kelebihan yang menjadi dorongan untuk diimplementasikan dalam proses belajar mengajar seperti,
Peserta didik akan dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya karena peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi, tumbuhnya suasana demokratis dari dialog dan diskusi yang terjadi,
Menambah wawasan dan pengetahuan bagi pengajar ataupun peserta didik karena sesuatu yang disampaikan mungkin tidak diketahui sebelumnya, mengenalkan hubungan antara pengetahuan dan dunia nyata, mendorong peserta didik ikut berpartisipasi secara aktif dan berpikir kritis, memberikan kesempatan pengembangan untuk berbagai strategi assessment dan lain sebagainya.
Namun metode ini juga memiliki beberapa kekurangan yang perlu diperhatikan seperti, sulit diimplementasikan pada kelas besar, memerlukan waktu yang lebih banyak, tidak efektif untuk semua jenis kurikulum dan tidak cocok untuk peserta didik yang tidak terbiasa aktif, mandiri dan demokratis.
Metode Student Centered Learning telah banyak diterapkan diberbagai jenjang pendidikan salah satunya di dunia pendidikan tinggi. Metode SCL merupakan salah satu metode mengajar yang tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan dan capain pembelajaran diperguruan tinggi.
Dewasa ini, masyarakat ragu akan mutu pendidikan di perguruan tinggi, karena minimnya lulusan perguruan tinggi yang memiliki kompetensi atau keahlian sehingga kesulitan menembus dunia kerja karena relevansi antara mutu perguruan tinggi dan kebutuhan dunia kerja dan industri masih rendah. Pengangguran di kalangan sarjana juga cukup tinggi. Padahal mereka telah menempuh pendidikan yang cukup lama. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya mutu pendidikan berdampak pada rendahnya kompetensi dan kemampuan yang kurang memadai untuk bersaing di dunia kerja.
Sebagaimana dikemukakan oleh Barkley, Cross, dan Mayor (2005: xi), “...saat ini, Mahasiswa dan orang tua berpandangan bahwa kuliah di perguruan tinggi bukan suatu keharusan. . . legislator, lembaga akreditasi, masyarakat, terutama para pengusaha, mempertanyakan apakah Mahasiswa benar-benar belajar di perguruan tinggi, mereka mentuntut bukti”. Bukan hal yang aneh, bahwa lulusan perguruan tinggi tidak banyak terserap di dunia kerja, karena rendahnya kompetensi.
Membangun sumber daya manusia yang berkualitas bukan sekadar memperluas akses pendidikan, tapi mutu pendidikan juga perlu diperhatikan dan ditingkatkan. Apalagi, saat ini lulusan perguruan tinggi turut menyumbang pengangguran yang menjadi beban negara.
Relevansi lulusan perguruan tinggi terhadap kebutuhan tenaga kerja menjadi faktor penting dalam upaya mencegah sarjana menganggur. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan pendidikan dan pembelajaran yang tepat dalam peningkatan mutu pendidikan tinggi.
Masyarakat menuntut lulusan perguruan tinggi untuk mampu berkomunikasi, berpikir kritis, dan kerja tim. Kemampuan itu merupakan keterampilan yang harus dimiliki semua lulusan perguruan tinggi. Kenyataannya, bahwa para lulusan perguruan tinggi, belum siap bekerja, sebagaimana diungkapkan oleh Kuh (2007:12) bahwa “sebanyak empat dari lima lulusan perguruan tinggi membutuhkan pendidikan tambahan, agar mereka siap bekerja di era ekonomi kompetitif”.
Selaras dengan pengakuan dari berbagai pihak tentang rendahnya kualitas lulusan perguruan tinggi, universitas berusaha untuk memenuhi tuntutan para pengguna lulusan, dengan merubah fokus dari cara mengajar Mahasiswa menjadi bagaimana mengajarkan cara Mahasiswa belajar.
Pembelajaran berpusat pada Mahasiswa berarti pembelajaran yang mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, minat, dan motivasi Mahasiswa yang bervariasi. Sejumlah publikasi terbaru memperkuat dorongan perlunya dosen merubah paradigma, dari berpusat pada pengajaran menjadi berpusat pada pembelajaran.
Tuntutan perubahan paradigma itu, sebagian karena di era yang disebut zaman milenium, para dosen berhadapan dengan generasi Millenia. Banyak yang telah menulis tentang generasi Millenia. McGuire dan Williams (2002: 186) mencirikan generasi Millenia adalah generasi mentalitas konsumen, akses komputer di mana-mana, dan intoleransi pada pendidikan non-teknik. Generasi-M juga dicirikan sebagai generasi yang berorientasi tim.
Howe, Strauss, dan Matson (2000:44) menyatakan, “... dari permainan sepak bola sampai sekolah tinggi semuanya serba beranekaragam, menekankan pada kerja tim, generasi Millenia perlu didorong untuk mengembangkan naluri tim yang kuat dan ikatan kelompok begitu kuat." Carlson (2005:36), mengutip R.T Sweeney, menambahkan, “... di sekolah dasar mereka didorong untuk berkolaborasi yang menjelaskan mengapa belajar kolaboratif di perguruan tinggi begitu populer saat ini. . . kolaborasi baik dalam hubungan pribadi maupun kenyataan”.
Ciri berikutnya, generasi Millenia kurang menganggap penting pendidikikan liberal. Mereka lebih tertarik pada pendidikan yang berorientasi karir yang memungkinkan mereka dapat hidup lebih baik. Sweeney menyatakan bahwa generasi Millenia begitu kaku: “... mereka ingin belajar, tetapi mereka ingin belajar hanya pada apa yang harus mereka pelajari, dan mereka ingin belajar dalam gaya belajar yang terbaik menurut mereka. . . mereka cenderung lebih memilih belajar dengan melakukan," (Carlson, 2005: 36), Learning by Doing. Kenyataan itu mendorong dosen untuk merubah diri dan merubah paradigm mengajar.
Strauss dan Howe (2005: 24) mengingatkan : “... jika Generasi Millenia menganggap professor tidak bisa lagi mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup sukses, maka perguruan tinggi harus waspada. Banyak dari mereka akan mengundurkan diri, jumlah Mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi bisa jadi menurun, dan angka DO meningkat tajam”.
Lebih positif, Harris dan Cullen (2007:5) mencatat bahwa bahwa generasi-M berpandangan bahwa “... belajar itu melakukan bukannya mengetahui, karena itu mereka lebih menyukai belajar mengalami dan trial and error daripada pengetahuan abstrak". Kenyataan itu mencerminkan perlunya perubahan menuju pembelajaran berpusat pada peserta didik, student-centered learning.
Kehidupan saat ini menuntut Mahasiswa untuk mengetahui cara belajar, baik belajar sendiri maupun belajar bersama orang lain, belajar dan bekerja sama dengan orang lain. Setelah lulus kuliah, Mahasiswa Anda akan berhadapan dengan masalah hidup yang kompleks dan mereka akan segera menyadari bahwa ada begitu banyak kontradiksi, ambiguitas, dan perubahan yang terjadi, dengan apa yang dipelajari di kampus. Berhadapan dengan beragam perspektif, seringkali bertentangan, mereka akan terus dipaksa untuk keluar dari pola pikir lama, untuk berpikir dengan cara baru. Jika mahasiwa tidak mampu belajar sendiri dan belajar bekerjasama dalam tim, maka mereka tidak akan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dunia di masa mendatang.
Association of American Colleges and Universities (2002: 1) membingkai situasi ini, sebagaimana dapat Anda simak pada kutipan berikut: “Dunia ini kompleks, saling berhubungan, dan lebih bergantung kepada pengetahuan daripada dunia sebelumnya. Perguruan tinggi telah menjadi identitas semu bagi individu untuk membangun dan memuaskan kehidupan dan karir. Dalam dunia yang mengalami perubahan begitu dahsyat, setiap peningkatan jenis pekerjaan telah diikuti dengan peningkatan dramatis dalam persyaratan pendidikan.
Mayoritas pekerjaan sekarang diselenggarakan oleh orang-orang yang memiliki hubungan dengan setidaknya beberapa perguruan tinggi, dan pekerjaan tumbuh dan berkembang begitu cepat hanya tersedia untuk para pekerja yang mendapatkan pendidikan terbaik.”
Mempersiapkan Mahasiswa untuk belajar seumur hidup secara terarah dan efektif, memiliki konsekuensi logis pada cara dosen dalam menetapkan materi, menata struktur pengetahuan, serta strategi yang digunakan mendorong kegiatan pembelajaran. Mahasiswa dituntut untuk mengasah kemampuan berfikir, diasah untuk mengolah informasi dan memanfaatkannya.
Mahasiswa akan hidup dan bekerja di tengah-tengah dunia ketika kualitas dan kuantitas informasi berubah dengan cepat dan apa yang dianggap sebagai pengetahuan dan kebenaran terus berubah sepanjang waktu dan di setiap konteks situasi.
Efek dari teknologi komunikasi dan informasi telah menghasilkan perubahan besar dalam cara kita hidup dan bekerja. Bagaimana tidak, informasi apapun yang kita inginkan, hanya dengan menggerakkan jari pada sebuah aplikasi telepon genggam yang canggih.
Sejumlah penelitian, buku, dan artikel terbaru telah difokuskan pada cara peserta didik belajar, belajar di era informasi yang berlimpah. Bransford, Brown, dan Cocking (2000) How People Learning mengejek para dosen yang memiliki komitmen pada kualitas pembelajaran, tetapi mengabaikan penelitian dengan implikasi yang begitu jelas tentang pengajaran berpusat pada Mahasiswa didik .
Dalam penelitian yang dilakukan Beichner (2006) tentang pembelajaran aktif dan implikasinya bagi semua aspek pembelajaran dan pengajaran, termasuk desain lingkungan belajar, rasanya sulit untuk menolak kenyataan bahwa pengajaran yang biasa-biasa saja, mempersiapkan dan memberikan ceramah kemudian meminta Mahasiswa memuntahkan fakta pada penilaian yang berbentuk uraian singkat atau beberapa tes pilihan ganda, adalah pengajaran yang tidak sesuai dengan tuntutan abad ke-20.
Faktanya, Fink (2000:3) menyimpulkan, “... penelitian tentang pendidikan selama 25 tahun telah membenarkan dugaan bahwa apa yang ditransmisikan ke Mahasiswa melalui kuliah tidak dapat dipertahankan untuk waktu yang sangat lama”. Hal itu menunjukkan bahwa dosen harus segera merubah diri. Belajar adalah proses aktif, konstruktif, dan kontekstual.
Pengetahuan baru diperoleh dalam kaitannya dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya; informasi menjadi bermakna ketika disajikan dan diperoleh dalam beberapa jenis dan kerangka penataan. Berdasarkan perspektif berpusat pada Mahasiswa, tugas dosen adalah untuk berinteraksi dengan Mahasiswa dengan cara yang memungkinkan mereka untuk memperoleh informasi baru, melatihkan keterampilan baru, mengkonfigurasi ulang apa yang sudah mereka ketahui, dan mengenali apakah mereka telah belajar.
Sebuah pendekatan pembelajaran berpusat pada mahasiswa berimplikasi kuat pada cara mengajar dosen. Dosen harus menjawab beberapa pertanyaan: Apa artinya menjadi orang yang menguasai disiplin ilmu atau bidang tertentu?; Bagaimana keterkaitan antara mata kuliah yang Anda ampu dengan tujuan program studi, dengan mata kuliah yang lain di dalam program studi?, dan; Apa yang menjadi niat dan tujuan Anda dalam menilai pembelajaran?.
Pendekatan berpusat pada Mahasiswa didik menuntut dosen untuk memikirkan implikasi gaya mengajar Anda pada kemampuan Mahasiswa didik; keputusan yang Anda buat tentang strategi pengajaran dan bentuk penilaian; dan cara-cara mengajar yang sesuai dengan kebutuhan Mahasiswa didik yang beragam. Pelaksanaan peran dan tanggungjawab Anda sebagai dosen dapat mempengaruhi kesuksesan Mahasiswa Anda di masa mendatang.
Pendekatan pembelajaran berpusat pada Mahasiswa (student- centered learning) menuntut dosen untuk mengajar sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan Mahasiswa. Ketika Mahasiswa menganggap kuliah dengan dosen itu lebih penting daripada mengerjakan yang lain, tugas berikutnya adalah memastikan bahwa Mahasiswa mau belajar dan mampu belajar.
Kata "mau" dan "mampu" dua hal yang berbeda, tidak ada yang harus didahulukan. Kemauan dan kemampuan, dua-duanya penting. Jika Mahasiswa memiliki "kemauan" mengerjakan perintah, tetapi tidak memiliki "kemampuan", Mahasiswa akan mengerjakan dengan salah. Begitu sebaliknya, ketika Mahasiswa memiliki "kemampuan" tetapi tidak memiliki "kemauan", maka perintah dosen tidak akan dikerjakan.
Kebanyakan dosen seringkali membuat asumsi, Mahasiswa adalah manusia dewasa, mereka sudah harus bisa berfikir. Itu asumsi yang keliru, saya kira. Karena umur seringkali tidak ada kaitannya dengan kedewasaan berfikir dan berasumsi bahwa semua Mahasiswa adalah manusia dewasa, itu kekeliruan fatal. Tidak semua Mahasiswa adalah manusia dewasa.
Dosen tidak akan melaksanakan tugas profesionalnya dengan efektif [mengajar efektif], jika tidak memahami konsep "kemauan" dan "kemampuan" itu dengan benar. Dosen tidak akan mampu mengajar untuk membekali "keahlian", jika tidak mengetahui strategi dan metode untuk membangun "kemauan" dan "kemampuan".
Mengajar adalah kegiatan yang kompleks, namun sebagian besar dari kita belum menerima pelajaran penting dalam pedagogi. Selanjutnya, mengajar merupakan kegiatan yang sangat kontekstual karena mengajar dibentuk oleh apa yang dimiliki oleh Mahasiswa didik , kemajuan belajar yang mereka peroleh, perubahan teknologi, dan sebagainya. Oleh karena itu, dosen harus mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan.
Rujukan
Aeng Muhidin. 2017. Mengajar Efektif: Pendekatan Berpusat Pada Mahasiswa didik . Bandung: Unpam Press.
Sagala, Syaiful. 2008. Konsep dan makna pembelajaran. Bandung: PT. Alfa Beta Bandung
Sudirman dkk. 1991. Ilmu Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Suyanto, Slamet. 2008. Strategi Pendidkan Anak. Jogjakarta: Hikayat Publising
Attard, Angele, et al. “Student-Centred Learning: Toolkit for Students, Staff and Higher Education Institutions.” European Students’ Union (NJ1) (2010).
Guglielmino, Lucy Madsen. “The case for promoting self-directed learning in formal educational institutions.” SA-eDUC 10.2 (2013).
Smith, Barbara Leigh, and Jean T. MacGregor. “What is collaborative learning.” (1992): 233-267.
Hasibuan dan Moedjiono, Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)
Understanding.” Journal of Physics: Conference Series. Vol. 1095. No. 1. IOP Publishing, 2018.
Johnson, and Karl Smith. “The state of cooperative learning in postsecondary and professional settings.” Educational Psychology Review 19.1 (2007): 15-29.
Manning, M. Lee, and Robert Lucking. “Cooperative learning and multicultural classrooms.” The Clearing House 67.1 (1993): 12-16.
Dawam Dwi Jatmiko S, dkk. 2015. Student Centered Learning-Lecturer’s Encouragement, Assistance and stimulating-Deliverance (SCL-LEAD). Universitas Telkom: Bandung
Comments