top of page
Yusrin Ahmad Tosepu

Dosen Visioner dan Revolusioner

Setiap orang pasti sepakat kalau dosen harus menjadi teladan bagi anak didiknya dan masyarakat. Namun, apakah dosen cukup menjadi teladan? Menurut penulis tidak hanya menjadi teladan, tapi seorang dosen yang juga pendidik dan pengajar harus visioner dan revolusioner. Artinya, yang perlu disoroti di sini juga kemampuan dosen sebagai pendidik dan pengajar dalam mengemban tugas mulianya. Secara implist, bisa disimpulkan ada “Dosen sejati” dan “Dosen aspal”. Dosen sejati adalah mereka yang visioner menjalankan tugasnya dengan penuh semagat keikhlasan dan semangat revolusioner mendidik anak bangsa. Sedangkan Dosen aspal adalah mereka yang berorientasi pada “rupiah” belaka, mengajar tanpa mendidik, memenuhi presensi tanpa menjadi motivator sejati bagi anak didiknya di kampus. Era global seperti ini memang menuntut dosen untuk menjadi pragmatis. Artinya, dosen butuh kesejahteraan dan kemakmuran. Dan hal itu salah satunya diperoleh dari tugasnya sebagai pendidik dan pengajar di lembaga pendidikan. Di sisi lain munculnya kebijakan sertifikasi semakin menjadikan dosen salah niat dalam mengajar. Padahal kebijakan tersebut seharusnya menjadikan dosen lebih kreatif, inovatif, dan profesional dalam mengemban misi mencerdaskan anak bangsa, bukan sekedar mengejar rupiah. Oleh karena itu, hal ini harus segera diluruskan. Lalu bagai mana caranya? Caranya adalah dimulai dari mencegah munculnya dosen aspal. Karena apa artinya rupiah, jika dosen sebagai pendidik dan pengajar tidak biasa menjalankan tugas sucinya. Maka sebagai insan pendidikan, hal itu harus disikapi dosen dengan arif. Salah satunya adalah dengan mencegah munculnya Dosen aspal dengan beberapa solusi dan trobosan yang efektif. Setidaknya ada beberapa cara, antara lain: Pertama, memperketat penerimaan dosen, baik PTN maupun PTS. Mengapa demikian? Karena, selama ini masih banyak orang masuk kampus dan menjadi dosen hanya “berbasis KKN”. Artinya, asalkan punya kenalan pihak kampus/yayasan pemilik kampus, asalkan punya keluarga, kenalan alias kolega , maka akses masuk jadi dosen juga mudah. Kedua, mempertegas aturan, mekanisme dan kriteria atau syarat menjadi dosen baik PTN dan lebih terkhusus dosen PTS . Selama ini, penerimaan dosen khususnya dosen PTS tidak ketat dan kriterianya tidak jelas. Kita ketahui bahwa setidaknya seorang dosen harus memiliki empat kompetensi pendidikan, yaitu pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Ketiga, dosen harus linier, sesuai jurusannya. Artinya, jika dosen itu lulusan Pendidikan Agama Islam, maka yang diajar mata kuliah pendidikan agama Islam pula. Masih sering kita jumpai fakta di lapangan, dosen mengajar tidak sesuai dengan bidangnya. Misalnya, lulusan sarjana hukum mengajar materi ekonomi , dan sebagainya. Yang jelas dan utama adalah dosen harus memenuhi kualifikasi akademik dan kriteria plus-plus. Artinya, selama ini banyak dosen yang pandai secara akademik, namun tidak mampu menjadi pendidik yang mampu memberikan motivasi dan semangat bagi anak didiknya. Inilah yang disebut dengan “kemampuan puls-plus”yang jarang dimiliki oleh dosen. Bahkan banyak dosen killer yang ditakuti anak didiknya alias mahasiswanya, dosen yang selalu memakai metode ceramah tak berujung campur omdo (omong doang), Dosen CBSA (Catat Buku Sampai Abis), dosen yang mengajar ala kadarnya, bahkan dosen yang centil/gatal kepada anak didiknya (mahasiswa/winya, bahkan ada dosen yang tidak paham benar materi yang diajarkannya, dan masih banyak contoh lainnya. Inilah yang perlu dibenahi, jangan sampai dosen aspal merusak pendidikan di negara ini. Dosen Visioner dan Revolusioner Dosen menjadi salah satu penentu pendidikan di negara ini. Tentu yang urgen adalah perlunya dosen visioner dan revolusioner yang mampu membuka cakrawala berpikir anak didiknya, mengajar penuh dengan motivasi tinggi dengan semangat memajukan pendidikan Indonesia.

Menurut Dian Marta Wijayanti, guru revolusioner memiliki beberapa ciri.

Pertama, dia selalu mengajar penuh rasa ikhlas tanpa pamrih. Artinya, dia tetap butuh kesejahteraan, tetapi bukan itu tujuannya. Mengapa? Karena menjadi dosen bukanlah tujuan, karena posisi dosen hanyalah alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia yang masih jauh dari harapan. Kedua, memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi. Artinya, bagaimana mungkin anak didik (mahasiswa/wi) akan bersikap disiplin kalau dosennya tidak disiplin. Ketiga, selalu menjadi panutan/dambaan anak didik (mahasiswa/wi) dan memberikan motivasi kepada anak didik agar semangat dalam mencari ilmu, baik di kampus maupun di luar kampus. Keempat, mampu mengajarkan kepada anak didiknya (mahasiswa/wi), bahwa hidup tidak sekedar menjadi manusia berilmu, akan tetapi juga beriman dan beramal. Kelima, selalu mengajarkan kepada anak didiknya (mahasiswa/wi) bahwa hidup bukan sekedar “mejadi apa” (to be), tapi yang lebih penting adalah “berbuat apa” (to do). Inilah yang harus ditanamkan kepada anak didik (mahasiswa/wi). Dengan demikian, wajah pendidikan tinggi kita akan semakin berseri-seri, jika para dosenya visioner dan revolusioner. Maka dari itu jadilah dosen visioner dan revolusioner, bukan dosen aspal yang hanya sekedar mengajar, mengejar dan mengumpulkan rupiah.

__Tetap semangat sebagai pendidik, pengajar, sekaligus pembelajar sejati. Jadikan dosen sebagai profesi yang profesional yang mengedepankan pengabdian, karya dan karsa untuk kemajuan pendidikan tinggi Indonesia.

54 views0 comments
bottom of page