top of page
Yusrin Ahmad Tosepu

DUNIA RISET INDONESIA (:Riwayatmu Kini


Simak sejenak beberapa Judul berita (media cetak dan online) seputar Kondisi Riset Indonesia kekinian; Dunia Riset Indonesia Kurang Peneliti dan Terancam Putus Generasi, Muramnya Wajah Dunia Riset Indonesia, Potret Dunia Riset Indonesia, Penyebab Dunia Riset Indonesia Susah Maju, Nasib Riset Tanah Air, dan masih banyak lagi judul berita lainnya mengenai kondisi riset indonesia kekinian.


Intisari Isi dari judul berita tersebut tidak lepas dari kegundahan dan kegalauan para penulis tentang nasib riset tanah air. Para penulis dan nara sumber mengungkapkan seputar permaslahan dunia riset Indonesia sekaligus mencoba menawarkan solusi guna memajukan dunia riset tanah air.


Akar Masalah dan solusi Seputar Dunia Riset Indonesia

Sistem pendanaan riset yang terikat dengan model penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sudah selayaknya dipertimbangkan ulang. Dengan skema seperti ini, pundi-pundi penerimaan negara kelihatannya secara terselubung diminta kepada perguruan tinggi yang menjadi beban berat perguruan tinggi.


Selama ini formulanya adalah besarnya dana riset sebanding dengan besarnya dana PNBP. Akibatnya perguruan tinggi ”terpaksa” meladeni pemenuhan unsur pemerataan, dengan menerima mahasiswa banyak, ketimbang memajukan riset di perguruan tinggi secara berkualitas dan meningkatkan kualitas.

Dosen-dosen muda dipaksa mengajar banyak. Yang semula dua mata ajar, setara dengan 6 SKS, kemudian ditugaskan mengajar tambahan di diploma 3. Padahal dosen muda mesti merampungkan persiapan untuk studi lanjutan, persiapan bahasa Inggris, dan ikut riset dengan dosen seniornya. Ini membuat tawaran mengajar memperoleh cash money yang menarik, ketimbang menempuh dunia akademik yang berat di awal. Akibatnya kultur dosen untuk riset tidak terbangun.


Skema riset dengan sistem sekarang lebih mengutamakan capaian administratif ketimbang substansi hasil riset. Skema-skema riset yang digabung secara nasional, masih umum sifatnya tidak memecahkan bidang keilmuan di mana sebuah universitas menjadi kuat.


Kegiatan Riset terkesan hanya pemenuhan unsur administratif. Semua bukti autentik diperlihatkan oleh dosen pemenang hibah. Namun ketika di periksa publikasi, buku ajar, paten, atau hilirisasinya, banyak yang mengelak dengan seharusnya dijanjikan di awal penetapan pemenang riset.


banyak Dosen-dosen kita menjadi ”favorit” penyelenggara seminar domestik dan internasional. Termasuk juga para pengelola jurnal yang mencari dosen-dosen kita dan menawarkan publikasi, yang ternyata jurnalnya banyak yang bodong. Seminarnya lebih kepada pemenuhan entertainment, karena proses reviu dari pembicara sangat longgar.


Research center di perguruan tinggi kita belum berkembang. Yang ada adalah lembaga penelitian, liason officer-nya perguruan tinggi, yang mengurusi administrasi riset. Kontrak riset banyak yang dilaksanakan secara individu. Padahal, sebuah riset mesti dikerjakan lintas bidang dan jauh lebih baik hasilnya terinstitusionalisasi.


Research center tidak berkembang, karena masing-masing dosen tidak membudayakan proses riset pada sebuah institusi riset. Proses pembimbingan mahasiswa juga tidak berjalan secara baik. Besar dugaan kegiatan seminar belum terlaksana secara baik. Ini berdampak buruk pada suasana akademik yang terjadi di universitas-universitas. Jurnalnya juga tidak berkembang dan sering mati pucuk setelah beberapa edisi terbit.


Anehnya prestasi menghasilkan jurnal, publikasi dalam bentuk jurnal, atau buku ajar, tidak dijadikan sebagai sebuah penilaian bagi prestasi dosen. Akibatnya dosen berpotensi hijrah untuk memburu jabatan nonakademik, sekelas rektor/dekan atau pembantunya. Jarang yang mau melanjutkan riset doktoralnya setelah kembali ke perguruan tinggi setempat.


Dengan skema pendanaan desentralisasi maka masih banyak ruang gerak yang dapat diusulkan untuk memajukan riset di Indonesia.


Pertama, perlu pengembangan skema dosen peneliti inti di masing-masing jurusan. Mereka yang berstatus dosen peneliti inti memperoleh mandat lebih kuat untuk menghasilkan riset akademik yang bermutu. Kepada mereka dapat diberikan block grant riset dengan sasaran akhir publikasi, buku ajar, atau paten.


Kedua, proses penelitian dapat didorong lahir dalam research center/research group, laboratorium di masing-masing universitas. Kelahiran research center yang khas sangat membuat para dosen berafiliasi di research center. Proses pembimbingan mahasiswa pascasarjana dapat terjadi di sana. Ini juga untuk menjaga agar terjadi sustainability proses riset yang mumpuni.


Ketiga, para profesor dapat memajukan research center dengan terlebih dahulu menyusun payung penelitian yang strategis dalam jangka panjang. Satu profesor dapat beranggotakan dua atau tiga doktor, serta mahasiswa calon doktor atau mahasiswa program master yang turut serta secara full time di research center.


Ketika tiga tahapan itu bisa dihasilkan dalam pengembangan pendidikan tinggi, mungkin daya ungkit publikasi, buku ajar, maupun paten membuat daya saing perguruan tinggi kita akan maju.


Orientasi pendidikan tinggi sarjana sebaiknya diarahkan pada kualitas. Sementara untuk perguruan tinggi yang tidak banyak risetnya, mandat pengajaran boleh lebih menonjol, atau diarahkan untuk calon angkatan kerja yang terampil.


Pemerintah terus mendorong dunia penelitian Tanah Air agar kian meningkatkan daya saing di kancah dunia. Potret dunia riset di Indonesia sendiri dihiasi berbagai masalah, mulai dari minimnya dana dan fasilitas hingga kurangnya apresiasi industri.


Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemristekdikti, Dr Muhammad Dimyati menjelaskan, banyak karya inovasi anak bangsa masih menggunakan teknologi asing. Selain itu, kata Dimyati, masih banyak penelitian yang dilakukan pihak asing tidak terdaftar di lembaga riset atau perguruan tinggi Indonesia. Dia bercerita, dalam sebuah kunjungan ke Bali, ternyata ada sejumlah peneliti asing sedang meneliti kera di kebun binatang. Namun setelah ditelusuri ke kampus, ternyata peneliti itu tidak terdaftar bersama mereka.


Hal lain yang di ungkapkan Dr Muhammad Dimyati adalah mengenai kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Banyak peneliti kita yang sudah mendekati masa pensiun karena itu kita perlu merekrut peneliti-peneliti baru. Sedangkan untuk para peneliti yang baru itu kan juga tidak muda, mereka harus dibina terlebih dahulu. Celah antara peneliti muda dengan yang sudah senior sangat tinggi. Sehingga, jika peneliti senior sudah pensiun, maka tidak akan ada lagi peneliti. Selain itu, ketersediaan sarana dan prasarana juga menjadi salah satu masalah yang ada pada dunia penelitian. Beberapa sarana dan prasarana yang ada di perguruan tinggi sudah usang.


Berbasis riset


Dalam kasus Indonesia, pengedepanan hasil kebijakan berbasis riset (policy-based research) dan hasil kajian berbasis riset (evidence-based research) belum mendapatkan perhatian lebih. Implikasinya, kebijakan pemerintah yang dihasilkan selama ini dibuat berdasarkan nalar by agenda dan by issue, bukan by research. Kondisi itulah yang menyebabkan hasil riset bertumpuk di gudang kantor pemerintah.


Fungsi litbang yang sejatinya sebagai lembaga penelitian dan pengembangan justru dipelesetkan menjadi lembaga sulit berkembang. Munculnya akronim itu menunjukkan bahwa riset adalah dunia satire dan ironi. Meskipun kini Dikti sudah digabung dengan Kemenristek, belum tampak ada gebrakan. Upaya menyinergikan riset yang dikomandoi Dikti melalui PTN, PTS, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menjadi koordinator litbang di setiap kementerian dan non kementerian belum menunjukkan hasil signifikan.


Perumusan kebijakan


Dunia riset seharusnya menjadi arena strategis bagi perumus kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintan dibangun melalui proses agenda setting oleh para stakeholder yang ingin kepentingannya dipenuhi dengan mengatasnamakan kepentingan publik. Adanya subyektivitas personal dan kolektif yang dipilih dalam merumuskan kebijakan publik menyebabkan dimensi kemaslahatan kebijakan tidak dirasakan merata oleh masyarakat Kebijakan tanpa didasari hasil riset hanya berujung pada pemborosan anggaran karena tidak ada dasar obyektivitas ilmiah yang dijadikan parameter.


Meski demikian, bicara dunia riset di Indonesia adalah suatu keprihatinan klasik yang selalu berulang. Salah satunya, masalah anggaran riset yang hanya 0,9 persen dari APBN, padahal idealnya 1,5 persen. Selain itu, redistribusi hasil riset dari lembaga penelitian yang tidak merata dan hanya menumpuk di gudang, birokratisasi ilmu pengetahuan sehingga menjadikan peneliti seperti dalam penjara panopticon negara karena selalu diawasi secara sadar dan tidak sadar, dan masalah kesejahteraan peneliti yang dirasa kurang dibandingkan dengan rekan sejawat peneliti di negara-negara lain.


Menurut rilis R&D Magazine pada 2014, posisi Indonesia berada di bawah 1 persen dalam pengembangan riset Artinya, masyarakat Indonesia berada dalam masyarakat tanpa pengetahuan karena minimnya ilmu pengetahuan yang diolah dan diterapkan.


Secara politis, pemilihan LIPI sebagai tuan rumah Kipnas ke-11 juga mengandung pesan simbolis kepada pemerintah. Pertama, penguatan lembaga penelitian jadi lembaga penelitian dan pengembangan. Selama ini posisi sebagai lembaga penelitian dinilai tidak bisa bergerak bebas dalam menyebarkan hasil kajian riset Riset itu hanya dilakukan secara internal, hasilnya untuk internal dan menjadi buku, tanpa masyarakat sebagai user mengerti proses terciptanya ilmu pengetahuan.


Bebas dan meluas


Ketua LIPI Iskandar Zulkarnain menyatakan bahwa perlua adanya dimensi pengembangan ilmu pengetahuan itu secara independen bisa mengembangkan ilmu pengetahuan secara bebas dan meluas.


Penguatan LIPI sebagai lembaga koordinator institusi riset di seluruh Indonesia pertu ditegakkan. Selama ini peran dan hasil riset setiap lembaga penelitian tidak terkoordinasi dengan baik sehingga menciptakan kontestasi antarlembaga.


Hal itu sebenarnya karena setiap lembaga penelitian ingin mendapatkan pamor dan panggung dengan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas isu. Pola itulah yang harus diberantas dengan LIPI berperan sebagai mediator dan koordinator bagi semua lembaga riset, bahwa riset untuk kemajuan jauh lebih penting daripada riset untuk persaingan.


Adanya UU Peneliti dan Penelitian Ilmu Pengetahuan yang masuk Program Legislasi Nasional 2015 perlu diadvokasi dan disahkan guna memastikan masa depan ilmu pengetahuan yang cerah. LIPI terus berupaya menagih janji Presiden Jokowi untuk menaikkan anggaran riset karena setahun lalu Jokowi berjanji akan menaikkan anggaran riset menjadi 1 persen. Dalam Nawacita disebutkan bahwa ilmu pengetahuan menjadi pilar penting pembangunan negara.


LIPI terus berupaya menjembatani dunia riset dengan dunia kebijakan yang belum terhubung. Kebijakan tanpa dasar ilmiah adalah pembohongan dan riset tanpa disertai kebijakan adalah kemunafikan. Oleh karena itulah, kedua arena tersebut pertu dihubungkan bahwa bahasa riset yang menukik dan mendakik itu bisa dijelaskan secara awam dalam bahasa kebijakan dan bahasa kebijakan yang serba teknis itu jelas dasarnya dari proses ilmiah. Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iskandar Zulkarnain menyayangkan anggaran riset Indonesia yang belum membaik dari tahun ke tahun. Bahkan, sepanjang 2016 telah terjadi dua kali efisiensi dengan pemotongan anggaran.

Iskandar mengungkapkan, struktur anggaran riset di LIPI sendiri masih belum seperti yang diharapkan. “Dunia riset Indonesia masih membutuhkan dukungan dari pemerintah, tidak hanya anggaran penelitian, tetapi juga dalam bentuk kebijaka. Dari total 1,182 Triliun anggaran LIPI pada 2016, hanya sekitar 30 persennya yang digunakan untuk kegiatan penelitian. ”Padahal, untuk meningkatkan perkembangan dan peningkatan daya saing bangsa, penguasaan iptek dan inovasi, serta dukungan anggaran mutlak diperlukan. Menurut data Indikator IPTEK yang diterbitkan Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (Pappiptek) LIPI 2014, anggaran belanja penelitian dan pengembangan (Litbang) Indonesia baru mencapai 0,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Negara tetangga seperti Malaysia bahkan telah melangkah cukup jauh dengan mengganggarkan 1% dari PDB, begitu juga dengan negara-negara anggota BRICS yaitu Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan yang sudah melebihi 1%.

Pemerintah bisa lebih memperkuat komitmen dan perhatian terhadap dunia penelitian. terbatasnya anggaran dan perhatian terhadap riset tidak melemahkan semangat para peneliti Indonesia untuk terus berkontribusi menghasilkan yang terbaik bagi negara ini lewat penelitian.


Iskandar juga mengungkapkan bahwa dunia riset Indonesia kekurangan banyak peneliti. Beberapa bidang penelitian malah terancam "putus generasi" karena kekurangan peneliti baru. Saat ini, menurut Iskandar jumlah peneliti LIPI sekitar 1300-an. Sementara jumlah ideal, untuk lembaga riset tertua dan terbesar di Indonesia ini setidaknya mencapai 5.000-an. "Sebenarnya tidak hanya di LIPI.


Secara umum jumlah peneliti Indonesia memang masih kurang, jika dibandingkan dengan negara lain dan dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan. Contoh, negara maju seperti Amerika Serikat yang memiliki 3.000 peneliti per satu juta penduduk. Atau Korea Selatan yang memiliki 4.000 peneliti per satu juta penduduknya. "Rasio peneliti di Indonesia hanya 34 peneliti per satu juta penduduk.


Dengan jumlah penduduk Indonesia di atas 250 juta jiwa, saat ini jumlah peneliti Indonesia baru sekitar 9.000-an peneliti aktif. Jumlah tersebut, memang belum termasuk jumlah peneliti-peneliti yang ada di kampus-kampus atau perguruan tinggi. Penelitian di perguruan tinggi adalah sepertiga dari bagian Tri Darma Perguruan Tinggi.


Tumbuhkan Minat


Selain pemenuhan kebutuhan jumlah peneliti, LIPI menilai perlunya untuk menanamkan minat penelitian kepada generasi muda. Langkah ini dinilai perlu untuk menanamkan budaya meneliti sejak dini pada generasi muda.


LIPI memiliki program tersendiri untuk menumbuhkan minat penelitian pada generasi muda. Pola pengembangan minat dan pembelajaran iptek itu harus dimulai dengan menanamkan budaya meneliti dan itu harus dimulai sedari dini mungkin.


Bagaimana dengan Riset di Perguruan Tinggi


Riset merupakan elemen sangat penting bagi pengembangan kualitas pendidikan sebuah perguruan tinggi. Tanpa riset, ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi hanya berdasar literatur-literatur terbelakang, yang asumsinya jarang diperbaharui lagi. Oleh karena itu riset menjadi elemen utama dalam penentuan rangking perguruan tinggi khususnya di tingkat internasional, Tidak hanya rangking universitas, namun tulisan dan riset yang dipublikasikan akan meningkatkan reputasi diri dosen atau peneliti juga.


Kemampuan peneliti untuk menghasilkan penelitian-penelitian yang berkualitas internasional, dimulai dengan karya penelitian-penelitian sederhana. Sedangkan penelitian sederhanpun banyak yang diawali dengan pembiasaan diri menuangkan ide dalam tulisan berbentuk chapter-chapter buku, yang selanjutnya dirangkum menjadi buku.


Setiap Perguruan tinggi berkewajiban untuk meningkatkan budaya menulis, mulai dari chapter-chapter buku. meyakinkan kepada seluruh civitas akademika bahwa menulis buku itu tidak sulit, sebagaimana mempublikasikan hasil riset di jurnal-jurnal ilmiah. Karena menulis buku tidak harus melewati seleksi kualifikasi topik dan isi yang disyaratkan oleh sebuah jurnal, serta tidak harus direview oleh para reviewer.


Perguruan tinggi di sarankan untuk segera membentuk tim-tim dosen untuk menulis chapter-chapter buku tertentu sesuai dengan bidang masing-masing. Banyak hal yang menarik terkait Indonesia merupakan tema yang sangat menarik untuk ditulis dan diteliti. Dari chapter-chapter tersebut nantinya bisa menjadi sebuah buku referensi.


Salah satu contoh misal di perguruan tinggi Australia, para dosennya membudayakan menulis buku-buku tersebut, meneliti dan mempublikasikannya dalam jurnal-jurnal ilmiah. Produktifitas dosen-dosen dalam menulis buku dan menghasilkan penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal lmiah pasti akan menaikkan rangking universitas sekaligus meningkatkan reputasi dosen itu sendiri,


Berskala kolektif


Tujuan penelitian di perguruan tinggi tidak kalah mulia dibandingkan dengan studi karena menjadi dasar untuk berjalan ke depan, bukan hanya untuk dosen dan perguruan tinggi bersangkutan, melainkan bagi keberlanjutan bangsa. Manfaatnya tak akan kurang disebutkan: pengetahuan baru, nilai tambah, dan peningkatan daya saing. Karena penyelenggaraan riset bukan menyangkut segulung uang, melainkan berskala kolektif, berapa alokasi dana yang dipandang layak? Negara-negara maju membelanjakan 2 persen produk domestik bruto (PDB) atau lebih untuk riset dan pengembangan. Pada 2009 angka yang dibukukan Singapura adalah 2,43 persen, Malaysia 1,01 persen, dan Thailand 0,25 persen (Research and Development Expenditure, data.worldbank.org). Biasanya kita malu menyebut apa yang berlaku untuk Indonesia karena besarnya hanya 0,08 persen. Dengan tipisnya pendanaan di Tanah Air, terbatas pula kuantitas kegiatan dan hasil penelitian. Dibandingkan dengan sebuah negara tetangga yang pernah berguru dari Indonesia dan sekarang mengalokasikan dana yang besar, kita jauh tertinggal dalam jumlah makalah pada jurnal internasional. Padahal, publikasi taraf dunia merupakan ukuran penting bagi prestasi penelitian.

Walaupun demikian, keadaan tertinggal tampaknya tidak terasa mengenaskan bagi kaum awam. Bila diamati sehari-hari, tanpa banyak riset pun kehidupan seakan sudah berjalan ”normal” dan bahkan menunjukkan pencapaian yang memadai. Pertumbuhan PDB kita belakangan justru lebih tinggi daripada negara tetangga yang dimaksudkan tadi.


Kedalaman pandang


Dari tahun ke tahun hasil industri manufaktur Indonesia cenderung memakai teknologi rendah sampai menengah (Indikator Iptek Indonesia 2009, LIPI 2010). Produk yang mengandalkan teknologi tinggi, seperti peralatan komunikasi, belum meningkat secara signifikan. Padahal, pemanfaatan teknologi tinggi paling berpeluang memberikan nilai tambah dan memerlukan riset untuk mengembangkannya. Pertanyaannya, akankah tetap demikian sampai era nanti?

Penelitian diarahkan untuk melahirkan setakar demi setakar pemahaman, teori, rumus, metode, teknik, sekaligus memberikan manfaat kepada peneliti yaitu kelekatan yang erat dengan bidang yang ditekuni. Kedalaman pandang (insight) yang intens pada bidang tersebut. Pada saatnya nanti, bangsa yang berjaya ialah bangsa yang siap dan berkemampuan tinggi. Dan, kemampuan tangguh tidak diperoleh seketika dari mengunduh, tetapi melalui jalan panjang yang ditempuh dengan tekun. Maka, perlu kiranya pemerintah, dunia pendidikan, usaha dan industri Indonesia membuat kebijakan sekaligus investasi untuk riset kita.


Kemitraan Riset


Ketergantungan Indonesia pada teknologi impor tampaknya belum bisa disudahi meski tak mungkin lepas sepenuhnya. Namun, jika mampu mengembangkan kemandirian niscaya akan memberi harapan lebih besar untuk mencapai lompatan menuju bangsa dan negara bermartabat. Untuk mencapai ke arah itu, tentu saja Indonesia akan selalu memerlukan kemitraan strategis dengan negara-negara maju.


Kemitraan strategis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak saja dalam wujud penerapan teknologi impor di sektor industri, melainkan juga perlu diupayakan melalui penguatan kolaborasi riset yang setara dengan melibatkan lembaga litbang dan perguruan tinggi dalam pengawasan ketat oleh pemerintah.


Pemerintah tak mungkin harus berdiam diri terhadap eksploitasi lembaga litbang dan perguruan tinggi oleh pihak asing dalam kemitraan riset. Kenyataan ini dapat dilihat dari kecenderungan klaim kepemilikan atas hak kekayaam intelektual (HKI) oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi tidak mencerminkan sebagai hasil kemitraan riset dengan pihak asing. Sementara jumlah permohonan izin penelitian oleh peneliti asing rata-rata mencapai 400 buah proposal dalam setahun. Faktanya, banyak hasil penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia, meski melalui kemitraan riset dengan lembaga litbang atau perguruan tinggi, kepemilikannya diklaim secara sepihak oleh pihak asing. Situasi demikian sudah berlangsung cukup lama, jauh sebelum peraturan tentang izin penelitian bagi orang asing dibuat.

Kemitraan Seimbang


Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memerlukan kemitraan yang lebih erat dengan negara-negara industri maju di bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, kemitraan itu sendiri hendaknya tidak menggiring Indonesia pada posisi sekedar pendampingan saja. Melainkan, harus mampu menangkap posisi sebagai mitra utama yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian itu.

Suatu izin penelitian yang diberikan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi kepada perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, serta orang asing, kadangkala tidak membuahkan hasil penelitian yang dapat diklaim sebagai milik bersama. Kondisi itu disebabkan oleh kekurangsiapan mitra penelitian dalam negeri, terutama tidak ditopang kesepakatan awal yang kuat dalam perjanjian risetnya. Padahal, setiap kegiatan penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia seyogianya dapat memberikan manfaat luas bagi pengembangan iptek itu sendiri. Bukan hanya sebatas pada manfaat finansial yang diperoleh dari biaya perizinan dan pengembangan. Karena itu, kegiatan penelitian harus selalu dalam kerangka kemitraan yang seimbang. Tak jarang, pendampingan kegiatan peneliti asing oleh tenaga ahli Indonesia lebih tampak berperan sebagai pemandu dan penerjemah bahasa. Sementara hal-hal yang bersifat substansial justru luput dari perhatian peneliti mitra pendamping. Tujuan utama dari pengaturan izin penelitian bagi orang asing itu sendiri sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2006 adalah untuk melindungi kepentingan Indonesia. Pertama, tidak boleh terjadi eksploitasi dan pencurian atas sampel yang bersumber dari kekayaan alam Indonesia, meliputi keanekaragaman hayati maupun non-hayati, artefak dan lain sebagainya. Kedua, tercapainya transfer of knowledge dari peneliti asing kepada peneliti Indonesia, bukan sebaliknya. Dan, ketiga, mencegah terjadinya penguasaan secara sepihak atas hasil penelitian yang dilakukan secara bersama-sama di Indonesia.


Realitas yang Patut di Waspadai


Dalam pergaulan internasional, keunggulan ekonomi negara-negara maju, yang meliputi pula bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh Majelis Umum PBB sebagaimana dituangkan dalam Resolusi 3281 (XXIX) tanggal 12 Desember 1974, mengenai Piagam Hak-hak dan Kewajiban Ekonomi Negara-negara, diamanatkan untuk membantu mewujudkan hak negara-negara dunia ketiga dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun tujuan yang sebenarnya belakangan disadari sebagai bentuk lain dari upaya eksploitasi ekonomis atas negara-negara dunia ketiga. Hal tersebut ti-dak dapat dielakkan namun perlu diwaspadai. Adalah merupakan konsekuensi logis dalam hubungan internasional, dimana dimensi ekonomi merupakan alasan utama terwujudnya kemitraan. Secara prinsip seyogianya tidak satu pun kegiatan penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia dapat dilaksanakan sendiri tanpa melibatkan lembaga penelitian terkait di dalam negeri. Bahkan, penting dikawal dengan suatu perjanjian riset yang kuat dalam melindungi kepentingan Indonesia.

Sayangnya, di kalangan dunia penelitian masih terdapat pemahaman konservatif bahwa kontribusi dana pihak asing menjadi main determinants bagi kepemilikan hasil penelitian oleh pihak asing. Sudah barang tentu pemahaman tersebut harus diubah. Sebab, kemitraan riset yang seimbang adalah yang mampu memberikan peluang pemilikan hasil penelitian berdasarkan kontribusi para pihak secara proporsional, baik in-cash maupun in-kind. Cara-cara yang digunakan oleh peneliti asing merupakan bagian dari kegiatan mata-mata di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini yang kemudian dikenal sebagai bagian dari techno-nationalism, sikap makin tertutup negara-negara maju dalam mempublikasikan hasil-hasil teknologinya demi mempertahankan supremasi ilmiah. Sementara melalui berbagai cara persuasif justru melakukan pencurian ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara-negara berkembang.


Demikian rangkuman catatan yang di himpun dari berbagai sumber, semoga bermanfaat. Tetap semangat dan sukses selalu dalam bekerja dan berkarya.


48 views0 comments
bottom of page