Tugas utama dan terutama dari perguruan tinggi adalah: 1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau kesenian. 2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memerkaya kebudayan nasional.
Di Indonesia pendidikan tinggi mengalami perubahan panorama selama dekade terakhir yang dimaksud meliputi perubahan paradigma, pengelolaan, persaingan dan sebagainya. Perubahan paradigma terutama dipicu oleh perkembangan teknologi informasi, sehingga e-learning, e-university, dan sejenisnya mulai banyak dibicarakan dan diusahakan. Begitu juga dengan perubahan pengelolaan menyangkut badan penyelenggaraan pendidikan tinggi, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta.
Perguruan tinggi tidak hanya perlu dilihat sebagai pusat ilmu pengetahuan, pusat penelitian, dan pusat pengabdian kepada masyarakat, tetapi juga suatu entitas korporat ‘’penghasil ilmu pengetahuan’’ yang perlu ‘’bersaing’’ untuk menjamin kelangsungan hidup. Persaingan, sebagaimana dialami oleh perusahaan profit, meliputi persaingan di bidang mutu, harga, dan layanan. Perguruan tinggi sebagai suatu entitas non profit, menghadapi hal yang sama pula. Pengelolaan semuanya memerlukan pengetahuan dan ketrampilan manajemen, yaitu manajemen perguruan tinggi.
Pendidikan tinggi khususnya Perguruan Tinggi Swasta (PTS) kekinian, terdapat beberapa kelemahan mendasar dalam penyelenggaraannya, antara lain yaitu bidang manajemen yang mencakup dimensi proses dan substansi. Pada tataran proses, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan prosedur kerja yang ketat.
Pada tataran substantif, seperti personalia, keuangan, sarana dan prasarana, instrument pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan, dan sebagainya, tidak hanya substansinya belum komprehensif, melainkan kriteria keberhasilan untuk masing-masingnya belum ditetapkan secara taat asas (Danim, 2003: 6).
Agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking/titik acuan standar/patokan). Kebanyakan PTS di Indonesia belum menggunakan Sistem Manajemen Mutu.
Dalam manajemen mutu, sudah ada tiga sistem yang berkembang, yaitu : [1] Pengawasan Mutu (PM), [2] Jaminan Mutu (JM) dan [3] Manajemen Mutu Terpadu (MMT) (Tampubolon, 2001:111). Setiap PTS perlu melakukan proses secara sistematis dalam melaksanakan perbaikan berkesinambungan. Konsep yang berlaku disini adalah siklus PDCA (plan-do-check-act), yang terdiri dari langkah-langkah perencanaan, pelaksanaan rencana, pemeriksaan hasil pelaksanaan rencana, dan tindakan korektif terhadap hasil yang diperoleh (Tjiptono,2003:15).
Melakukan monitoring dan evaluasi untuk meyakinkan apakah program yang telah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan, dan sejauhmana pencapaiannya. Tujuan dan kegiatan monitoring dan evaluasi adalah untuk meneliti efektivitas dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Evaluasi tidak selalu bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu, oleh karenanya selain hasil evaluasi juga diperlukan informasi lain yang akan digunakan untuk pembuatan keputusan selanjutnya dalam perencanaan dan pelaksanaan program dimasa mendatang. Aktivitas tersebut terus menerus dilakukan sehingga merupakan suatu proses peningkatan mutu yang berkelanjutan (Continuous Quality Improvement).
Perguruan tinggi swasta (PTS) sebagai suatu satuan pendidikan harus memiliki berbagai pedoman penyelenggaraan, antara lain tentang struktur organisasi (Pasal 52 UU No 19 Th 2005). Untuk menjaga mutu penyelenggaraan dan mutu produk, diaturlah organisasi, tata kerja lembaga, dan tatacara penjaminan mutu pendidikan (KepMendiknas No 087/0/2003). Dengan berbagai aturan diharapkan masyarakat dapat mengawal penyelenggaraan pendidikan tinggi yang memenui standard mutu tertentu di mana lulusanya dapat bersaing.
Pendidikan yang melahirkan lulusan berkualitas, harus memadukan budaya dan keseluruhan aspek kehidupan (Tilaar, 2000, 15). Organisasi pendidikan dipandang oleh berbagai pihak sebagai organisasi bidang bisnis (Ornstein & Levine, 1989, 22; Becker, 1985,18; Schultz, 1981,71; Cohn, 1979,4; Robinson & Vaizey, 1966,27).
Organisasi yang bergerak dalam bidang bisnis membutuhkan manusia yang berkualitas (Pfeffer, 1996,19). Semakin tingggi budaya bisnis suatu masyarakat semakin tinggi pula tuntutan dan kompetisi kualitas manusia. Tuntutan kualitas manusia yang semakin tinggi akan sejalan dengan tuntutan organisasi penyelenggaraan pendidikan tinggi yang semakin baik.
Organisasi perguruan tinggi yang baik adalah organisasi perguruan tinggi yang secara kultur terintegrasi. Kultur perguruan tinggi yang terintegrasi ada pada struktur organisasi perguruan tinggi yang birokratis. Namun, struktur organisasi perguruan tinggi yang bercirikan birokrasi yang sentralistik perlu dikaji ulang (Bachor & Andriyani, 2005,5).
Dalam kerangka pengembangan perguruan tinggi swasta Indonesia ke depan, pemerintah dalam hal ini Kemenristekdikti RI harus lebih serius memberikan perhatian pada pembinaan organisasi perguruan tinggi swasta. Pengembangan kelembagaan organisasi perguruan tinggi di Indonesia diarahkan untuk menjamin lahirnya sarjana yang unggul (HELTS 2003-2010).
Pendidikan diharapkan memiliki sumbangan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat (Robinson & Vaizey, 1966,27; Becker, 1975,18; Cohn, 1979,4; Schultz, 1981,71; Pophal, 2002,58; Proenza, 2002/03,44; Sylverter, 2003,5). Manajemen PT yang profesional dan akuntabel merupakan hal yang mendesak untuk dibangun (Tilaar, 2000,33; Uys, 2002,14).
Manajemen PTS hendaknya diselenggarakan dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang fleksibel, dinamis serta berorienatsi mutu agar memungkinkan setiap perguruan tinggi untuk tumbuh dan berkembang sesuai potensi yang dimilikinya.
Manajemen atau seringkali disebut pula ‘’pengelolaan’’ merupakan kata yang digunakan sehari-hari, sehingga diandaikan semua orang tahu artinya. Definisi sesungguhnya kata tersebut ternyata banyak sekali, tergantung pada cara pandang, kepercayaan, atau pengertian seseorang.
Pada umumnya perguruan tinggi swasta adalah organisasi sosial atau nirlaba, sedangkan sebagian kecil lebih cenderung disebut perusahaan komersial sebagaimana perusahaan bisnis yang lain. Istilah lain adalah Social Corporate yaitu lembaga atau organisasi sosial yang tujuannya bukan untuk mencari laba, maka sering disebut sebagai organisasi nirlaba.
Organisasi nirlaba atau organisasi non profit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik publik untuk suatu tujuan yang tidak komersial, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter). Namun, tetap harus dikelola dengan manajemen profesional, sehingga dapat berkembang menjalankan aktivitasnya sesuai visi dan misi, dan terhindar dari kebangrutan. Para pekerjanyapun diperlakukan sama dengan pekerja perusahaan bisnis yang sesungguhnya. Artinya memiliki hak dan kewajiban yang sama.
UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 no.6 menyebutkan: “Perusahaan adalah: a). setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b). usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Salah satu contoh adalah Yayasan. Yayasan adalah organisasi yang menyelenggarakan kegiatan non bisnis, seperti pendidikan, sosial, dan sebagainya. Bidang pendidikan berupa sekolah dan pendidikan luar sekolah. Umumnya, yayasan pendidikan bisa mandiri dan tidak ada organisasi payungnya, tetapi juga banyak yang berlindung di bawah organisasi yang lebih besar, seperti organisasi sosial, organisasi massa, dan lain sebagainya.
Patut menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat dengan realitas kekinian bahwa Pendidikan di negara ini sudah menjadi barang mahal. Universitas menjadi lembaga bisnis yang bukan remang-remang, tetapi terang benderang dengan keangkuhannya. Dengan dalih guru yang profesional dan bermutu, fasilitas yang lengkap, terintegrasi dengan sekolah luar negeri, sistem yang canggih, kurikulum serba unggul, serta jaminan lulusan laku di pasar kerja atau siap cetak menjadi wirausahawan, menjadi-jadi sekolah layaknya pasar transaksi ilmu dan pengetahuan. Azas “Anda berani bayar, Saya kasih” bagi sang pengusaha pendidikan sudah berlaku.
Bukan hanya PTS yang berbuat demikian. PTN sudah berani lebih gila dalam jor-joran mentargetkan uang masuk dan dana operasional pendidikan. Mulai dari mengukur penghasilan orang tua peserta didik sampai menimbang kekayaannya, agar dapat dianggap mampu membayar dan berani memberi kontribusi bagi kampus. Tawar menawar besarnya uang masuk bukan menjadi hal asing lagi bagi setiap institusi pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta. Besarnya uang masuk bukan lagi ditentukan dari keberhasilan calon peserta didik menempati peringkat dalam tes masuk.
Berbagai jenis dan tipe tes masuk disiapkan dengan tahapan gelombang dan variasi sistem pembayaran uang muka yang disesuaikan dengan “produk” yang ditawarkan. Program Studi atau Jurusan tertentu dipromosikan paling laku (dibuat adanya kuota, rasio peminat terhadap jumlah kursi yang ada) dan prospek bagi alumninya. Sebuah fenomena keberhasilan “berjualan” di perguruan tinggi dari pada di pasar.
Universitas melakukan “BCA” (banyak cari alasan) dengan memberi informasi berlaku sistem subsidi silang dalam menyelenggaraan pendidikan. Universitas menyerap dana dari masyarakat dengan cara demikian, dan tidak lagi dari sumber lain (misalnya, dana dari negara bukan utama untuk PTN).
Sebagai organisasi, lembaga, perusahaan sosial, Universitas seharusnya tetap pada visi dan misinya yang bersifat sosial. Dana pendidikan bukan semuanya diambil dari mahasiswa.
Penyelenggara Universitas khususnya PTS harus kreatif membangun dan memanfaat unit-unit bisnis yang ikut memberi kontribusi. Unit-unit tersebut juga menjadi ruang praktikum dan ladang praktik bagi murid dan mahasiswanya. Sungguh ironis kalau universitas anak bangsa, tetapi menyelenggarakan pendidikan dengan mengoperasionalkan organisasinya layaknya sebuah perusahaan bisnis yang memakai faham melebihi kapitalis di negara asalnya.
Hal ini semua orang pasti tahu, tetapi sebagian besar orang tidak tahu bahwa PTS adalah organisasi. lembaga, atau perusahaan sosial yang seharusnya tidak dibisniskan layaknya perusahaan industri, melainkan tetap dalam kerangka awalnya sebagai perusahaan nirlaba yang mengedepankan misi sosialnya. Salah satu sisi gelap dari efek komersialisasi PTS adalah munculnya fenomena IJAZAH PALSU dan masih banyak fenomenya lainnya.
Seorang calon mahasiswa yang ingin melanjutkan studi di PTS harus menyediakan uang yang besar, bagi calon mahasiswa yang tidak mampu alias orang miskin, bukan rahasia lagi jika sulit untuk mendapat akses masuk ke PTS dengan layanan yang baik dan fasilitas yang layak. Akhirnya banyak yang frustasi dan pesimis dengan mengambil jalan pintas membeli ijazah palsu di PTS Abal Abal.
Gambar : Ilustrasi Ijazah Palsu
KONFLIK YAYASAN dan PENGELOLAH, KOMERSIALISASI PENDIDIKAN, PENERBIT IJAZAH PALSU, KAMPUS ABAL ABAL, MINIM FASILITAS dan KUALITAS, dan lain sebagainya, adalah penilaian dan ungkapan masyarakat yang di labelkan pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS), peniliaian tersebut harus berakhir dan segera di akhiri. Karena Tidak sedikit PTS Indonesia yang eksis, konsisten dan komitmen menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan bermartabat.
Pemerintah dalam hal ini Kemeristekdikri harus tegas dan konsisten menerbitkan dan sekalian menutup Perguruan tinggi swasta yang terang benderang dan jelas secara nyata memproduksi ijazah palsu dan menyelenggarakan proses pendidikan yang tidak sesuai dengan aturan perundang undangan yang berlaku termasuk mengawasi dan memonitoring secara ketat aktifitas dan operasional perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi swasta (PTS) guna mencegah dan meminimalisir penyimpangan yang terjadi di perguruan tinggi swasta.
Kasus Ijazah palsu salah satu yang persoalan yang menghantui sekaligus merusak tatanan pendidik tinggi, menjadi momok yang menakutkan bagi masa depan pendidikan tinggi Indonesia dan Ilmu Pengetahuan.
Masih banyak lagi kasus yang mengedepankan transaksi bisnis ketimbang mengedepankan proses pendidikan yang harus segera diakhiri. Pendidikan tidak diukur dengan angka-angka rupiah, karena pendidikan adalah kehidupan dan peradaban hidup manusia. Akankah, Pendidikan tinggi indonesia menjadi lebih kapitalis daripada kapitalis sejati. Insya Allah, semoga tidak demikian.
Peranan Statuta Dalam Mewujudkan Tata Kelola Perguruan Tinggi Swasta (: Direktorat Jenderal Kelembagaan dan Kerjasama Kemeristekdikri RI
Semoga bermanfaat!! Maju terus mutu Pendidikan tinggi Indonesia. Sekian dan terima kasih.