Tulisan ini memfokuskan pada riset yang memang lebih banyak disorot untuk mengukur mutu dan kinerja perguruan tinggi dan dosen. Memberikan masukan untuk memotivasi para dosen di perguruan tingi Indonesia untuk melaksanakan kegiatan penelitian sebagai bagian dari tugas pokok dosen, dan mengidentifiasi hambatan dalam upaya-untuk meningkatkan peran sebagai dosen pengajar dan peneliti.
Pada abad 21, ekonomi berbasis pengetahuan adalah jalan menuju ekonomi yang kompetitif. Sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN), keberhasilan pembangunan jangka panjang di Indonesia tergantung pada kemampuan Indonesia memperkuat keunggulan kompetitifnya. Hal tersebut ditentukan oleh terpenuhinya sejumlah hal mendasar, yaitu pekerja terampil, daya inovasi, riset yang independen, dan iklim investasi yang kuat. Agar berkembang dengan efektif, semua hal tersebut membutuhkan fondasi penelitian nasional yang kokoh.
Penelitian dipandang sebagai upaya strategis dalam memengaruhi dan memperbaiki kebijakan. Istilah “kebijakan berbasis bukti” (evidence-based policy) berpijak pada gagasan bahwa penelitian (yang menghasilkan bukti) adalah dasar dari sebuah kebijakan yang baik. Tantangan untuk membangun kapasitas penelitian yang dapat menjadi pendukung proses formulasi dan implementasi kebijakan dihadapi oleh negara mana pun, tidak terkecuali Indonesia.
Rencana pemerintah yang memberikan harapan adalah mengundang sektor swasta untuk berkontribusi dalam pendanaan riset. Area penelitian yang diidentifiasi dapat menjadi target dana dari komunitas bisnis adalah pangan, energi, material maju (advanced material), teknologi informasi, serta keamanan dan kesehatan. Namun demikian, sumber pendanaan dari sektor swasta berpotensi mengabaikan topik topik nonteknologi atau nonkomersial seperti pendidikan, masyarakat, dan budaya.
Salah satu strategi untuk mengatasi tantangan tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas penelitian di perguruan tinggi di Indonesia. Walaupun upaya untuk mendorong, meningkatkan, dan memfasilitasi kegiatan penelitian sudah dilakukan, prestasi penelitian masih rendah. Kinerja hasil penelitian biasanya diukur dengan jumlah publikasi ilmiah internasional dan paten.
Masalah lainnya, kenyataan bahwa penelitian tidak pernah menjadi pilihan karier. Hal ini terjadi bukan saja dalam konteks sosio-kultural yang tercermin pada pesimisme terhadap kelayakan penelitian menjadi sebuah profesi, tapi juga tercermin dari bagaimana kegiatan penelitian dianggap kontradiktif dengan kegiatan pengajaran di lingkungan perguruan tinggi itu sendiri. Tampak ada ketegangan antara kegiatan pengajaran dan penelitian di perguruan tinggi yang berdampak pada terhambatnya kinerja penelitian.
Walaupun sudah banyak fakta yang diajukan mengenai dampak negatif dikotomi antara pengajaran dan penelitian di perguruan tinggi, regulasi pemerintah tentang staf tetap akademik di perguruan tinggi tidak mendorong kegiatan penelitian (lihat tabel di bawah). Hal ini berimbas pula pada jabatan profesor: profesor pengajar memperoleh ‘legitimasi’ dan penerimaan sosial, sedangkan profesor riset tidak.
Tabel : Kredit Kumulatif Minimum Fungsi Utama dan Pendukung Akademisi
Sumber: Peraturan Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17/2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya. Dosen didefiisikan sebagai pengajar profesional dan ilmuwan.
Kegiatan penelitian dan pengajaran bukanlah hal yang bertolak belakang; sebaliknya, kedua hal tersebut saling memperkaya. Pengajaran yang berkualitas akan membawa pada penelitian yang berkualitas, begitu pula sebaliknya.
Terjadinya ‘saling sandera’ (mutual hostage) antara penelitian dan pengajaran (yakni alokasi waktu pengajaran berkurang karena penelitian, dan waktu untuk kegiatan penelitian habis untuk pengajaran) adalah salah satu isu utama dan mendesak yang harus segera diselesaikan.
Perguruan tinggi dan pusat studinya harus ‘diharmonisasi’ – realisasi visi dan misi pusat studi harus sejalan dengan visi dan misi perguruan tinggi. Pusat studi dapat menyediakan penelitian mendalam yang relevan untuk proses pengajaran, sementara perguruan tinggi menjadi rumah tempat proses pengajaran berbasis penelitian. Kedua hal tersebut memerlukan pengembangan kapasitas dalam pengelolaan, dan yang lebih penting, penyeimbangan beban kerja.
Masalah struktural lain terkait dengan isu kesesuaian adalah dualisme dalam kualifiasi dan ranking jabatan profesor. Saat ini ada dua skema jabatan profesor, yaitu profesor peneliti dan profesor pengajar. Profesor pengajar lebih diterima luas dan dipandang lebih memiliki legitimasi. Jabatan profesor peneliti diberikan oleh LIPI, sementara profesor akademik diberikan oleh pemerintah melalui Kemenristekdikti dengan skema kredit. Kedua skema ini perlu direkonsiliasi agar jenjang akademik, baik penelitian maupun pengajaran, menuju kepada jabatan profesor yang sama. Pendanaan Penelitian
Walaupun sudah banyak diketahui bahwa ketersediaan dana adalah hal yang krusial bagi penelitian, masalah pendanaan riset masih belum terselesaikan: dana penelitian terbatas dan kalaupun tersedia sulit diakses oleh peneliti. Pendanaan penelitian masih dianggap sebagai beban ekonomi untuk investasi.
Di tingkat perguruan tinggi, tidak ada sistem penilaian terhadap dampak atau hasil penelitian untuk menilai kualitas penelitian atau dampak akademik dan sosioekonomi penelitian tersebut. Oleh karena itu, walaupun konsep ‘skala ekonomi’ diterapkan, perhitungannya sulit dilakukan.
Dana untuk satu proyek penelitian biasa di perguruan tinggi saat ini berkisar Rp 150 juta dan dilaksanakan dalam periode satu tahun fikal. Jangka waktu yang pendek dan dana yang terbatas sering kali menyebabkan tak adanya hasil yang berarti dari kegiatan penelitian selain hanya sebuah laporan.
Dua tahun terakhir, alokasi dana penelitian dalam APBN menunjukkan peningkatan, walaupun jumlahnya tidak terlalu signifian. Alokasi dana penelitian yang bersumber dari internal perguruan tinggi sangat sulit bahkan mustahil diperoleh, karena perguruan tinggi lebih mengutamakan kegiatan pengajaran. Karakteristik kebanyakan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia – jika bukan semuanya – adalah sebagai ‘perguruan tinggi pengajaran’, bukan ‘perguruan tinggi riset’.
Kajian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kinerja penelitian, khususnya dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia masih relatif minim. Sedikitnya jumlah ini tidak hanya memperlihatkan rendahnya minat dalam memahami riset sebagai salah satu indikator kunci kinerja di lembaga perguruan tinggi, tetapi juga menunjukkan sebuah ironi: tema penelitian di perguruan tinggi tidak menarik bagi komunitas peneliti.
Telah banyak studi menunjukkan bahwa sebagian besar upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan penelitian di perguruan tinggi tidak menyelesaikan persoalan terbesarnya, yaitu persoalan organisasi dan struktur di sektor pengetahuan (mungkin seperti fenomena ‘elephant in the room’ – persoalan nyata yang tak perlu didiskusikan lagi).
Persoalan terbesar ini diklasifiasikan sebagai persoalan mendasar dalam hal lingkungan pendukung penelitian, seperti ekonomi nasional dan kebijakan serta struktur perundang-undangan; budaya pendidikan yang tidak menekankan kualitas penelitian; kurangnya pendanaan hibah inti jangka panjang untuk lembaga penelitian; kurangnya permintaan untuk penelitian jangka panjang yang mengutamakan hasil (outcome); insentif untuk organisasi yang memberikan jasa konsultasi; sulitnya meningkatkan kapasitas kelembagaan penelitian dengan dana dan administrasi yang terbatas; dan kurangnya insentif karier untuk membuat penelitian mengenai kebijakan.
Realitas kekinian menggambarkan bahwa Kegiatan penelitian kurang mendapatkan penghargaan di lingkungan perguruan tinggi. Sebaliknya, pengajaran lebih diutamakan dan dihargai. Hubungan antara perguruan tinggi dan kegiatan penelitian dengan sektor publik dan industri sangat lemah.
Perguruan tinggi memelihara struktur monodisiplin, padahal isu-isu dan permasalahan yang dihadapi oleh pengambil kebijakan bersifat multidisiplin. Perguruan tinggi juga tidak mendorong dan memberi insentif untuk publikasi di jurnal peer-reviewed. Selain itu, kelemahan struktural terdapat pada regulasi dari birokrasi yang mengatur penelitian.
Hal ini berdampak langsung pada tingkat perguruan tinggi: beban pengajaran dosen semakin bertambah dan menghilangkan kesempatan untuk melakukan kegiatan penelitian – karena kontrak penelitian biasanya menyebabkan dosen mengurangi waktu mengajar dan bahkan kehadiran di kampus. Ini mengurangi kesempatan untuk naik jabatan. Beberapa perguruan tinggi besar mengompensasi hal ini dengan mempekerjakan staf peneliti tetap. Namun, hal ini tidak terlalu berdampak pada perbaikan kualitas (dan kuantitas) penelitian.
Era Jokowi-JK diharapkan mampu menggugah para dosen dan peneliti untuk menghasilkan temuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) melalui riset. Ditjen Dikti harus mengalokasikan hibah riset per penelitian dengan jumlah dana yang lebih bermakna. Kekuatan riset perguruan tinggi juga didukung keberadaan mahasiswa pascasarjana, khususnya S-3, yang salah satu persyaratan disertasinya adalah adanya unsur kebaruan dalam karya ilmiahnya. Sinergi dosen atau guru besar dengan mahasiswa pascasarjana akan semakin mengukuhkan riset sebagai tulang punggung perkembangan iptek di perguruan tinggi.
Dosen-dosen di perguruan tinggi harus lebih proaktif berdiversifikasi menjaring dana penelitian dari berbagai sumber, termasuk dari sponsor luar negeri. Terbuka kesempatan bagi dosen-dosen yang kreatif untuk mendapatkan research grants dari mancanegara. Semuanya tergantung kemauan dan kemampuan masing-masing dosen.
Kita semua menyadari bahwa dunia riset di perguruan tinggi Indonesia memang masih lemah. Mungkin ada yang berpendapat bahwa penelitian yang dilakukan hanya sekadar untuk membantu kenaikan pangkat. Setelah laporan riset dijilid dan disimpan di perpustakaan, dosen sudah memperoleh kum (angka kredit).
Kegiatan riset menjadi kurang menantang kalau dana riset terbatas. Dana penelitian dari Ditjen Dikti yang sebagian besar “hanya” Rp100 juta atau Rp150 juta per judul riset ibarat hanya menggoyang-goyang peneliti untuk melakukan riset, tetapi tidak peduli kualitas riset seperti apa yang dihasilkan. Kualitas riset akan sangat ditentukan oleh besarnya dana penelitian. Berdasarkan data dan fakta, angka normatif sebuah riset yang bagus rata-rata memerlukan dana sekitar Rp300 juta.
Banyak dosen peneliti mendapatkan dana hibah penelitian (research grants) dari luar negeri, misalnya dari Neys-van Hoogstraten Foundation, Belanda; juga dari the Nestle Foundation, Swiss.
Dalam penelitian hibah danai luar negeri melibatkan dosen-dosen muda baik yang masih bergelar S-2 maupun S-3. Ini merupakan bentuk pembinaan staf muda agar mereka mampu berkompetisi dengan peneliti dan dosen luar negeri untuk mendapatkan hibah penelitian. Besar dana yang dapat diraih adalah USD25.000 - 70.000 per judul penelitian, suatu jumlah yang signifikan untuk menghasilkan karya penelitian yang berkualitas.
Ketika hasil riset tersebut akan dipublikasikan di jurnal internasional, sebagian pengelola jurnal mengenakan publication fee yang besarnya USD300-600. Untungnya, sponsor riset dari luar negeri mau menanggung fee tersebut sehingga peneliti tidak terbebani dengan biaya publikasi yang cukup mahal untuk ukuran kantong dosen Indonesia.
Bahkan bila hasil penelitian akan diseminarkan dalam forum internasional yang biayanya bisa mencapai Rp20 juta (termasuk ongkos pesawat, hotel, dan akomodasi lainnya), sponsor luar negeri bersedia menanggungnya karena masih terkait dengan riset yang dulu didanainya. Urusan administrasinya tidak bertele-tele, cepat, dan membuat peneliti merasa nyaman.
Evaluasi proposal dari hibah luar negeri sepanjang pengalaman para dosen peneliti biasanya bersifat desk evaluation, artinya penilai (reviewer) yang berada di Belanda dan Swiss hanya melihat draf proposal riset yang dikirim melalui email. Penilai bisa langsung menolak kalau proposal dianggap tidak bermutu, atau menerima dengan perbaikan sesuai usulan perbaikan dari tim reviewer.
Sistem penilaian ini, umunya dosen peneliti anggap lebih sederhana dibandingkan yang selama ini dilakukan Ditjen Dikti. Evaluasi di Ditjen Dikti bersifat desk evaluation (sama) dan ditambah dengan kewajiban presentasi proposal untuk kemudian dilakukan tanya jawab antara penilai dengan dosen yang menulis proposal. Ironisnya, anggota tim reviewer-nya terkadang harus menelaah puluhan proposal dari dosen-dosen se-Indonesia dalam waktu beberapa hari saja, yang waktunya dianggap terlalu singkat, sehingga saran perbaikan yang muncul tidak optimal.
Problematika Penelitian di Perguruan Tinggi
1. Sumber Daya Manusia untuk Riset dan ‘Karier’ Penelitian
Ironisnya, walaupun pelatihan tentang kegiatan penelitian meningkat, jumlah peneliti penuh waktu yang berkualitas di setiap disiplin ilmu sangat terbatas. Hal ini berlaku juga di kalangan peneliti pemula, yang mungkin karena karier seorang peneliti seringkali dipandang kurang menarik bukan saja dari segi keamanan kerja (jenjang karier yang tidak jelas), tapi juga dalam hal pendapatan. Sangat jarang ditemukan peneliti penuh waktu di sebuah perguruan tinggi kecuali peneliti tersebut orang yang sudah sangat terkenal, dan barangkali itu pun karena peneliti tersebut bekerja penuh waktu hanya dalam jangka waktu tertentu untuk proyek penelitian khusus.
Isu yang lebih besar adalah kurangnya prioritas untuk kegiatan penelitian. Beban pengajaran yang tinggi membuat penelitian yang serius mustahil dilakukan. Selain itu, struktur penggajian membatasi penggunaan waktu untuk pelaksanaan penelitian yang serius (sering kali dengan dana minim).
Di perguruan tinggi di negara maju, gaji akademisi cukup untuk biaya hidup, dan waktu untuk kegiatan mengajar lebih sedikit dibanding dengan di Indonesia. Selain itu, dana riset dapat digunakan untuk mengompensasi sebagian waktu mengajar. Publikasi untuk promosi jabatan menjadi ukuran yang penting, tapi ada pembedaan antara penerbitan berbayar (vanity publishing), penerbitan artikel di jurnal yang diterbitkan oleh internal perguruan tinggi, dan penerbitan peer-reviewed, baik di tingkat domestik maupun internasional.
Dalam konteks perguruan tinggi, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kualifiasi untuk akademisi yang mengajar sering kali lebih rendah dibanding akademisi yang melakukan riset – apalagi jika publikasi diperhitungkan. Bagi akademisi, lebih mudah bekerja mendapatkan gaji dari kegiatan mengajar dan ditopang pekerjaan sebagai konsultan, dibanding mencari dana hibah penelitian.
Dalam beberapa kasus, peneliti profesional dari luar perguruan tinggi direkrut oleh rektor untuk ditempatkan di pusat studi. Sangat sedikit dari mereka melanjutkan meniti karier dalam sistem perguruan tinggi tersebut. Yang paling mengkhawatirkan adalah tidak adanya jenjang karier yang jelas bagi peneliti. Hal ini menimbulkan keraguan di antara akademisi junior yang baru meniti karier di perguruan tinggi untuk terjun sebagai peneliti.
Ketidakjelasan ini tidak hanya terjadi pada jenjang karier seorang peneliti menuju jabatan profesor, tetapi juga mengenai arahan karier peneliti dalam kebijakan nasional dan peraturan perguruan tinggi. Hanya ketika peneliti tidak dipandang sebagai ‘kelas dua’, minat menjadi peneliti sebagai pilihan karier akan tumbuh.
2. Remunerasi Peneliti dan Sistem Insentif
Gaji atau remunerasi peneliti dalam sektor pengetahuan tidak semenarik gaji di sektor lain. Peneliti dipandang sebagai profesi yang kurang populer dan mempunyai reputasi sosial yang kurang mentereng. Untuk peneliti yang serius, sering kali lembaga tempat mereka bekerja (perguruan tinggi, atau pusat studi di perguruan tinggi, atau lembaga think-tank independen) mempunyai fasilitas penelitian yang minim.
Bagi peneliti, gairah mendapatkan hibah penelitian (dari pemerintah atau dari internal perguruan tinggi) dan kesempatan memperoleh tambahan gaji serta kesempatan melakukan penelitian, sering kali tergerus oleh desain pengawasan dan evaluasi penelitian yang buruk.
Beban tugas-tugas administratif menumpuk dan, yang lebih parah, sistem pengawasan dan evaluasi memperlakukan kegiatan penelitian sama seperti kegiatan lain. Akibatnya, peneliti dibebani oleh tugas administratif pelaporan yang tidak perlu (yang sering kali tidak sejalan dengan tahapan penelitian, atau bahkan mengganggu kegiatan penelitian itu sendiri), dan bukannya memusatkan perhatian pada upaya menghasilkan penelitian yang berkualitas.
Tidak ada standar sistem insentif untuk peneliti di perguruan tinggi. Beberapa perguruan tinggi akan memberikan insentif fiansial (dan sosial) kepada peneliti yang berhasil menerbitkan artikel di jurnal peer-reviewed (biasanya jurnal internasional). Walaupun peneliti dapat mengajukan hibah publikasi untuk menulis artikel jurnal dari pemerintah (seperti Dirjen Pendidikan Tinggi), proses tersebut sangat lambat. Bantuan fiansial perguruan tinggi kepada peneliti untuk membuat publikasi internasional lebih rendah dari bantuan pemerintah.
Motivasi utama untuk menjadi akademisi di Indonesia sering kali untuk meningkatkan status sosial, yaitu menjadi dosen sehingga mempunyai otonomi lebih besar terhadap waktu yang bisa digunakan untuk melakukan pekerjaan sampingan lain. Jarang ada alasan ilmiah yang mendorong mereka menjadi peneliti yang baik.
Pasal 89 UU Nomor 12/2012 tentang Perguruan Tinggi menyatakan bahwa sekitar 30% dari BOPTN dapat dialokasikan untuk kegiatan penelitian selain PNBP dari perguruan tinggi yang mencapai Rp 300-400 miliar. Walaupun aturan ini sudah berlaku selama beberapa waktu, realisasi dana ini dalam membangun penelitian di perguruan tinggi belum efektif.
3. Sistem Kredit ‘Kum’
Sistem kredit nasional yang mengutamakan angka kredit kumulatif, atau jamak disebut ‘kum’, yang telah diterapkan sejak 1990 adalah faktor struktural yang menentukan kemajuan karier seseorang di perguruan tinggi.
Sistem kredit adalah alat penilaian akademik. Sistem penggajian terkait erat dengan sistem kredit ini, yang sayangnya tidak dapat mendorong pencapaian hasil penelitian yang berkualitas. Sebagai contoh, besarnya angka kredit yang diberikan kepada penerbitan artikel di jurnal nasional dan internasional tidak sesuai dengan sulitnya upaya yang dikerahkan untuk menerbitkan artikel tersebut.
Sistem kredit juga mencerminkan pendekatan kaku yang kontraproduktif dalam mendorong riset yang berkualitas (misalnya, kehadiran dalam seminar, makalah konferensi/simposium, dll.). Oleh karena itu, reformasi sistem kenaikan jabatan dan perbaikan kualitas penelitian perguruan tinggi mutlak diperlukan.
Kum berlaku sebagai rujukan sistem remunerasi dan penggajian di perguruan tinggi yang bersifat nasional. Namun demikian, sistem verifiasi kum sangat rumit dan keseluruhan pendekatan basis datanya perlu direformasi. Sistem kum didesain tidak berdasarkan asas kepercayaan. Contohnya, penggunaan dokumen elektronik (misalnya ijazah yang dipindai, formulir-formulir administratif, dll.) harus mulai diterapkan, begitu pula sistem daring untuk pelaporan dan verifiasi. Hal ini tidak hanya akan mempermudah proses administrasi bagi para akademisi, tetapi juga untuk sistem administrasi pemerintah.
4. Skema Publikasi dan Riset untuk Kebijakan
Ada beberapa keluaran yang dapat dihasilkan dari suatu penelitian: laporan penelitian, artikel akademik (kertas kerja, artikel jurnal, makalah seminar, bab dalam buku), artikel populer (dalam majalah, koran), liputan berita (wawancara, profi, berita), dan makalah kebijakan (makalah pembekalan, risalah kebijakan).
Jika strategi yang tepat diterapkan, target keluaran penelitian dapat dicapai dan penelitian dapat memberikan dampak. Namun demikian, tidak banyak peneliti mampu menerapkan strategi ini, atau lebih tepatnya, tidak banyak proyek riset yang didesain dengan pendekatan yang strategis untuk menciptakan dampak.
Skema sertifiasi dosen (mulai berlaku 2008) mencakup insentif fiansial untuk publikasi akademik di jurnal terakreditasi, selain kegiatan pengajaran dan penelitian. Hal ini bermanfaat untuk mendorong penelitian yang berkualitas, tapi hasilnya tidak sebesar yang diharapkan.
Skema publikasi perguruan tinggi secara keseluruhan perlu ditinjau ulang. Hampir semua departemen dan fakultas di perguruan tinggi mengelola jurnal. Akibatnya, perguruan tinggi di Indonesia mempunyai jumlah jurnal internal tertinggi. Walaupun dipandang sebagai cara yang bagus untuk meningkatkan publikasi ilmiah dalam hal kuantitas (dan angka kum), hal tersebut tidak cukup mampu meningkatkan jumlah publikasi di jurnal internasional peer reviewed.
Sistem kum memberi bobot lebih banyak kepada publikasi di jurnal nasional dibanding jurnal internasional, sehingga akademisi dan peneliti lebih memilih menerbitkan artikel di jurnal nasional yang dikelola oleh perguruan tingginya sendiri atau bahkan oleh departemen atau fakultas mereka sendiri karena lebih mudah.
Dalam jangka panjang, pendekatan ini tidak akan bermanfaat jika peneliti Indonesia harus bersaing dengan peneliti dari negara lain di tingkat internasional. Ini adalah saat yang tepat untuk memikirkan indikator dan angka kredit yang sesuai untuk penilaian kenaikan jabatan: untuk mendekatkan riset pada proses kebijakan, sebaiknya bukan hanya publikasi di jurnal internasional peer reviewed yang diberi angka kredit, tapi juga hasilnya yang relevan dengan kebijakan, misalnya kertas kebijakan.
5. Manajemen Riset
Isu lain yang digarisbawahi menyoal penelitian di perguruan tinggi adalah manajemen riset. Pada tingkatan operasional, dibutuhkan staf yang berdedikasi untuk mengelola pelaksanaan riset, khususnya untuk mengelola agenda penelitian, alokasi sumber daya (staf peneliti, pendanaan, jaringan, dll.), menyiapkan aspek teknis administrasi penelitian (formulir, pelaporan), menghubungi donor potensial/sponsor untuk mendapat dana penelitian, dan menjamin kualitas proses dan hasil penelitian.
Tugas-tugas tersebut harus dikelola bukan hanya secara efektif, tetapi juga strategis. Kuncinya adalah menjamin pusat studi mempunyai kapasitas penelitian untuk menarik manfaat dari setiap kesempatan penelitian.
Pengelolaan dimensi kapasitas penelitian versus kesempatan penelitian mungkin analogi yang tepat untuk menggambarkan pengelolaan dimensi ‘penawaran’ versus ‘permintaan’ dalam sektor pengetahuan. Penguatan kapasitas organisasional dalam pengelolaan penelitian mungkin aspek yang paling strategis dalam mendekatkan sisi penawaran kepada sisi permintaan (dan bukan sebaliknya).
Hal ini di luar apa yang umumnya dipahami: mengelola riset secara profesional adalah suatu keharusan jika kita ingin menghasilkan penelitian yang berkualitas.
Demikian pemaparan ini, semoga bermanfaat. Tetap semangat dalam bekerja dan berkarya untuk kemajuan pendidikan tinggi Indonesia.
Daftar Pustaka
Brodjonegoro, Satryo Soemantri and Greene, Michael P., 2012, Creating an Indonesian Science Fund, Indonesian Academy of Sciences, World Bank and AusAID, Jakarta
The new production of knowledge: the dynamics of science and research in contemporary societies, Sage Publication, London Government of Indonesia,
Ministry of Education and Civil Service Agency, Joint Decree No. 61409/MPK/KP/99 and No. 181 in 1999 on Guidelines on Lecturer Functional Post and Credit System Government of Indonesia, Ministry of Research and Higher Education.
Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah XII, Kumpulan Info Penting untuk Dosen (http://www.kopertis12.or.id/2010/08/02/kumpulan-info-penting-untuk-dosen. html#sthash.6XT7AipZ.dpuf)
Government of Indonesia, Ministry of State Apparatus and Bureaucracy Reform, Regulation No. 7/2013 on Lecturer Functional Post and Credit System Iding, Chaidir, 2015, Response to Evaluation of the National Research Agenda (ARN).
Presentation at KSI’s Knowledge Sharing Session, 27 January 2015, Jakarta
Jawa Pos, Hanya 3 PTN Berkualitas Internasional, 21 January 2015
Karetji, Petrarca, 2010, Overview of the Indonesian Knowledge Sector. AusAID, Jakarta (http://dfat.gov.au/about-us/publications/Documents/indo-ks8-overview.pdf)
Kompas, Anggaran Riset Inovatif Ditingkatkan, 16 December 2014
Kompas, Asa di Pendidikan Tinggi, 17 December 2014
Kompas, Pemerintah Gandeng Swasta untuk Riset, 9 January 2015
Kompas, Hasil Riset Kerap Diabaikan Pemerintah, 23 January 2015
Kompas, Menyikapi Keterbatasan Dana Riset, 23 January 2015
McCarthy, John and Ibrahim, Rustam, 2010, Review of Social Science Capacity BuildingSupport to Indonesia’s Knowledge Sector, AusAID, Jakarta (http://dfat.gov.au/about-us/publications/Documents/indo-ks9-socialscience.pdf)
Sherlock, Stephen, 2010, Knowledge for Policy: Regulatory Obstacles to the Growth of A Knowledge Market in Indonesia, AusAID, Jakarta (http://dfat.gov.au/about-us/publications/Documents/indo-ks13-knowledge-to-govt.pdf)
Suryadarma, D., Pomeroy, J. and Tanuwidjaja, S, 2011, Economic Factors Underpinning Constraints in Indonesia’s Knowledge Sector, AusAID, Jakarta (http://dfat.gov.au/aboutus/publications/Documents/indo-ks2-economic-incentives.pdf)