Mutu pendidikan di Indonesia dinilai masih kurang baik dibandingkan dengan negara-negara di kawasan OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. Bahkan, Indonesia membutuhkan waktu 300 tahun agar mutu pendidikannya setara dengan negara-negara OECD sehingga harus ada kebijakan dan langkah nyata untuk meningkatkan mutu pendidikan. Begitupulah dengan pertumbuhan jurnal dan publikasi karya ilmiah Indonesia yang tertinggal jauh dari negara di Asia khususnya Malaysia dan Thailand. Padahal, publikasi ilmiah yang dapat dijadikan acuan komunitas akademik internasional merupakan satu indikator utama dalam perumusan ranking perguruan tinggi di dunia versi THES-QS World University maupun Webometric. Pertumbuhannya dari tahun ke tahun tidak sampai positif 10 persen, bahkan belum sampai berbicara mutu, tren pertumbuhan jurnal dari tahun ke tahun ini sudah menunjukkan betapa lemahnya kultur riset di pendidikan tinggi di Indoensia.
Perguruan tinggi, harus membuat kajian untuk mencari cara dan strategi dalam upaya intervensi dan percepatan mutu pendidikan di Indonesia. Semua pihak terkait harus bekerja keras dan berperan optimal sesuai dengan tanggung jawabnya dalam meningkatkan dan mengembangkan kualitas pendidikan tinggi kita. Proses pembelajaran adalah salah satu yang menjadi focus utama untuk dibenahi, umumnya pembelajaran di PT masih terlalu mekanik. Mahasiswa tidak belajar menggembangkan teori tetapi menggunakan teori. Seharusnya, mahasiswa di arahkan untuk meneliti dan membuat teori baru atau mengembangkan teori yang sudah ada. Umumnya penelitian yang dihasilkan dari dunia kampus sekarang ini tidak sesuai dengan problem yang dihadapi oleh masyarakat.
Sisi lain dunia pendidikan tinggi kekinian yang belakangan di hebohkan dengan banyaknya beredar ijazah palsu, gelar palsu, dan perguruan tinggi (PT) palsu, ini menunjukkan dengan sisi gelap suramnya dunia pendidikan (tinggi) kita. Para akademisi, pakar tak bersemangat lagi berbicara tentang daya saing bangsa, bonus demografi, dan kompetisi global terkait Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 lantaran miris dan pesimistis melihat wajah buram dunia pendidikan kita.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat kita masih banyak yang mengidap penyakit feodalistik, mengagungkan gelar, dan menjadi manusia dengan mental sertifikat. Manusia sertifikat tak mementingkan ilmu, skill, kompetensi, apalagi karakter personal. Ia hanya mementingkan gelar dan secarik kertas bernama ijazah. Orang semacam ini, kalau datang ke seminar, tak mengharap ilmu. Ia hanya mengejar dan perlu sertifikatnya saja. Begitu juga kalau kuliah. Ia mendaftar dan bayar, tetapi tidak kuliah karena yang dicari bukan ilmu, tetapi gelar dan sertifikat.
Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dunia pendidikan harus mampu mengedukasi masyarakat, terutama anak didik agar menjadi manusia pembelajar (become a learner). Manusia pembelajar adalah orang yang terus belajar, mempertinggi kemampuan (kompetensi) agar bisa memberi kontribusi lebih besar bagi kemajuan bangsa dan kemanusiaan.
Membangun budaya pembelajar di perguruan tinggi, merupakan salah satu solusi cerdas untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi kita. Potensi yang dimiliki dosen dan mahasiswa haruslah dikembangkan secara seimbang (balance) sehingga tidak tumpang tindih satu sama lain. Karena 3 potensi dasar tersebut, yaitu moral, intelektual, dan fisik merupakan sebuah kesatuan utuh yang perlu dikembangkan. Sehingga efeknya mereka mampu berfikir, memahami dan melaksanakan apa yang diinginkannya dengan fokus yang nantinya akan berbuah pada bingkai yang positif.
Dosen yang berprofesi sebagai pendidik dan pengajar dan mahasiswa sebagai seorang yang sedang menjalani proses pendidikan formal adalah bagian dari manusia pembelajar. Dosen bukan hanya sekedar mengajar dan membimbing semata, begitupun mahasiswa bukan sekedar mengejar prestasi akademis semata, keduanya memiliki peran penting dalam menentukan nasib bangsa nantinya. Dosen, mahasiswa, dan dunia kampus dituntut untuk membawa angin segar perubahan, menjaga nilai-nilai postif yang ada di masyarakat, dan tentunya sumber daya manusia yang selalu siap untuk dimanfaakan bangsanya.
Mahasiswa, dosen, civitas akademika harus mampu menjadi manusia pembelajar, yang senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baiksampai akhir hayat. Sudarwan Danim dalam bukunya “Menjadi Manusia Pembelajar”, mendefinisikan manusia pembelajar adalah orang-orang yang menjadikan kegiatan belajar sebagai bagian dari kehidupan dan kebutuhan hidupnya. Ketika belajar telah menjadi kebutuhan, maka ilmu akan menjadi baju terindah bagi dirinya, pengetahuan akan menjadi lautan samudera bagi dirinya karena setiap saat mereka akan rindu dengan ilmu dan akan haus pengetahuan.
Manusia pembelajar, menunjuk pada pemikiran James R Davis dan Adelaide B Davis, mencintai hal-hal baru, pemikiran baru, dan keterampilan baru. Ia belajar bukan hanya untuk mengetahui, tetapi lebih dari itu untuk berpikir dan memecahkan masalah. Manusia pembelajar belajar dan mengembangkan ilmu tak hanya dari bangku kuliah dan text book, tapi juga pengalaman dan dari realitas kehidupan sebenarnya. R Davis menyebutnya dengan istilah perpetual learner (pembelajar sejati). (Lihat, Managing Your Own Learning: 2000).
Memasuki era informasi dan pengetahuan, setiap orang tidak bisa tidak, mesti menjadi pembelajar. Manusia pembelajar tidak diukur dari gelar dan atribut lahiriah yang dimiliki, tapi dari mental dan karakternya, serta dari kontribusi untuk kemajuan ilmu dan peradaban. Manusia pembelajar setidaknya memiliki lima sifat yang menjadi karakter dan etos utama intelektualnya.
Pertama, rasa ingin tahu yang tinggi. Inilah sifat yang membuatnya rajin belajar dan memiliki kemauan belajar yang kuat. Dari banyak riset, anak menjadi pandai bukan karena diajar, tapi karena ia semangat dan rajin belajar. Meski berstatus mahasiswa atau dosen, bilamana tidak ada lagi rasa ingin tahu, mereka senyatanya bukan pembelajar. Dari rasa ingin tahu ini lahir, (1) peminatan, yakni ketertarikan pada satu objek studi; (2) fokus, yaitu pemusatan perhatian dan pemikiran; dan (3) motivasi, yaitu semangat menggelora untuk mencapai apa yang menjadi minat dan perhatiannya. Dari rasa ingin tahu itu lahir motivasi. Motivasi adalah faktor kunci sukses pembelajaran. Dianna Van Blerkom berujar, "The Student who are not motivated are tend to be less successful." (Becoming a Strategic Learner: 2011).
Kedua, ia suka berbagi ilmu dengan teman atau orang lain. Merupakan keunikan ilmu, ia tidak habis kalau dibagi, malah bertambah. Saya secara pribadi sering menekankan pada rekan dan anak didik bahwa orang yang sadar tentang manfaat mengajarkan ilmu kepada orang lain, maka ia akan senang ketika melihat orang lain bisa mengerjakan suatu hal yang sebelumnya tidak dapat dikerjakannya. Ia akan bergembira ketika melihat orang lain, lebih mengerti dan memahami sebuah persoalan dari yang sebelumnya dalam kebodohan.
Berbagi adalah cara seorang manusia untuk menyatakan eksistensi dirinya. Ilmu tidak akan pernah hilang dari diri kita. Ilmu yang dibagikan justru akan menjadi ilmu yang berkah, sperti pohon yang berbuah. Jika seseorang membagikan ilmu, maka ilmunya akan semakin bertambah. Dengan mengajarkan ilmu, ilmu yang dimiliki akan semakin menancap kuat dalam sanubarinya.
Ketiga, selain berbagi, manusia pembelajar, menurut Maxine A Dalton, rajin memperluas ilmu pengetahuan dengan dua cara. Pertama, dengan membedol batas horizon pengetahuan kita. Kedua, dengan cara keluar dan melepaskan diri dari zona kenyamanan. Diperlukan keberanian dan teknik tersendiri untuk bisa keluar dari kungkungan zona kenyamanan. (Lihat, Becoming a More Versatile Learner, 2011). Philip E Johnson merekomendasikan cara lain untuk ekspansi ilmu, yaitu dengan latihan berpikir serta menghubungkan diri dengan berbagai kearifan, wisdom, dan pemahaman yang hidup, bukan dengan pengetahun yang sudah mati, yang harus dieja dan dihafal saban hari. (Fifty Nifty Ways to Help Your Child Become a Better Learner: 2004).
Keempat, ia memiliki kontribusi bagi kemajuan ilmu dan kemanusiaan. Dalam hakikatnya ilmu tak terpisahkan dari agama, karena ilmu tidak untuk ilmu, tetapi untuk kemaslahatan umat sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT.
Kelima, ia memiliki sifat rendah hati dan tawadhu. Meskipun berpengetahuan sangat luas serta memberi kontribusi besar bagi kemajuan ilmu dan peradaban, para pembelajar sejati tidak pongah dan tidak besar kepala. Mereka tetap rendah hati, ibarat filosofi padi, makin berisi, makin tunduk ke bawah. Rendah hati adalah sikap mental bahwa ilmu yang diperolehnya masih sedikit. Apa yang belum diketahui jauh lebih besar dibanding yang sudah diketahui. Inilah sikap yang membuat seorang pembelajar tidak menutup diri, tetapi selalu terbuka dan sedia berdialog dengan orang lain.
Semoga bermanfaat. Salam Pendidikan Tinggi Indonesia