top of page
Writer's pictureYusrin Ahmad Tosepu

Pentingnya Membangun Budaya Literasi Informasi di Era Informasi Pengetahuan

**Instisari Pokok Bahasan Buku Membangun Literasi Informasi

Buku Membangun Literasi Informasi ini diterbitkan sebagai referensi untuk mengembangkan budaya literasi di masyarakat dan khususnya di dunia pendidikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak yang membantu mewujudkan buku ini hadir. Semoga buku ini bermanfaat bagi bagi pembaca, masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan dalam upaya membangun budaya literasi.


A. PROLOG

Literasi memiliki peran penting dalam kehidupan, terlebih pada era informasi dan komunikasi sekarang ini. Literasi merupakan sebuah jembatan bagi siapa saja yang berkeinginan meraih kemajuan dan kesuksesan. Oleh karena itu, literasi merupakan conditio sine quanon (prasyarat mutlak) bagi setiap insan, masyarakat maupun bangsa yang ingin memperoleh kemajuan. Sejarah peradaban umat manusia menunjukkan bahwa bangsa yang maju tidak dibangun hanya dengan mengandalkan kekayaan alam yang melimpah dan jumlah penduduk yang banyak. Bangsa yang besar ditandai dengan masyarakatnya yang literat, yang memiliki peradaban tinggi, dan aktif memajukan masyarakat dunia. Keberliterasian dalam konteks ini bukan hanya masalah bagaimana suatu bangsa bebas dari buta aksara, melainkan juga yang lebih penting, bagaimana warga bangsa memiliki kecakapan hidup agar mampu bersaing dengan bangsa lain. Dengan kata lain, bangsa dengan budaya literasi tinggi menunjukkan kemampuan bangsa tersebut berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan global.


Sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus mampu mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat kecakapan hidup abad ke-21 melalui pendidikan yang terintegrasi, mulai dari keluarga, sekolah, sampai dengan masyarakat. Penguasaan enam literasi dasar menjadi sangat penting tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi orang tua dan seluruh warga masyarakat. Enam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. Pintu masuk untuk mengembangkan literasi masyarakat adalah melalui penyediaan bahan bacan dan peningkatan minat baca. Minat baca yang tinggi, didukung dengan ketersediaan bahan bacaan yang bermutu dan terjangkau, akan mendorong pembiasaan membaca dan menulis, baik di sekolah maupun di masyarakat. Dengan kemampuan membaca ini pula literasi dasar berikutnya (numerasi, sains, digital, finansial, serta budaya dan kewargaan) dapat ditumbuhkembangkan.


Buku Membangun Literasi Informasi ini diterbitkan sebagai referensi untuk mengembangkan budaya literasi di masyarakat dan khususnya di dunia pendidikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak yang membantu mewujudkan buku ini hadir. Semoga buku ini bermanfaat bagi bagi pembaca, masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan dalam upaya membangun budaya literasi.


B. FOTRET LITERASI DI INDONESIA


Di Indonesia, literasi informasi belum banyak mendapat perhatian yang serius. Hal ini berbeda dengan keadaan di negara-negara lain, literasi informasi sudah menjadi kebijakan yang harus dikuasai oleh masyarakatnya. Di Indonesia, literasi informasi mulai dibicarakan pada awal tahun 2000-an. Sebelum tahun tersebut, yang lebih banyak dibicarakan di Indonesia adalah buta huruf, buta aksara, dan rendahnya minat baca masyarakat. Dikancah negara negara Asean, masyarakat Indonesia belum tergolong masyarakat literasi. Menurut berbagai sumber, masyarakat Indonesia rata-rata membaca buku 0-1 buku setahun, sementara negara-negara anggota ASEAN lainnya 2-3 buku setahun. Rasio penerbitan buku berbanding penduduk juga rendah, sekitar 30.000 judul per tahun, termasuk yang diterbitkan oleh individu, partai politik, instansi pemerintah, dan komunitas lainnya. Rendahnya literasi di Indonesia disebabkan oleh masyarakat yang kurang sadar akan manfaatnya bahkan lebih dari itu, beberapa orang bahkan masih belum mengerti makna literasi. Sehingga literasi belum menjadi budaya di negara kita, padahal, perkembangan ilmu dan budaya harus dimulai dari keduanya. Beberapa lembaga survei menyatakan edukasi literasi baca Indonesia rendah dan akses baca diduga jadi penyebab. Penelitian dilakukan organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2016 terhadap 61 negara di dunia menunjukkan kebiasaan membaca di Indonesia tergolong sangat rendah. Hasil studi yang dipublikasikan dengan nama "The World’s Most Literate Nations", menunjukan Indonesia berada di peringkat ke-60, hanya satu tingkat di atas Botswana. Penyebab rendah minat dan kebiasaan membaca itu antara lain kurangnya akses, terutama untuk di daerah terpencil.


Survey Central Connecticut State University (CCSU) di New Britain dalam berita Media Indonesia edisi 30/08/2016 menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara terkait minat baca. Pemeringkatan perilaku literasi ini dibuat berdasar lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer. Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei. Nomor satu ada Finlandia, disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, dan Jerman. Korea Selatan dapat ranking 22, Jepang ada pada ranking 32, dan Singapura berada di peringkat ke-36. Malaysia ada di barisan ke-53. CCSU menjelaskan, penelitian ini tidak hanya berbasis pendidikan. Namun begitu faktor lain seperti ukuran perpustakaan dan kemudahan aksesnya. Fakta lainnya, UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.


Sedangkan hasil survey terbaru Programme for International Student Assessment (PISA) untuk Indonesia tahun 2018 yang diumumkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebutkan bahwa kemampuan baca siswa Indonesia rendah atau masuk dalam kelompok kurang. Bila rerata kemampuan baca negara-negara OECD berada di angka 487, skor Indonesia berada di skor 371. Peringkat pertama diraih China (skor 555), kemudian diikuti Singapura (549) dan Makau (525). PISA menyebutkan, Indonesia alamai tren penurunan kemampuan literasi baca. Skor Indonesia di awal mengikuti tes PISA 371 dan mengalami peningkatan 382 (tahun 2003), 393 (tahun 2006), dan 402 (tahun 2009), kemudian terus mengalami penurunan 396 (tahun 2012), 397 (tahun 2015), dan titik terendah 371 (tahun 2018). Demikian pula dengan capaian kemampuan sains kembali mengalami penurunan di laporan terakhir PISA tahun 2018 di angka 396. 4. Persentase capaian masih rendah. Hasil survey PISA 2018 menjadi alarm dini bagi pemerintah dan seluruh elemen pemangku kepentingan untuk melakukan upaya membangun literasi serta serta perubahan paradigma pendidikan di Indonesia. Berdasarkan hasil tes PISA untuk Indonesia, hanya 30 persen siswa Indonesia yang memenuhi kompetensi kemampuan baca minimal. Demikian pula dengan komprtensi sains, sebanyak 40 persen siswa Indonesia masih berada di bawah kemampuan minimal yang diharapkan. Indonesia berada pada kuadran low performance dengan high equity.


Hasil Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud mengungap Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca), ada empat dimensi menjadi pokok bahasan dalam indeks tersebut, yaitu dimensi kecakapan, akses, alternatif, dan budaya. 4 dimensi indeks literasi Dimensi kecakapan bisa dilihat dari indikatornya berupa bebas buta aksara dan rata-rata lama sekolah, sedangkan dimensi akses, terdiri dari perpustakaan daerah, perpustakaan umum, perpustakaan komunitas, dan perpustakaan sekolah. Kemudian, untuk dimensi alternatif ini selain yang konvensional, yaitu penggunaan internet, membaca daring, dan media online. Adapun dimensi budaya dimaknai sebagai bagian dari kebiasaan membaca, misalnya meminjam buku di perpustakaan, memanfaatkan taman bacaan, serta membaca koran dan buku. Dari keempatnya, hasil survei untuk dimensi akses adalah yang paling rendah, yaitu 23,09 persen. Adapun dimensi kecakapan 75,92 persen, dimensi alternatif 40,49 persen, dan dimensi budaya 28,50 persen. Artinya ada korelasi antara akses dengan kebiasaan, kalau tidak ada akses bagaimana mau membaca. Para pegiat literasi di Indonesia melihat bahwa minat baca cukup tinggi, tapi itu potensi yang belum mewujud jadi perilaku, kebiasaan, dan budaya. Solusi literasi lewat digital merupakan solusi mengatasi keterbatasan akses, misalnya dengan memanfaatkan teknologi internet dan gawai (gadget) serta perangkat elektronik lain, terutama untuk sekolah di daerah pelosok desa. Biasanya di daerah tersebut masih susah ditemui toko buku dan perpustakaan yang memadai. Bahkan untuk pengiriman buku juga masih mengalami kesulitan. Maka dari itu, guru bisa mengatasi keterbatasan akses, misalnya guru di daerah terpencil bisa mengunduh buku digital, lalu ditampilkan ke proyektor dan dibaca sama-sama di kelas,. Dengan begitu, diharapkan masalah keterbatasan akses bisa dikurangi dan penyebaran buku lebih merata sehingga mampu menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca bagi anak-anak di berbagai daerah. Kualitas literasi yang rendah menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan dan berdampak pada rendahnya kualitas lulusan pada tingkat pendidikan primer, sekunder, maupun pendidikan tinggi. Kualitas lulusan antara lain ditentukan oleh kualitas atau kompetensi guru. Selanjutnya faktor infrastruktur pendidikan seperti ketersediaan listrik, lab komputer dan akses terhadap internet, serta perpustakaan ikut menyumbang dalam masalah rendahnya literasi.


Infrastruktur pendidikan Indonesia tertinggal dibandingkan beberapa negara ASEAN. Ketersediaan listrik dan laboratorium komputer begitupula akses terhadap internet berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Dalam hal teknologi komunikasi informasi, Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Terakhir faktor rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia. Berdasarkan laporan UNESCO yang berjudul “The Social and Economic Impact of Illiteracy” yang dirilis pada tahun 2010, tingkat literasi rendah mengakibatkan kehilangan atau penurunan produktivitas, tingginya beban biaya kesehatan, kehilangan proses pendidikan baik pada tingkat individu maupun pada tingkat sosial dan terbatasnya hak advokasi akibat rendahnya partisipasi sosial dan politik. Literasi rendah juga, menurut UNESCO, menimbulkan dampak antara. Misalnya, tingginya kecelakaan kerja dan tingginya prevalensi sakit akibat pekerjaan. Dampak antara literasi rendah juga muncul dalam persoalan kesehatan masyarakat dan berdampak pada tingginya angka putus sekolah dan pengangguran yang berdampak pada rendahnya kepercayaan diri. Orang dengan tingkat literasi rendah sulit menjadi mandiri atau berdaya, dan tergantung secara ekonomi pada pada keluarga, kerabat, dan negara. Kriminalitas, penyalahgunaan obat dan alkohol, serta kemiskinan dan kesenjangan, juga merupakan dampak dari rendahnya tingkat literasi. Berdasarkan laporan Bank Dunia tingginya kesenjangan di Indonesia saat ini sebagian besar disebabkan kesenjangan keterampilan (skill gap) yang tentunya terjadi karena rendahnya tingkat literasi.


Masyarakat kita paham bahwa budaya literasi itu penting. Tapi nyatanya, Indonesia tergolong negara yang budaya literasi-nya rendah. Posisi budaya literasi Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sebagai negara dengan penduduk terbanyak ke-5 di dunia, masayarakat Indonesia dianggap tidak gemar membaca, menulis, berhitung ataupun berkreasi yang menjadi ciri kuatnya tingkat budaya literasi suatu bangsa. Persoalan budaya literasi di Indonesia itu harusnya dimulai dari mana sih? Taman bacaan atau perpustakaan yang harus diperbanyak. Atau akses buku bacaan yang harus diperluas. Sementara gerakan literasi nasioanl (GLN) sudah dicanangkan. Bahkan seminar dan diskusi akan pentingnya budaya literasi digelar di mana-mana. Jadi, bagaimana harusnya bangsa Indonesia memulia budaya literasi pada masyarakatanya? Rendahanya budaya literasi masyarakat itu memprihatinkan. Karena tidak akan ada negara yang kompetitif bila tidak didukung budaya literasi yang berkualitas. Maka mau tidak mau, tradisi baca dan budaya literasi masyarakat sangat penting untuk dibangkitkan. Oleh siapapun dan hingga kapanpun. Karena setidaknya, ada 6 (enam) dampak fundamental dari rendahnya budaya literasi masyarakat, yaitu:


  1. Tingginya angka putus sekolah. Karena tanpa budaya literasi, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan menjadi lemah, terlalu mudah untuk berhenti sekolah akibat ketidakmampuan ekonomi.

  2. Merebaknya kebodohan. Karena rendahnya budaya literasi menjadi sebab ketidak-tahuan di berbagai bidang imu pengetahuan. Sehingga sulit menjadikan masyarakat untuk sadar dan paham tentang peradaban.

  3. Meluasnya kemiskinan. Karena budaya literasi rendah menjadi sebab rendahnya kompetensi dan lemahnya akses ekonomi. Kemiskinan akan terus-menerus merongrong dan kian sulit dipecahkan.

  4. Meningkatnya angka kriminalitas. Tindakan kriminal atau kejahatan menjadi konsekuensi logis dari pendidikan yang rendah dan kemiskinan yang tidak berujung. Sehingga norma dan nilai kehidupan pun diabaikan.

  5. Rendahnya produktivitas kerja. Karena tanpa dukungan budaya literasi yang memadai maka ilmu pengetahuan gagal diubah menjadi kreativitas yang produktif. Sehingga gagal mengoptimalkan potensi diri yang dimilik.

  6. Rentannya sikap bijak dalam menyikapi informasi. Akibatnya hoaks dan ujaran kebencian mendominasi kehidupan dan media sosial. Hanya budaya literasi yang rendah pada akhirnya membuat sulit menyeleksi informasi benar atau tidak benar.


Itulah dampak paling signifikan dari rendahnya budaya literasi masyarakat. Tentu, masih ada lagi dampak lainnya akibat budaya literasi yang rendah. Sudah saatnya pemerintah, masyarakat dan seluruh elemen pemangku kepentingan menyadari akan pentingnya “menghidupkan gairah” budaya literasi di masyarakat. Bila tradisi baca dan budaya literasi masyarakat masih rendah, maka Bangsa Indonesia sulit berkompetisi di Asia bahkan dunia. Maka gerakan literasi di manapun harus memahami dampak fundamental dari rendahnya budaya literasi masyarakat. Budaya literasi tidak cukup hanya diseminarkan. Tapi terjun langusng ke lapangan dan realisasikan dalam perbuatan nyata. Saatnya pemerintah dan seluruh elemen pemangku kepentingan untuk berkolaborasi membangun dan mengembangkan literasi informasi di masyarakat. Budaya literasi harus didekatkan kepada masyarakat yang menjadi target. Seperti masyarakat yang daerahnya prasejahtera atau tingkat pendidikan rata-ratanya rendah. Budaya literasi harus mampu menerobos seluruh lapisan masyarakat. Dan harus ada program konkret untuk menggerakkan perilaku membaca dan budaya literasi di masyarakat. Patut diketahui, budaya literasi bukanlah sebatas kegiatan membaca atau melek huruf. Tapi lebih dari itu, budaya literasi pun mencakup kesadaran akan pemahaman terhadap realitas kehidupan, Untuk lebih berorientasi pada solusi bukan hanya sensasi. Karena masyarakat yang literat adalah masyarakat yang mampu memecahkan masalah, menumbuhkan daya kreatif. Sehingga mampu mengangkat daya saing sebagai individual maupun organisasi. Maka, budaya literasi harusnya dijadikan gaya hidup masyarakat Indonesia.


Belajar membaca lalu bisa membaca dengan lancar hanyalah awal dari proses pembelajaran literasi. Lebih dari itu, literasi perlu dipahami lebih dalam agar anak anak, remaja, siswa, pelajar memiliki kompetensi literasi yang utuh. Kemampuan literasi akan sangat memengaruhi penalaran dan kompetensi. Sehingga siswapelajar Indonesia perlu dibekali dengan kecintaan pada aktivitas literasi sejak dini. Pemerintah terus berupaya membangun dan mengembangkan literasi literasi di masyarakat. Pemerintah melalui Kemendikbud merancang sebuah kebijakan mengganti Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter. Penggantian tersebut tak hanya sekadar nama, melainkan bentuk soal secara keseluruhan. Soal-soal AKM akan terbagi atas soal Literasi dan Numerasi. AKM Numerasi terdiri dari beberapa level, yakni level pemahaman konsep, level aplikasi konsep, dan level penalaran Konsep. Sedangkan AKM Literasi terbagi atas level penalaran konsep, level mencari informasi dalam teks, serta level literasi membaca. Artinya, bisa membaca saja tidaklah cukup. Seperti yang telah di uraikan diatas, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, peringkat nilai Programme for International Student Assessment PISA Indonesia berdasarkan survei tahun 2018 berada dalam urutan bawah. Untuk nilai kompetensi Membaca, Indonesia berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Untuk nilai Matematika, berada di peringkat 72 dari 78 negara. Sedangkan nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara.


Merangkum Sekolahmu, platform pendidikan yang didirikan oleh praktisi sekaligus Ketua Kampus Guru Cikal Najwa Shihab, mengatakan bahwa ada sejumlah miskonsepsi tentang literasi penyebab rendahnya nilai literasi di Indonesia. Pertama, literasi bukan hanya kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan menalar Literasi berkaitan dengan kompetensi berpikir dan memproses informasi. Sehingga bukan sekadar keterampilan membaca apalagi mengeja. Seseorang dengan tingkat literasi tinggi, mempunyai kemampuan penalaran dan pemecahan masalah dalam berbagai bidang, termasuk dalam sains, numerasi juga finansial. Kedua, belajar untuk membaca, namun tidak membaca untuk belajar Belajar untuk membaca berkaitan dengan kemampuan bahasa dalam mengenal huruf, mengeja, dan instruksi yang cenderung lebih sederhana, bisa dikuasai di tingkat dasar dalam waktu singkat. Sedangkan membaca untuk belajar adalah kemampuan lintas disiplin yang menempatkan membaca sebagai alat untuk memahami dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Sehingga, dalam literasi sesungguhnya, membaca bukanlah tujuan akhir, tetapi alat untuk tujuan belajar yang lebih besar. Ketiga, aktif membaca, tetapi tidak membaca aktif Membaca banyak tulisan, tidak otomatis meningkatkan kemampuan literasi. Malah terkadang, menurunkan minat atau menghasilkan pengetahuan yang tidak tepat.


Kunci keberhasilan dari setiap aktivitas membaca adalah membaca aktif. Membaca aktif dapat diartikan sebagai kemampuan memprediksi isi bacaan atau berempati dengan latar belakang penulis sebelum membaca, mempertanyakan argumen dan beridentifikasi dengan karakter selama membaca, menyimpulkan dan mengaplikasikan dengan hal yang relevan dalam kehidupan sesudah membaca. Jadi, kualitas membaca bukan dilihat dari jumlah buku atau lamanya waktu membaca, belajar terjadi dari interaksi dengan literasi. Keempat, lupa menghubungkan kemampuan menulis dengan kemampuan membaca. Salah satu cara paling efektif meningkatkan kemampuan sebagai penulis adalah pelajaran dari bacaan berkualitas. Semakin beragam bacaan, surut genre, format yang dipaparkan, eksplorasi dan pendalamannya, pada akhirnya akan mengantarkan pada kemahiran dalam dua kemampuan sekaligus, yakni membaca dan menulis. Kelima, bukan bawaan lahir tetapi potensi yang dapat dikembangkan Tidak ada anak yang terlahir dengan kecenderungan tidak suka membaca. Literasi berkaitan dengan banyak dimensi yang dapat ditumbuhkan sepanjang hayat, misalnya yang berkaitan dengan latihan untuk kreatif dan kritis serta memahami perspektif. Sebagaimana semua proses belajar, keberhasilan seseorang bukan hanya tergantung individu yang bersangkutan, tetapi ditentukan oleh dukungan lingkungan


Tanpa melakukan upaya perbaikan terhadap tingkat literasi akan sangat sulit bagi Indonesia untuk dapat menurunkan angka kemiskinan dan menurunkan tingkat kesenjangan. Oleh karena itu kunci dalam meningkatkan produktivitas bangsa dan menurunkan angka kemiskinan serta menurunkan tingkat kesenjangan terletak pada keberhasilan pemerintah dalam mengatasi masalah literasi. Secara umum Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya budaya literasi masyarakat, antara lain:


1. Kebiasaan Membaca

Aktivitas membaca masih belum dibiasakan dalam ranah keluarga. Orang tua hanya mengajarkan membaca dan menulis pada level bisa, belum terbiasa. Padahal, budaya literasi harus dibiasakan sejak kecil. Misalnya, membiasakan membaca cerita untuk anak atau mengajarkan menulis buku harian.


2. Sarana Membaca yang Minim

Sarana membaca yang minim mempengaruhi budaya membaca masyarakat. Fasilitas dan sarana tersebut misalnya perpustakaan. Minimnya fasilitas dan sarana serta koleksi perpustakaan membuat masyarakat malas berkunjung. Bagaimana koleksi buku di perpustakaan, fasilitas akses informasi yang disediakan, dan lain sebagainya. Ketersediaan buku-buku berkualitas yang minim juga termasuk salah satu penyebab orang malas membaca.


3. Kurang Motivasi untuk Membaca

Kurang minat baca adalah penyebab rendahnya budaya literasi di Indonesia. Terkadang, beberapa orang merasa tidak mengerti manfaat membaca sehingga tidak tertarik untuk melakukannya. Di bidang pendidikan misalnya, institusi pendidikan, guru atau dosen tidak banyak memberikan motivasi atau arahan kepada peserta didik untuk meningkatkan budaya literasi. Bahkan siswa merasa tidak perlu membaca karena menganggap informasi yang datang dari guru selalu benar.


4. Sikap Malas untuk Mengembangkan Gagasan

Literasi tidak hanya membaca, tetapi dilanjutkan dengan menulis. Bagaimana dapat terampil menulis jika jarang membaca? Menulis membutuhkan kosakata yang akan diperoleh dari membaca. Setelah memiliki bahan untuk menulis, tantangan selanjutnya adalah mengembangkan gagasan. Hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup untuk pengendapan ide. Proses itulah yang biasanya membuat orang malas menulis. Dengan budaya membaca, seseorang akan lebih dapat mengembangkan gagasan dan membuka wawasan baru. Sesuatu yang belum mereka temui di lingkungan, belum diajarkan oleh orang tua, dan belum dijelaskan oleh guru bisa didapatkan dengan membaca.


Perkembangan teknologi yang makin canggih ternyata turut berdampak pada budaya literasi masyarakat. Menarik dicermati, rendahnya literasi masyarakat kita terjadi seiring dengan menderasnya arus internet. Indonesia termasuk sepuluh negara pengguna internet terbanyak. Ada 89,8 juta pengguna internet, 79 juta di antaranya pengguna aktif media sosial media. Internet sebagai ujung tombak dari teknologi digital memang menyediakan kemudahan mengakses informasi dan pengetahuan. Namun, menurut Sheryy Turkle (2011), teknologi ini juga melahirkan pendangkalan kemampuan bernalar. Budaya yang terhubung membuat kita tergoda selalu melontar komentar sehingga tidak punya waktu berpikir. Pada akhirnya, terpaan teknologi digital ini, akan melahirkan “generasi yang berpikir cekak”. Menurut Nichjolas G. Carr, tanpa disiplin bernalar, kita akan kehilangan daya memilah banjir informasi di dunia yang makin kompleks, di mana citra menggantikan realitas, iklan, dan propaganda membaur dengan berita. Bahkan gossip dan hoax bersanding dengan fakta. Masyarakat lebih suka bermain dengan gawai daripada membaca. Teknologi yang makin canggih juga diimbangi dengan media sosial yang makin banyak. Penggunaan media sosial yang masif seperti Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, dan lainnya memungkinkan masyarakat terpapar dengan berbagai informasi yang benar atau berita palsu. Teknologi yang makin canggih seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menambah wawasan dan bahan literasi. Berdsarkan penelitian lembaga riset digital marketing Emarketer menyebutkan bahwa tahun 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang atau 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika. Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi berdasarkan laporan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari.


Indonesia termasuk negara dengan pengguna internet khususnya jejaring sosial media sosial terbesat urutan ke 5 dunia. Kecenderungan berlama lama menatap layar gadget adalah satu dampak yang mempengaruhi rendahnya budaya baca masyarakat sehingga Indonesia termasuk negara yang terpapar Hoax dan berbagai kejahatan internet. Lewat gadget masyarakat banyak mendapatkan informasi yang bersumber dari berbagai jejaring media sosial. Reuters Institute menyebutkan, jurang terbesar saat ini justru adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap media fake news versus media yang valid. Faktanya diukur lewat Alexa.com menyebutkan bahwa beberapa media fake news bahkan bisa mengalahkan media mainstream. Hal ini berdampak pada keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Ini yang disebut dengan fenomena era Post-Truth, dimana individu atau masyarakat lagi mencari kebenaran dan fakta melainkan afirmasi dan konfirmasi dan dukungan atas keyakinan yang dimilikinya. Kini informasi yang beredar di berbagai media baik cetak, elektornik maupun digital yang banyak bias atau tidak valid bahkan cenderng tendensius. Informasi yang disajikan dikemas agar bisa mengambil hati dan perasaan pembaca dengan story-telling yang mereka buat. Jejaring media sosial menjadi salah satu sumber misinformasi (hoax) yang terpolarisasi. Validitas dan kebenaran informasi menjadi tidak penting. Ketika media mainstream justru berseberangan faktanya dengan media opini tersebut, masyarakat justru malah berbalik menjadi tidak percaya terhadap media-media tersebut. Tak dipungkiri jika masyarakat kita lebih terbiasa berbicara daripada berliterasi. Disisi lain, masyarakat rata-rata menghabiskan waktu untuk menonton televisi atau bermain gadget. Sangat sedikit menyisihkan waktu untuk membaca dan menulis. Hasil laporan “Skills Matter” dari OECD (2016) menyebut hanya 1% orang dewasa di Jakarta yang memiliki tingkat literasi yang memadai (Level 4 dan 5); mengintegrasikan, menafsirkan, dan mensintesis informasi dari teks yang panjang dan hanya 5.4% orang dewasa di Jakarta memiliki tingkat literasi pada level 3, yaitu dapat menemukan informasi dari teks yang panjang. Itu artinya, orang dewasa hanya terbiasa dengan bacaan dan informasi yang pendek. Bukan buku bacaan.


Kemajuan zaman dan teknologi canggih tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kebiasaan membaca masyarakat. Era digital dan revolusi industri 4.0 pun tidak menjamin tegaknya budaya literasi di Indonesia. Justru sebaliknya, di era serba digital dan revolusi industri ini, faktanya budaya literasi kian pudar. Masyarakat lebih suka menghabiskan waktu bermedia sosial atau menonton TV. Indonesia masuk ke dalam lima besar negara pengguna smartphone terbanyak di dunia. Sejak terbukanya kebebasan informasi dan teknologi media, pertumbuhan media massa dan media baru mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Perkembangannya semakin beragam dan direpresentasikan oleh pertumbuhan smartphone dan sejenisnya. Pertumbuhan pemakaian smartphone tidak dibarengi dengan kemampuan literasi informasi masyarakat sehingga berdampak pada rendahnya kesadaran akan pentingnya informasi dan pemanfaatan media. Dalam kondisi demikian, masyarakat sulit untuk membedakan kebenaran informasi apakah ia berbasis pada fakta atau kebohongan. Hal yang dianggap lebih penting adalah, apakah informasi tersebut mengafirmasi keyakinan yang dimiliki atau tidak. Prasangka tersebutlah yang membuat hoax.


Hoax adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Hoax tersebar sangat cepat melalui media sosial dan media konvensional. Fakta menunjukkan masyarakat Indonesia lebih mudah menerima hoax dibandingkan dengan informasi yang berdasarkan fakta. Masyarakat Indonesia lebih suka untuk menyebarkan hoax dibandingkan dengan informasi yang intelektual. Kurangnya Literasi media menjadi salah satu permasalahan yang sedang dihadapi pemerintah saat ini. Kemajuan teknologi banyak disalahgunakan oleh masyarakat Indonesia. Saat ini media sosial menjadi sarana masyarakat untuk menyebarkan berita yang didapat dari sekitarnya. Masyarakat dapat menciptakan sebuah media atau berita, media yang berdasarkan fakta ataupun media yang didasari oleh opini. Sebuah media yang didasari oleh fakta menghasilkan berbagai opini dari masyarakat yang menyaksikannya, sedangkan media yang didasari oleh opini menghasilkan berbagai fakta-fakta baru yang menyebabkan kontroversi di kalangan masyarakat. Masyarakat saat ini menjadi sarana penyebaran berita yang sangat cepat, namun menyebarkan berita tanpa mencermati dan menkonfirmasi kebenarannya terlebih dahulu. Dengan kemajuan teknologi penyebaran informasi dan berita hoax dapat di minimalisir, tetapi kembali lagi kepada tingkat pemahaman dan pengetahuan literasi media masyarakat.


Lemahnya budaya literasi informasi dan media bagi masyarakat berdampak pada tingkat kemampuan bernalar untuk mengevaluasi informasi dan menggunakan media termasuk konsekuensi pesan di dalamnya secara kritis. Dengan kata lain lemahnya kemampuan bernalar akan membuat seseorang sulit berpikir jernih dan kritis dalam menemukan setiap masalah, yang tercermin adalah emosi dan egoisme. Alhasil, isu-isu provokatif dan hasutan yang dihembuskan berita-berita tipuan, fitnah dan kebencian dengan mudah disebarkan. Setiap hari di jejaring sosial media (facebook, twitter, whatsapp, instagram, path, tumblr, line) selalu dibanjiri oleh jutaan informasi yang tidak jelas sumbernya, bahkan tak jarang informasi yang bersifat provokatif dan mengakibatkan permusuhan. Informasi dan berita fakta, prasangka, gosip, bercampur aduk menjadi satu. Masyarakat yang kurang literasi akan sulit membedakan antara berita hoax, opini dan fakta.


Perkembangan teknologi informasi tanpa dibarenggi dengan kemampuan literasi informasi dan media masyarakat akan membuat masyarakat kesulitan dalam kemampuan berpikir secara kritis dan menarik penilaian secara berimbang terhadap seluruh informasi yang ditemukan dan digunakan dan kontrol terhadap penggunaan dan pemanfaatan media digital secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Literasi informasi dan media sangatlah penting, wawasan bertambah dengan berbagai informasi baru, meningkatkan kemampuan interpersonal, mempertajam diri dalam menangkap makna dari suatu informasi yang sedang dibaca Hal ini menunjukkan, betapa pentingnya literasi di kalangan masyarakatuntuk dapat memperluas wawasan tentang ilmu pengetahuan. Untuk membangun budaya literasi di masyarakat, hal yang mendasar dilakukan adalah pertama, merubah pola pikir masyarakat yang menganggap membaca dan menulis merupakan sebuah hobi, seharusnya masyarakat berpikir membaca dan menulis sebagai sebuah kewajiban. Kedua, memberikan pengertian dan pemahaman tentang pentingnya membaca dan menulis. Sangat sedikit dari masyarakat yang membaca buku dan memahami buku itu secara terperinci. Pemahaman masyarakat kini sudah berganti menjadi membaca segala informasi dari gawai, dan menulis melalui ketikan di telepon ataupun komputer. Tak sedikit pula dari masyarakat yang masih bertumpu terhadap media sosial untuk mencari informasi dan mengkonsumsi berita, padahal beberapa informasi yang berada di media sosial sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Akhirnya kemajuan teknologi dan membangun tradisi baca dan menulis, ibarat “jauh panggang dari api”. Salah satu hal mendasar yang sangat diperlukan dalam konteks upaya literasi media di masyarakat adalah kebiasaan membaca dan menulis.


C. PENTINGNYA KECAKAPAN LITERASI INFORMASI


Literasi informasi merupakan bagian dari kecakapan penting pada abad ke-21 guna membentuk orang-orang agar mampu berpikir ilmiah, kritis, reflektif, dan kreatif. Landasan yang kokoh untuk menuju literasi informasi adalah budaya baca masyarakat. Membaca itu kebutuhan dasar, diperlukan sikap optimistis dalam perjuangan memperbaiki tingkat literasi masyarakat. Pendidikan seperti pemberantasan melek informasi dan media perlu menjadi sebuah gerakan masyarakat, bukan membuat literasi sebagai program tetapi harus menjadi gerakan masyarakat. Gerakan ini mempunyai logika yang berbeda dibandingkan dengan program. Indonesia masih tertinggal dalam memajukan literasi, namun kondisi ini kontradiktif dengan hasil survey World Most Literated Nation bahwa ada lebih banyak perpustakaan di Indonesia daripada di Jerman. Sayangnya buku-buku yang disediakan tidak sering dibaca. Agar gerakan literasi berhasil, perlu dibangun ekosistem yang mendukungnya.Komponen dalam ekosistem tidak hanya terdiri atas sekolah, kampus, lembaga/institusi tetapi juga keluarga, dan lingkungan. Dengan kondisi budaya baca masyarakat yang masih rendah, pemerintah terus berupaya meningkatkan minat baca masyarakat. Salah satunya dengan merancang sebuah program pendidikan yang menerapkan konsep literasi dalam proses pembelajarannya. Hal ini bertujuan agar permasalahan-permasalah seperti minat baca yang rendah, kurangnya rasa simpati dan empati terhadap privasi dan keadaan orang lain, serta informasi hoax yang tersebar di mana-mana dapat dikendalikan dan akhirnya bisa diredam penyebarannya agar masyarakat tidak hidup dalam keresahan.


Masyarakat yang memiliki literasi informasi adalah masyarakat yang telah mengerti, menyadari, memahami, dan menggunakan tulisan atau bacaan dan sumber informasi. Dengan kata lain, selain mempunyai budaya lisan/tutur yang telah dibawa sejak turun-temurun, mereka juga telah mengembangkan budaya baca dan tulis (Sutarno NS, 2006). Masyarakat yang memiliki budaya baca tinggi harus terus diimbangi dengan penyediaan fasilitas bahan bacaan dan sumber informasi yang memadai sesuai kebutuhan masyarakat (Priyanto, 2007). Hingga tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menjadi pemburu informasi dan ”melek informasi” dalam memenuhi kebutuhannya. Keberadaan bahan bacaan dan sumber informasi sangat diharapkan untuk dapat berperan sebagai agen pengembangan modernisasi masyarakat (Kartosedono, 1995). Kondisi semacam itu hanya bisa ditemui dalam masyarakat yang memiliki budaya baca tinggi. Keberadaan bahan bacaan dan sumber informasi tidak akan berpengaruh dalam masyarakat yang memiliki budaya baca rendah. Di era perkembangan teknologi, setiap hari kita ditantang untuk berhadapan dengan informasi yang melimpah ruah, dalam berbagai format yang terhitung pula jumlahnya. Untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, ketersedian bahan bacaan dan sumber informasi adalah hal penting sebagai sarana mendukung literasi informasi tersebut. Dan yang terpenting adalah bagaimana setiap individu dan masyarakat dituntut untuk mengambil keputusan yang benar dan tepat dengan sumber informasi yang tersedia baik dalam bentuk cetak, elektronik maupun digital sehingga dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Selain itu keputusan yang diambil akan menjadi baik tergantung pada bagaimana informasi itu diperoleh secara tepat. **


415 views0 comments

Comments


bottom of page