top of page

MUTU PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA; SEBUAH REALITAS

REALITAS PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI


Dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam melihat kekuatan suatu bangsa yang semula bertumpu pada kekuatan sumber daya alam (SDA) kepada kekuatan yang bertumpu pada sumber daya manusia (SDM). Bangsa yang kuat saat ini, bukan lagi bangsa yang hanya mengandalkan kekayaan alamnya, tapi bangsa yang mampu menguasai informasi dan teknologi (IT) melalui kemajuan di bidang pendidikan.


Pergeseran paradigma ini telah direspon oleh pemerintah Indonesia dengan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Perhatian pada sektor ini dilakukan dengan asumsi bahwa pendidikan adalah upaya yang paling utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut Azyumardi Azra (2002:215), dengan pendidikan yang berkualitas, Indonesia dapat lebih terjamin dalam proses transmisi menuju demokrasi dan dapat membangun keunggulan kompetitif dalam persaingan global yang semakin intens.


Perguruan tinggi merupakan wahana tenaga ahli yang diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberi sumbangan kepada pembangunan. Sebagai usaha sistematis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, maka, empat kebijakan pokok dalam bidang pendidikan Indonesia yaitu (1) pemerataan dan kesempatan; (2) relevansi pendidikan dengan pembangunan; (3) kualitas pendidikan; dan (4) efisiensi pendidikan.


Khusus untuk perguruan tinggi akan lebih diutamakan membahas mengenai relevansi pendidikan dengan pembangunan dan kualitas yang dalam langkah pelaksanaannya dikenal dengan keterkaitan dan kesepadanan (link and match). Hanya dengan pengetahuan yang mendalam tentang apa yang dibutuhkan pembangunan, dan kualitas pendidikan akan dapat lebih mencapai hasil sesuai dengan misi, visi dan fungsinya.


Upaya menciptakan keterkaitan dan kesepadanan tersebut mengacu pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang meliputi kegiatan-kegiatan pendidikan (proses belajar mengajar), penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.Dalam Dharma Pendidikan, perlu dievaluasi relevansi program dan jurusan yang ada dalam kebutuhan pembangunan, dalam arti apakah sumber daya manusia yang dihasilkan dapat diserap oleh kegiatan perekonomian dan pembangunan.


Mengenai penyerapan lulusan perguruan tinggi ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang belum selesai, yang sebenarnya itu adanya perbedaan di dalam melakukan pendekatan. Sedikitnya itu ada dua pendekatan yang berbeda; yakni pendekatan dari dunia kerja dan pendekatan kalangan perguruan tinggi.


Pedekatan pertama, menyatakan bahwa lulusan perguruan tinggi tidak mampu bekerja sebagaimana yang di inginkan dunia kerja, yakni keahlian yang dimiliki masih jauh dari harapan. Pendekatan pertama ini menginginkan, lulusan perguruan tinggi itu harus memiliki keterampilan kerja (skill) yang memadai dan siap untuk bekerja. Kalangan perguruan tinggi sebenarnya tanggap dan merespon, sehingga disiapkan berbagai sarana dan prasarana, seperti komputerisasi; laboratorium, bengkel kerja dan pusat data. Namun pada kenyataannya dalam membentuk keahlian itu tidaklah memadai dan tidak menyebar secara merata di setiap perguruan tinggi.


Pendekatan kedua, dari kalangan perguruan tinggi yang menyatakan bahwa sesuai dengan tujuan pendidikan yakni untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 4 UU RI Nomor 20 Tahun 2003).


Pada pendekatan ke dua ini memang, tujuan pendidikan itu tidak disiapkan hanya untuk siap kerja, tetapi jauh lebih luas, yakni menyangkut pembentukan peserta didik menjadi manusia seutuhnya dan keterampilan merupakan hal yang penting yang dapat dimiliki oleh seseorang. Namun demikian, seyogyanya perbedaan dua pendekatan yang berbeda ini harus dikembangkan adanya pemahaman yang mendalam sehingga tidak saling mengklaim benarnya sendiri, minimal dapat ditarik benang merahnya.


Pedidikan sebagai suatu proses, pertama mengenal adanya raw-input dan instrumental input. Raw input merupakan peserta didik sedangkan instrumental input terdiri dari : gedung, perpustakaan, pedoman akademik, dosen, kurikulum, metode dan lain-lain. Kedua raw input dan instrumental input masuk dalam proses, yang ini akan memakan waktu delapan (8) semester. Ketiga, output (hasil didik) yang sesuai dengan kriteria institusi dan siap untuk masuk kedalam persaingan sumber daya manusia. Dosen merupakan instrumen yang sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan, karena dari dosenlah perpindahan ilmu dilakukan kepada peserta didik.


Perguruan tinggi yang memiliki tenaga-tenaga dosen yang berkualitas akan banyak diminati oleh masyarakat. Karena itu program untuk meningkatkan kualitas para dosen adalah merupakan kewajiban yang tidak ditawar tawar lagi pada saat ini dan dimasa mendatang. Perguruan tinggi yang tidak mau mengikuti arusnya perkembangan perubahan sekarang dan dimasa datang akan ditinggalkan oleh masyarakat dan lambat atau cepat akan mengalami kemunduran, yang akhirnya akan mengalami keruntuhan. Disisi lain, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebgai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi.


Kurikulum dibagi dalam kurikulum inti dan kurikulum lokal (institusional). Kurikulum inti adalah bagian dari kurikulum pendidikan tinggi yang berlaku secara nasional untuk setiap program studi, yang memuat tujuan pendidikan, isi pengetahuan, dan kemampuan minimal yang harus dicapai peserta didik, dalam penyelesaian suatu program studi.


Disisi lain kurikulum lokal (institusional) adalah bagian dari kurikulum pendidikan tinggi yang berkenaan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan serta ciri khas perguruan tinggi yang bersangkutan. Untuk mengembangkan kurikulum pendidikan tinggi, perguruan tinggi yang bersangkutan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.


Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. (Pasal 38 ayat 3 dan 4 UU RI Nomor 20 Tahun 2003).

bottom of page