MENAKAR MUTU PERGURUAN TINGGI INDONESIA
MENGUKUR MUTU PERGURUAN TINGGI
Kemajuan pendidikan tinggi tidak lepas dari mutu pendidikannya. Pendidikan yang bermutu sangat penting untuk kemajuan dan daya saing bangsa. Suatu konsekuensi logis bila menitik beratkan pendidikan sebagai benteng pertahanan dan masa depan bangsa.
Di era modern ini, pendidikan tinggi dianggap sebagai salah satu ujung tombak sekaligus tolok ukur kemajuan bangsa. Menurut Albatch (1989), pendidikan tinggi menjadi sangat penting karena di situlah individu ditempa menjadi seorang profesional di banyak bidang, berbagai macam ilmu dihasilkan dan dikembangkan, dan sekaligus tempat berbagai macam dinamika bangsa dimulai. Oleh karenanya, negara-negara di dunia menaruh perhatian khusus untuk terus meningkatkan kualitas institusi pendidikan tinggi yang dimilikinya.
Banyak faktor yang dapat menentukan kualitas pendidikan sebuah perguruan tinggi. Mulai dari reputasi, tingkat rekomendasi, hingga kemudahan lulusan perguruan tinggi untuk mendapatkan pekerjaan.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan tinggi kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit”ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh system pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan tinggi, khususnya di Indonesia, menghasilkan ”manusia robot”. Dikatakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan,kurang seimbang antara belajar berfikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (efektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang,yang terjadi adalah disintegrasi.
Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang diciptakan manusia siap pakai. Dan ”siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industry dan teknologi.
Saat ini Indonesia telah memiliki alat ukur kualitas luaran yang baku, walaupun ranking perguruan tinggi Indonesia masih berada dipapan bawah. Padahal sudah dilakukan berbagai cara, sayangnya masih sering terjadi kagiatan yang menodai kegiatan kearah kualitas dengan mengutamakan kuantitas ketimbang kualitas, akibatnya output kita tertinggal ketika bersaing dengan output dari Negara maju dalam rangka merebut pasar kerja ditingkat atas.
Padahal ukuran yang dicoba WHO mengenai tolak ukur indeks kegiatan hidup sehari-hari, indeks kemampuan kerja, dan kemampuan menghasilkan pendapatan (kemandirian), sampai saat ini ketiga tolak ukur ini dijadikan sebagai patokan maka kemungkinan kita diperhadapkan oleh biaya pengukuran, dan siapa yang akan mengukurnya dan bagaimana cara pengukurannya.
Kalaupun pengukuran output perguruan tinggi berdasarkan kemampuan dan kompetensi di jadikan standar baku secara konsisten dan maksimal, maka kemungkinan besar Indonesia akan terangkat statusnya lebih tinggi dari papan bawah menuju papan tengah dalam persaingan dengan output pendidikan tinggi Negara maju.
Peningkatan mutu pendidikan tinggi merupakan suatu pekerjaan yang multi kompleks.Oleh karena itu penulis hanya membatasi bahasan mengenai kondisi kualitas pendidikan tinggi, dengan harapan; (1) sebagai salah satu bahan banding dalam rangka menjejaki tolak ukur yang benar-benar sesuai dengan peningkatan kualitas mutu pendidikan tinggi (2) sebagai salah satu bahan referensi bagi penulis berikutnya
Berbagai upaya juga dilakukan untuk menggenjot daya saing pendidikan tinggi tak hanya di level nasional, tapi juga di level internasional. Gutmann (1999) berpendapat upaya tersebut mustahil berjalan dengan maksimal jika tidak ditopang oleh sistem yang baik. Dengan kata lain, sistem pendidikan tinggi memiliki peranan penting dan pengaruh besar pada institusi yang dipayunginya.
Harus di sadari bersama, kualitas dan mutu perguruan tinggi di Indonesia masih rendah sehingga sulit bersaing di tingkat internasional. Berdasarkan data dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), hanya ada 2 perguruan tinggi nasional yang masuk dalam ranking 500 perguruan tinggi terbaik di dunia.
Menristekdikti RI, Mohamad Nasir menuturkan, sistem akreditasi dan sertifikasi menjadi satu dari beberapa cara untuk meningkatkan mutu dan kualitas perguruan tinggi. Kualitas dan mutu telah menjadi masalah laten, terutama bagi perguruan tinggi swasta.
Permasalahannya yang membelit perguruan tinggi Indonesia masih seputar kualitas dan mutu. Kemenristekdikti dan Badan Akreditasi Nasional-Perguruan Tinggi (BAN-PT) terus melakukan pendampingan kepada semua perguruan tinggi yang belum terakreditasi A. Tujuan dari akreditasi agar perguruan tinggi memberikan peran lebih besar pada pertuumbuhan ekonomi nasional. Hingga Oktober 2016, hanya ada 40 perguruan tinggi yang terakreditasi A.
Pendampingan yang dilakukan Kemenristekdikti dan BAN PT tersebut di antaranya soal kelembagaan. Perguruan tinggi swasta harus dijalankan oleh badan penyelenggara, dapat berupa komite atau yayasan.. Selain itu Kemenristekdikti juga telah memberikan bimbingan teknis pada 51 perguruan tinggi yang terakreditasi B untuk melakukan re-akreditasi ke BAN- PT. Dari jumlah tersebut, perguruan tinggi swasta banyak yang masuk pembinaan.
Mutu Pendidikan yang dianggap rendah, Lapangan Kerja pun terbatas, berimbas pada upah alias gaji yang di terima bahkan relative minim. Perbedaan Pendidikan yang di dapat dan biaya yang di keluarkan untuk kuliah, mungkin menjadi catatan penting yang harus diperhatikan dan di pertimbangkan.
Kartono Muhammad mengatakan bahwa apakah kualitas manusia Indonesia yang dicita-citakan tercapai atau belum, tentunya harus ada tolak ukurnya. Inilah seringkali kita mengalami kesulitan. Selanjutnya Kartono mengusulkan 2 (dua) ukuran yakni ukuran kualitas bahan baku dan ukuran hasil (output).
Pertama, Mengukur kualitas bahan baku atau faktor masukan menjadi jaminan adanya hasil yang sebanding, unsur masukan tadi paling tidak sudah dapat dijadikan indikator tentang upaya yang telah dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri.
Selain mengukur masukan dari luar, faktor masukan dari menusia itu sendiri perlu diperhitungkan. Artinya apakah menusia sebagai subyek yang diproses juga berkualitas tinggi. Alasannya adalah semaik bahan baku yang dimasukkan untuk diproses semakin baik pula hasilnya manakala diproses secara professional.
Olehnya itu manusia dipersiapkan berkualitas sejak usia dini. Anak-anak Indonesia harus mempunyai kesehatan yang baik, fisik yang baik, dan prilaku social yang baik. Sehingga dengan pendidikan agama dan pendidikan tinggi yang bermutu baik pula, ia akan dapat diolah menjadi manusia yang sesuai dengan criteria UU Sisdiknas no. 20 Tahun 2003.
Kedua, Mengukur Hasil (output) dengan bahan baku yang berkualitas dengan pengelolaan yang baik pula diharapkan dapat tercapai hasil maksimal pula. Tetapi pengukuran apakah hasil yang dicapai baik dan sesuai tuntutan Sisdiknas no.20 th 2003. Tentunya bukan hal yang mudah terutama karena yang dihadapi adalah manusia yang hidup, tumbuh dan mempunyai otak untuk berpikir. Sekalipun tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan internal.
Pengukuran output perguruan tinggi melalui luaran yang dihasilkan, adalah salah satu cara dalam mengendalikan dan penjaminan mutu kualitas (quality control and assurance) pendidikan. Persoalannya adalah system pengujian pendidikan, sebab disadari atau tidak ada beberapa masalah yang dihadapi antara lain;
Pertama, manajemen tatakelola PT, Tenaga pengajar, ketersediaan sarana prasarana sangat bepariasi di setiap perguruan tinggi, terkadang tidak sesuai dengan harapan dalam menentukan kualitas pendidikan yang berimbas pada luaran yang dihasilkan. Kenyataan, banyak perguruan tinggi yang tidak konsisten dalam menjalankan dan meningkatkan mutu pendidikannya
Kedua, Selain itu muncul lagi istilah kampus abal abal. Sepertinya pendidikan dijadikan main-mainan, dengan menyelenggarakan pendidikan yang tidak sesuai dengan proses, mekanisme, dan aturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah. Hal tersebut berimbas pada mutu luaran PT tersebut, bahkan yang lebih memilukan adalah beredarnya Ijazah palsu yang mencoreng dunia pendidikan tinggi Indonesia.
Ketiga, Standar Mutu pendidikan tinggi yang telah ditetapkan oleh kpemerintah dalam hal ini Kemenristekdikti belum konsisten dijalankan, dilaksanakan oleh lembaga pendidikan tinggi (kampus), karena dalam prakteknya hanya menjalankan setengah hati, dan hampir melupakan aspek lainnya (Tri Dharma).
Pertanyaannya sekarang bagaimana seharusnya tolak ukur kualitas PT. Mengingat kesenjangan antara Fasilitas, SDM serta system dari perguruan tinggi yang ada (PTS dan PTN). Masih perlu pengkajian secara mendalam guna pengujian yang baku atau sesuai dengan standar yang diharapkan, kesenjangan antara fasilitas dan SDM antar perguruan tinggi baik negeri dan swasta di seluruh Indonesia.
Kendatipun demikian beberapa hal yang biasanya dilakukan dalam pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan sebagai berikut: (1) Pemberdayaan perguruan tinggi (satuan pendidikan) secara optimal, (2) Pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan secara nasional, dapat dilakukan oleh pusat (baik oleh Kemenristekdikti, BAN PT atau lambaga independen) yang memiliki kualifikasi untuk melakukan pengujian, (3) Optimalisasi pemanfaatan lembaga penjamin mutu pendidikan terutama di internal perguruan tinggi, (4) Peningkatan mutu pendidikan melalui pendidikan kecakapan (life skills).
Pemberdayaan perguruan tinggi (satuan pendidikan) secara optimal, barangkali kita sependapat bahwa luaran hasil akhir adalah salah satu yang berfungsi menentukan kualitas dari PT, dengan mengacu pada standar kemampuan yang telah ditetapkan dalam standar nasional pendidikan tinggi. Untuk menghindari insiden diskriminasi terhadap suatu perguruan tinggi swasta maupun negeri pulau jawa dan luar pulau jawa, maka perlu diterapkan secara konsisten dan proporsional standar penjaminan mutu pendidikan untuk semua wilayah.
Berikan kesempatan kepada masing-masing perguruan tinggi, kampus untuk menjalankan, melaksanakan standar penjaminan mutunya berdasarkan kondisi dan tingkat kemampuan PT tersebut dalam menyelenggarakan kegiatan TRI Dharma-nya. Tetapi perguruan tinggi, harus berupaya secara terus menerus dan berkelanjutan meningkatkan mutu pendidikannya. Di sisi lain, pemerintah, kemenristekdikti, BAN PT, Kopertis terus melaksanakan fungsi pengawasan, pembinaan dan penataan perguruan tinggi secara konsisten dan proporsional guna mewujudkan tatakelola Perguruan Tinggi yang berkualitas.
Pembinaan dan pengawasan juga berfungsi mengendalikan mutu pendidikan tinggi. Ini yang justru dirasakan semakin penting dalam era globalisasi, pasar bebas dan tuntutan masyarakat, dunia kerja, usaha, dan dunia industri. Bahkan ada yang menilai bahwa mutu suatu pendidikan tinggi menjadi sarana ampuh untuk menilai akademis yang dikembangkan oleh perguruan tinggi dengan standar yang ditetapkan pemerintah, penilaian lainnya sesuai dengan aturan, mekanisme dan undang undang pendidikan, Sisdiknas juga dapat dipotret dengan baik.
Pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan tinggi secara nasional, dapat dilakukan oleh pusat (baik oleh kemenristekdikti, BAN, atau lambaga independen) yang memiliki kualifikasi untuk melakukan pengujian sejauhmana PT melaksanakan dengan baik sistem penjaminan mutu yang telah ditetapkan pemerintah, dengan melaksanakan monitoring dan evaluasi aktifitas dan kegiatan TRI Dharma di setiap perguruan tinggi secara secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistimatik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan, diluar dari penilaian akreditasi dan perpanjangan izin prodi PT yang bersangkutan. Agar di masa datang tak ada lagi perguruan tinggi abal abal, melaksanakan mal praktek pendidikan dan memproduksi ijazah palsu.
Merujuk hal tersebut, khususnya untuk perguruan tinggi swasta, kemenristekdikti harus memberdayakan secara maksimal kerja dan kinerja Kopertis di setiap wilayah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik agar mampu memotret pelaksanaan aktifitas dan kegiatan perguruan tinggi swasta guna menjamin terlaksananya fungsi TRI DHARMA dan mutu pendidikan PTS tersebut.
Maraknya kampus bermasalah alias 'abal-abal' adalah efek dan sekaligus imbas minimnya fungsi Wasdalbin, yakni pengawasan, pengendalian, dan pembinaan. Kampus bermasalah tersebut terindikasi melakukan pelanggaran, seperti masalah laporan akademik, masalah nisbah dosen/mahasiswa, masalah pelanggaran peraturan perundang-undangan PDD/PJJ tanpa izin (kelas jauh) Prodi/PT tanpa izin, dan penyelenggaraan kelas Sabtu-Minggu. Kemudian, jumlah mahasiswa over kuota (Prodi Kesehatan/kedokteran/dll), ijasah palsu/gelar palsu, masalah sengketa/konflik internal dan kasus mahasiswa. Kasus Dosen (misal dosen status ganda) pemindahan/pengalihan mahasiswa tanpa izin kopertis.
Dengan fungsi pengawasan, pengendalian, dan pembinaan yang ketat dan konsisten, pemerintah akan mendapatkan potret mutu pendidikan tinggi sebenarnya, dan bukan hanya sandiwara belaka, tidak dibayang-bayangi dengan laporan, data dan informasi palsu alias tidak sesuai dengan kenyataan dan fakta di lapangan.
Fungsi pengawasan, pengendalian, dan pembinaan perguruan tinggi, dalam kerangka pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan di perguruan tinggi. Kendatipun bukan berarti bahwa dengan cara tersebut tidak memiliki kekurangan akan tetapi setidaknya meminimalisir munculnya kampus bermasalah “abal-abal” di masa datang.
Optimalisasi pemanfaatan lembaga penjamin mutu pendidikan internal dan eksternal PT, dalam era persaingan kekinian menjadi keharusan, tidak ada satupun yang mampu mengelak kecuali terlibat didalamnya. Baik itu secara indifidu, secara kelompok ataupun melalui kelembagaan. Disemua aspek kehidupan baik politik, ekonomi, social budaya. Tentunya sangat berbeda dari era sebelumnya. Pendidikan tinggi sebagai salah satu pilar utama untuk memberikan kemampuan atau kecakapan atau kekuatan untuk perubahan, masa depan, harga diri bangsa serta memenangkan persaingan global.
Dalam konsep penjaminan mutu pendidikan tinggi, kewenangan dilimpahkan sepenuhnya pada lembaga perguruan tinggi, salah satunya adalah manajemen penataan dibidang pendidikan. Tapi, disinyalir penyebab rendahnya mutu pendidikan adalah lemahnya manajerial, dana yang kurang memadai, fasilitas dan sarana pendidikan yang minim, pengawasan yang lemah, KKN yang merajalela, kinerja, kerja PT sangat rendah, rendahnya dan tidak meratanya kualitas dosen yang ada saat ini.
Ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam rangka peningkatan mutu pendidikan tinggi agar memenuhi merealisasikan standar sistem pendidikan nasional, yaitu: (1) pengendalian manajemen dan operasional pendidikan (2) sumber daya manusia (4) Anggaran dana (5) sarana dan prasarana (6) kelengkapan data (7) pengawasan.
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan tinggi, khususnya di Indonesia yaitu:
Faktor internal, meliputi jajaran perguruan tinggi baik negeri dan swasta sebagai sub sistem yang berada di garis depan, Kemenristekdikti, BAN, Kopertis. Intervensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar mutu pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya. Dimana, masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk.Fakto-faktor tersebut yaitu:
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya,banyak sekali perguruan tinggi kita yang gedungnya kurang memadai, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap.
Sementara laboraturium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak kampus yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboraturium, unit penelitian dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Dosen
Keadaan Dosen di Indonesia juga amat memprihatinkan.Kebanyakan dosen belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam undang undang guru dan dosen.
3. Rendahnya Kesejahteraan Dosen
Rendahnya kesejahteraan dosen mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan tinggi Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak dosen terpaksa melakukanpekerjaansampingan. Ada yang mengajar lebih dari 3 kampus dalam sehari, dan lain sebagainya.
4. Rendahnya Prestasi Mahasiswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas dan kesejahteraan dosen) pencapaian prestasi mahasiswa pun menjadi tidak memuaskan.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan tinggi masih terbatas
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan tinggi dengan kebutuhan
Adanya ketidak serasian antara luaran pendidikan tinggi dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya sarjana lulusan PT yang menganggur . data BAPPENAS yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan Diploma /SO sebesar 37,5% dan PT sebesar 39,6%.
7. Mahalnya biaya pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal, kalimat ini yang sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku kuliah. Mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi (PT) membuat masyarakat tidak mampu mengakses masuk ke perguruan tinggi.
Banyak faktor yang dapat menentukan kualitas pendidikan sebuah perguruan tinggi. Mulai dari reputasi, tingkat rekomendasi, hingga kemudahan lulusan perguruan tinggi untuk mendapatkan pekerjaan.
Untuk mengukur kualitas Perguruan Tinggi, umumnya digunakan delapan variabel penilaian, yaitu :
1. Reputasi perguruan tinggi.
Kualitas akademik dan jasa layanan pendidikan
2. Tentang kualitas lulusan.
Apakah lulusan perguruan tinggi tersebut diakui dan mudah cari kerja.
3. Kesesuaian biaya kuliah dan manfaat yang didapat oleh mahasiswa.
4. Kesetaraan perguruan tinggi yang bersangkutan di luar negeri. Sebab, saat ini perguruan tinggi tidak hanya harus bersaing di tingkat nasional tapi juga mampu menyejajarkan diri dengan perguruan tinggi asing yang ada di luar maupun di dalam negeri.
5. Tentang fasilitas; sarana prasarana utama dan penunjang kegiatan pendidikan
6. Kontribusi sosial yang sudah dilakukan perguruan tinggi dalam hal ini pengamalan Tridharma perguruan tinggi.
7. Prestasi membanggakan yang dicapai oleh perguruan tinggi.
8. Tingkat rekomendasi perguruan tinggi. Ketika suatu perguruan tinggi direkomendasikan, berarti lembaga tersebut telah memberikan kepuasan yang luar biasa bagi civitas academica, dunia kerja maupun industri.
Dengan tolak ukur tersebut, pengelola perguruan tinggi pun dapat mengetahui posisi masing-masing sehingga berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikannya. Bagi user, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya dapat memperoleh perguruan tinggi yang diakui baik oleh masyarakat maupun industri.