STUDI KNOWLADGE SECTOR INITIATIVE (KSI) TENTANG HAMBATAN PENELITIAN DI UNIVERSITAS
Tulisan ini bersumber dari kertas kerja (Working Paper) Knowladge Sector Initiative (KSI) yang merilis studi tentang Hambatan Penelitian di Universitas. (sumber: www.ksi-indonesia.org/files/1464160545$1$DYOBW$.pdf).
Adapun hasil studi, sebagai berikut :
KATA KUNCI
• Penelitian sangat penting untuk membangun ekonomi berbasis pengetahuan.
Pada abad 21, ekonomi berbasis pengetahuan adalah jalan menuju ekonomi yang kompetitif. Sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN), keberhasilan pembangunan jangka panjang di Indonesia tergantung pada kemampuan Indonesia memperkuat keunggulan kompetitifnya. Hal tersebut ditentukan oleh terpenuhinya sejumlah hal mendasar, yaitu pekerja terampil, daya inovasi, riset yang independen, dan iklim investasi yang kuat. Agar berkembang dengan efektif, semua hal tersebut membutuhkan fondasi penelitian nasional yang kokoh.
• Pendanaan penelitian di Indonesia sangat kurang memadai.
Indonesia tidak memiliki infrastruktur pendanaan untuk pengembangan sains dan teknologi. Pendanaan sangat rendah, hanya sebesar 0,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini lebih rendah dibandingkan dana yang dikucurkan oleh negara-negara berkembang pesat lain untuk hal serupa, yang berkisar 1% sampai 3%. Kapasitas sumber daya manusia Indonesia untuk melakukan penelitian pun masih lemah. Selain itu, perguruan tinggi lebih mengutamakan kegiatan pengajaran dibanding penelitian. Pada tingkat individu, kualitas penelitian sangat rendah dan publikasi masih terbatas.
• Lingkungan perguruan tinggi menghambat pengembangan penelitian.
Kegiatan penelitian kurang mendapatkan penghargaan di lingkungan perguruan tinggi. Sebaliknya, pengajaran lebih diutamakan dan dihargai. Hubungan antara perguruan tinggi dan kegiatan penelitian dengan sektor publik dan industri sangat lemah. Perguruan tinggi memelihara struktur monodisiplin, padahal isu-isu dan permasalahan yang dihadapi oleh pengambil kebijakan bersifat multidisiplin. Perguruan tinggi juga tidak mendorong dan memberi insentif untuk publikasi di jurnal peer-reviewed. Selain itu, kelemahan struktural terdapat pada regulasi dari birokrasi yang mengatur penelitian.
Peraturan pengadaan barang dan jasa membatasi partisipasi perguruan tinggi dalam penelitian yang disponsori pemerintah
Interaksi antara pembuat kebijakan dengan komunitas peneliti sangat terbatas, sehingga mereka tidak bisa mengutarakan isu-isu yang menjadi kebutuhan dan kepedulian masingmasing pihak. Kolaborasi antar lembaga pemerintah dalam membahas kebutuhan riset sangat rendah. Selain itu, agenda penelitian yang diajukan oleh pemerintah setiap tahun tak begitu dipakai sebagai rujukan.
Sejumlah penelitian sedang dilakukan untuk mengidentifikasi cara untuk mengatasi hambatan hambatan di atas dan untuk meningkatkan daya saing Indonesia
Knowledge Sector Initiative (KSI) mendanai dua studi mengenai hambatan penelitian di universitas. Sementara Universitas Indonesia, berkolaborasi dengan Centre for Inovation, Policy, and Governance (CIPG) melakukan studi tentang lingkungan universitas yang mendukung pengembangan penelitian. Tujuan utama dari studi-studi tersebut adalah mengidentifikasi alternatif intervensi untuk membangun fondasi riset yang kokoh dan mendukung ekonomi yang kompetitif.
RINGKASAN EKLUSIF
Makalah ini membahas isu peningkatan kualitas dan kapasitas penelitian di Indonesia. Secara khusus, makalah ini meneliti penyebab rendahnya kualitas riset perguruan tinggi di Indonesia, yang berada di bawah negara negara lain, seperti Bangladesh, Nigeria, Thailand, Malaysia, dan Singapura (Suryadarma et.al, 2011).
Kajian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kinerja penelitian di Indonesia sangat sedikit, tetapi dari studi-studi yang sudah dilakukan dapat dirumuskan rekomendasi sebagai berikut:
Indonesia perlu meningkatkan anggaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan;
Pengambil kebijakan di Indonesia tak berlebihan dalam mengatur sektor pengetahuan; dan
Kepemimpinan di tingkat pucuk sangat penting.
Ihwal anggaran penelitian, sebuah studi yang membandingkan anggaran penelitian di lima negara berpenghasilan menengah (Brazil, Meksiko, Filipina, Singapura, dan Malaysia) menyimpulkan bahwa Indonesia harus memperbesar pengeluaran di bidang penelitian dan pengembangan dari 0,08% menjadi 1% dari PDB.
Studi yang dilakukan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) (Brodjonegoro dan Greene, 2012) menemukan bahwa kurangnya dukungan dana serta sistem pelaporannya yang kaku menyebabkan peneliti Indonesia kurang produktif dibandingkan negara lain yang memiliki PDB hampir setara – untuk setiap dolar yang diinvestasikan. Indonesia tidak memiliki infrastuktur pendanaan untuk pengembangan sains dan teknologi mutakhir.
Berkaitan dengan pengaturan sektor pengetahuan, hambatan terhadap kinerja penelitian di perguruan tinggi lebih banyak disebabkan oleh masalah internal dibanding eksternal, seperti persoalan insentif atau tantangan menyeimbangkan beban pengajaran dan penelitian. Kajian Brodjonegoro dan Greene mencatat beberapa hal penting yang perlu dilakukan, yaitu:
Menyederhanakan peraturan menyangkut akses dana penelitian;
Menghapus pembedaan jalur karier riset dan administratif; dan
Memberikan dana tambahan kepada lembaga penerima dana penelitian untuk menutup biaya penelitian tidak langsung, tanpa mengurangkan jumlah ini dari total penerimaan.
Penelitian tidak pernah didorong untuk menjadi sebuah karier. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakselarasan antara kegiatan pengajaran dan penelitian, dan pada akhirnya menghambat kinerja perguruan tinggi berbasis riset.
Selain itu, terdapat beberapa masalah mendasar pada lingkungan pendukung kegiatan penelitian. Barangkali, masalah terbesarnya terdapat pada kurangnya motivasi individu untuk bertahan di sektor pengetahuan. Ini adalah fungsi dari tiga faktor yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu pendanaan, pengendalian, dan kepemimpinan.
Kajian tersebut juga mengungkap kurangnya ruang interaksi dan saling memengaruhi antara sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand). Produksi pengetahuan didorong oleh kemajuan teoritis, sementara sisi permintaan terhadap temuan penelitian didorong oleh realitas praktis dan politis. Komunitas peneliti cenderung hanya memusatkan perhatian pada agenda penelitiannya sendiri, dan kurang memedulikan kebutuhan di ranah kebijakan. Hal ini mengakibatkan rendahnya penggunaan bukti.
Kepemimpinan perguruan tinggi dalam komunitas peneliti dibutuhkan untuk menanamkan pola pikir kebijakan (policy thinking) dan penggunaan temuan penelitian dalam kebijakan komunitas. Minat terhadap isu-isu penggunaan temuan penelitian dalam proses kebijakan menunjukkan peningkatan. Ada dua studi yang sedang berjalan mengenai hal tersebut, yang akan dijelaskan di bawah ini – dan makalah ini mengeksplorasi potensi studi yang dilakukan oleh perguruan tinggi mitra LSP3I untuk mendorong kegiatan penelitian kebijakan di antara komunitas peneliti.
Dua kajian mengenai hambatan perguruan tinggi dalam mengembangkan riset tersebut adalah:
Mereformasi Riset di Indonesia, yang mengkaji penyebab fenomena rendahnya jumlah akademisi yang berminat menjadi peneliti (dilakukan oleh Perguruan tinggi Indonesia dan Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) didukung oleh Global Development Network (GDN)); dan;
Buku Putih Pendidikan Tinggi, yang berfokus pada pendidikan tinggi di Indonesia, termasuk pelembagaan penelitian multidisiplin di program pascasarjana di Indonesia (dilakukan oleh AIPI dan didukung oleh KSI).
Kelompok konsultatif menyimpulkan perlunya kajian diagnostik terkait hambatan perguruan tinggi dalam melakukan penelitian. Kajian tersebut bukan hanya harus mengkaji isu isu konseptual dan fiosofi, tetapi juga harus menawarkan intervensi nyata untuk mengubah keadaan.
Berdasarkan temuan studi yang sudah dilakukan dan yang sedang berjalan di atas, kelompok konsultatif mitra KSI yang terdiri dari empat lembaga riset di perguruan tinggi menyarankan beberapa isu untuk dikaji lebih lanjut sebagai berikut:
Kesesuaian – kegiatan penelitian, para peneliti dan konteks kebijakan diselaraskan agar mencapai keseimbangan;
Pendanaan penelitian – walaupun penelitian dianggap penting, pendanaan riset masih sangat terbatas karena masih dianggap sebagai beban investasi ekonomi;
Agenda riset – Dewan Riset Nasional (DRN) telah menerbitkan Agenda Riset Nasional (ARN). Agenda ini menjadi rujukan penelitian yang mendukung proses kebijakan, namun kurang mendapatkan perhatian yang serius. Alternatif lain harus dieksplorasi demi menciptakan agenda sains yang dapat digunakan;
Karier meneliti – ketidakjelasan jenjang karier untuk peneliti menjadi salah satu masalah utama rendahnya minat berkarier dalam bidang penelitian. Minat untuk berkarier akan tumbuh jika peneliti tidak dipandang sebagai ‘kelas dua’; dan
Sistem remunerasi dan insentif peneliti – gaji untuk peneliti cenderung lebih kecil dibanding gaji di sektor lain. Umumnya, motivasi utama untuk menjadi seorang akademisi di Indonesia adalah untuk mendapatkan nama dan kebebasan melakukan pekerjaan sampingan.
Walaupun dibutuhkan waktu tahunan untuk meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia, infrastruktur, dan lembaga pengembangan sains dan teknologi, ada banyak hal yang bisa dicapai untuk memperbaiki sektor pengetahuan melalui kajian diagnostik terhadap peraturan dan regulasi, serta pengaturan kelembagaan.
Terakhir, perlu kita catat bahwa penelitian sangat terkait erat dengan inovasi. Pemerintah Indonesia mempunyai komitmen terhadap ekonomi berbasis pengetahuan yang akan membawa negara ini menuju pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapainya, Indonesia harus memberikan perhatian yang lebih pada bidang penelitian agar lebih kompetitif dibanding negara-negara tetangga. Hal ini hanya dapat dicapai melalui pengembangan penelitian yang sesuai dan berkelanjutan.
Kajian diagnostik tersebut bertujuan untuk memberikan sumbangan dalam mengatasi tantangan dalam pelaksanaan penelitian di perguruan tinggi, dan meningkatkan kepedulian perguruan tinggi dan pemerintah terhadap proses tersebut melalui kepemimpinan yang efektif.
PENGANTAR
Sebagai sebuah negara berpendapatan menengah yang baru muncul (tantangan Indonesia untuk meningkatkan dayasaing semakin meningkat. Kebijakan pembangunan emerging middle-income country), harus diarahkan untuk menggali potensi-potensi yang dapat membawa hasil pembangunan yang berkualitas. Kendati ada pertanyaan menyangkut efektivitasnya, menginformasikan kebijakan melalui riset merupakan salah satu pendekatan lazim.
Penelitian dipandang sebagai upaya strategis dalam memengaruhi dan memperbaiki kebijakan. Istilah “kebijakan berbasis bukti” (evidence-based policy) berpijak pada gagasan bahwa penelitian (yang menghasilkan bukti) adalah dasar dari sebuah kebijakan yang baik. Tantangan untuk membangun kapasitas penelitian yang dapat menjadi pendukung proses formulasi dan implementasi kebijakan dihadapi oleh negara mana pun, tidak terkecuali Indonesia.
Salah satu strategi untuk mengatasi tantangan tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas penelitian di perguruan tinggi di Indonesia. Walaupun upaya untuk mendorong, meningkatkan, dan memfasilitasi kegiatan penelitian sudah dilakukan, prestasi penelitian masih rendah. Kinerja hasil penelitian biasanya diukur dengan jumlah publikasi ilmiah internasional dan paten.
Menurut SCImago Journal and Country Rank1, selama kurun waktu 1996-2008, Indonesia menghasilkan publikasi ilmiah sebanyak 9.194 dokumen, menempatkan produktivitas ilmiahnya di bawah Bangladesh, Kenya, Lithuania, dan Nigeria, dan jauh di bawah negaranegara Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia dan Singapura.
Selain itu, Social Sciences Citation Index (SSCI) menunjukkan bahwa publikasi hasil penelitian yang diajukan oleh peneliti Indonesia ke jurnal internasional yang peer-reviewed hanya 12%, setengah dari jumlah publikasi penelitian dari Thailand dan Malaysia. Salah satu indikator kegunaan penelitian adalah paten. Dalam hal paten, jumlah yang didaftarkan oleh peneliti Indonesia di United States Patent and Trademark Offie (USPTO) pada 2008 berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina.
Sementara itu jumlah paten yang terdaftar di Indonesia antara tahun 1992 dan 2008 didominasi oleh paten luar negeri. Hal-hal tersebut menggambarkan kualitas penelitian dan pengembangan serta sumber daya manusia di Indonesia yang masih rendah. Rendahnya jumlah paten yang diterbitkan di Indonesia tidak bertambah signifian dari waktu ke waktu dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan yang sama (Brodjonegoro dan Greene, 2012).
Mengingat pentingnya peran perguruan tinggi dalam membangun kapasitas penelitian, pertanyaan fundamental yang diajukan adalah: faktor-faktor struktural apa yang menghambat kemajuan penelitian di perguruan tinggi di Indonesia? Selama ini, perguruan tinggi telah banyak mengkaji faktor-faktor eksternal yang menghalangi kinerja penelitian, seperti kebijakan dan kurangnya dana riset. Namun masih sedikit yang melihat faktor internal, seperti insentif dan ketidakseimbangan beban kerja antara kegiatan pengajaran dan penelitian.
Pemerintah sudah membuka kesempatan bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan penelitian, walaupun rencana dan programnya kurang jelas. Sebagai contoh, pada 2015, alokasi dana penelitian perguruan tinggi yang dikucurkan oleh pemerintah Indonesia mencapai Rp 1,7 triliun (US$ 131 juta).
Dana itu untuk menumbuhkan penelitian inovatif dalam bidang sains (khususnya dalam bidang ilmu alam dan, dalam batas tertentu, ilmu sosial). Dana ini berasal dari dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negara (BOPTN) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan digabungkannya pendidikan tinggi (sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) dengan Kementerian Riset dan Teknologi pada 2014, ada harapan bagi perbaikan penelitian di perguruan tinggi, yang tercermin dalam publikasi, paten, dan perkembangan riset-riset inovatif. Kinerja dan pendanaan penelitian di Indonesia tertinggal dari sebagian besar negara-negara ASEAN.
Rencana pemerintah yang memberikan harapan adalah mengundang sektor swasta untuk berkontribusi dalam pendanaan riset. Area penelitian yang diidentifiasi dapat menjadi target dana dari komunitas bisnis adalah pangan, energi, material maju (advanced material), teknologi informasi, serta keamanan dan kesehatan. Namun demikian, sumber pendanaan dari sektor swasta berpotensi mengabaikan topik topik nonteknologi atau nonkomersial seperti pendidikan, masyarakat, dan budaya.
Masalah lainnya, kenyataan bahwa penelitian tidak pernah menjadi pilihan karier. Hal ini terjadi bukan saja dalam konteks sosio-kultural yang tercermin pada pesimisme terhadap kelayakan penelitian menjadi sebuah profesi, tapi juga tercermin dari bagaimana kegiatan penelitian dianggap kontradiktif dengan kegiatan pengajaran di lingkungan perguruan tinggi itu sendiri. Tampak ada ketegangan antara kegiatan pengajaran dan penelitian di perguruan tinggi yang berdampak pada terhambatnya kinerja penelitian.
Walaupun sudah banyak fakta yang diajukan mengenai dampak negatif dikotomi antara pengajaran dan penelitian di perguruan tinggi, regulasi pemerintah tentang staf tetap akademik di perguruan tinggi tidak mendorong kegiatan penelitian. Hal ini berimbas pula pada jabatan profesor: profesor pengajar memperoleh ‘legitimasi’ dan penerimaan sosial, sedangkan profesor riset tidak.
Hal ini berdampak langsung pada tingkat perguruan tinggi: beban pengajaran dosen semakin bertambah dan menghilangkan kesempatan untuk melakukan kegiatan penelitian – karena kontrak penelitian biasanya menyebabkan dosen mengurangi waktu mengajar dan bahkan kehadiran di kampus. Ini mengurangi kesempatan untuk naik jabatan. Beberapa perguruan tinggi besar mengompensasi hal ini dengan mempekerjakan staf peneliti tetap. Namun, hal ini tidak terlalu berdampak pada perbaikan kualitas (dan kuantitas) penelitian.
Makalah ini memberikan masukan komprehensif untuk studi lanjut yang mendiagnosa hambatan penelitian di perguruan tinggi di Indonesia dan mengidentifiasi upaya-upaya untuk mengatasi kendala tersebut. Tulisan ini menelaah kajian-kajian terdahulu dan literatur terkait, dan merangkum hasil konsultasi dengan kelompok konsultatif yang difasilitasi oleh KSI.
Tabel : Kredit Kumulatif Minimum Fungsi Utama dan Pendukung Akademisi
Sumber: Peraturan Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17/2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya. Dosen didefiisikan sebagai pengajar profesional dan ilmuwan.
Satu-satunya jabatan akademik yang diakui secara resmi adalah dosen. Tidak ada spesifiasi mengenai jabatan peneliti tetap. Untuk proses analisis, kami merujuk pada kerangka strukturasi dasar (basic structuration framework) (Giddens, 1984) yang menjelaskan bagaimana struktur muncul sebagai suatu akibat (outcome), tetapi pada saat yang sama juga sebagai media (medium) dari tindakan individu. Di sini, penelitian dilihat sebagai tindakan pada tingkat individu dan struktur pada tingkat sistem.
Kerangka ini memberikan dasar konseptual untuk melihat hambatan-hambatan (dan pendorong) penelitian di perguruan tinggi pada tingkat struktural/sistem (misalnya kebijakan negara/pemerintah, struktur penelitian dan pendanaan, dukungan untuk memperdalam bidang penelitian, dll.), tingkat modalitas (misalnya aturan dan peraturan perguruan tinggi, fasilitas, pengelolaan riset, fasilitasi untuk ruang penelitian, dll.), dan pada tingkat individu (misalnya kinerja penelitian yang sedang dikerjakan, kualifiasi, kapasitas, jaringan, dll.).
Pada bagian selanjutnya, makalah ini akan menelaah kajian-kajian yang telah dan sedang dilakukan tentang berbagai hambatan penelitian di dalam sistem perguruan tinggi di Indonesia, diikuti oleh ringkasan hasil konsultasi dengan empat perguruan tinggi mitra KSI tentang desain kajian.
Pada bagian akhir disajikan masukan untuk langkah selanjutnya dalam memperbaiki aspek penting pembangunan sektor pengetahuan di Indonesia.
KAJIAN LITERATUR
Kajian yang sudah dilakukan dan sedang berjalan Pada bagian ini kami menelaah beberapa temuan kunci mengenai hambatan penelitian di perguruan tinggi di Indonesia dari kajian-kajian terbaru. Dua kajian masih berlangsung sehingga baru temuan awal yang dapat disampaikan.
Kajian yang sudah dilakukan
Kajian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi kinerja penelitian, khususnya dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia masih relatif minim. Sedikitnya jumlah ini tidak hanya memperlihatkan rendahnya minat dalam memahami riset sebagai salah satu indikator kunci kinerja di lembaga perguruan tinggi, tetapi juga menunjukkan sebuah ironi: tema penelitian di perguruan tinggi tidak menarik bagi komunitas peneliti.
Di bawah ini kami menelaah beberapa studi yang telah dilakukan mengenai topik hambatan penelitian.
Perbandingan Pengalaman Negara-negara Berpendapatan Menengah (Nielsen, 2010)
Studi ini bertujuan memberikan informasi kepada pemangku kepentingan dalam bidang penelitian di Indonesia mengenai pengalaman negara-negara berpendapatan menengah (Brazil, Meksiko, Filipina, Singapura, dan Malaysia).
Studi ini menawarkan tiga rekomendasi:
Pertama, belajar dari pengalaman lima negara yang diteliti, Indonesia perlu meningkatkan pengeluaran untuk penelitian dan pembangunan dari 0,08% menjadi 0,5%-1% PDB. Indonesia perlu menanamkan investasi lebih besar untuk pembangunan kapasitas sektor pengetahuan.
Studi ini mengemukakan argumentasi bahwa selama puluhan tahun negara-negara berpendapatan menengah telah menanamkan investasi pada sektor pengetahuan. Strategi ini terbukti mampu mendorong pembangunan sosial ekonomi bangsa tersebut. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia juga harus meningkatkan investasi dalam bidang penelitian.
Kedua, pembuat kebijakan di Indonesia tak perlu berlebihan dalam mengatur sektor pengetahuan. Dasar pemikiran dari rekomendasi ini adalah mekanisme pasar, yaitu pembangunan ekonomi didukung oleh kegiatan penelitian, baik itu dalam model ekonomi konvensional (berbasis manufaktur) atau dalam model ekonomi modern (berbasis pengetahuan). Oleh karena itu, seperti halnya di negara-negara berpendapatan menengah yang diteliti dalam studi ini, pembuat kebijakan di Indonesia tidak boleh mengatur secara berlebihan sektor pengetahuan.
Peran pemerintah haruslah dalam kerangka perancang kebijakan, peraturan, dan anggaran untuk memfasilitasi sistem penelitian yang efektif. Ketiga, kepemimpinan di tingkat pucuk sangat penting. Arahan politik yang jelas dari pemimpin di tingkat nasional mengenai pentingnya Produksi temuan dan penelitian dibutuhkan untuk menstimulasi perubahan.
Berdasarkan rekomendasi-rekomendasi tersebut, studi ini menyimpulkan bahwa pendekatan struktural akan lebih bermanfaat guna mendorong peran utama riset dalam proses pembangunan. Isu-isu yang disarankan meliputi alokasi dana riset, arahan kebijakan kepada riset, dan kepemimpinan politik yang kuat, menunjukkan faktor-faktor yang membentuk ‘struktur’, bukan faktor-faktor yang memengaruhi ‘perilaku individu’.
Hambatan Regulasi terhadap Pertumbuhan Pasar Pengetahuan (Sherlock, 2010)
Tulisan ini bertujuan untuk meneliti permintaan terhadap bukti (dari lembaga pemerintah) dan produksinya (oleh perguruan tinggi, lembaga think-tank dan organisasi nonpemerintah) di Indonesia. Tulisan ini meneliti hubungan antara kedua hal tersebut, dan peran peraturan dan perundang-undangan dalam menghambat pertumbuhan pasar yang efektif dalam sektor jasa penelitian. Kajian ini menemukan bahwa sektor pengetahuan membutuhkan hubungan dua arah yang efektif antara sisi produksi dan sisi permintaan bukti.
Dalam hal ini, pemerintah perlu membuat definisi yang jelas mengenai kebutuhan mereka dan membuat prosedur yang mudah bagi penyedia penelitian untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pada sisi permintaan, terdapat masalah struktural dalam hal kelembagaan dan regulasi sumber daya manusia. Pada satu sisi, sering kali tidak ada kolaborasi antara lembaga pemerintah untuk mengidentifiasi dan mendesain kebutuhan penelitian yang dapat mendukung proses pengambilan kebijakan pembangunan.
Pada sisi yang lain, struktur kinerja di perguruan tinggi tidak menyediakan insentif untuk dilaksanakannya riset yang bermanfaat bagi proses pengambilan kebijakan. Terdapat juga masalah, yakni regulasi membatasi produksi pengetahuan. Studi ini memperlihatkan tidak konsistennya penerapan peraturan dan proses pengadaan: prosedurnya rumit, ambigu, dan diterapkan secara berbedabeda antar unit pemerintahan. Melalui tender terbuka, proses pengadaan cenderung menyingkirkan perguruan tinggi dan organisasi non pemerintah dari pasar pengetahuan.
Berdasarkan temuan tersebut, studi ini memberikan beberapa rekomendasi: mengkritisi dampak regulasi yang mengatur pembedaan kategori pegawai (fungsional vs. struktural) terhadap kinerja penelitian; menyederhanakan prosedur pengadaan; dan memperbaiki peraturan yang mendiskualifiasi perguruan tinggi dan organisasi nonpemerintah dari kegiatan riset yang diselenggarakan pemerintah. Sebab, hal ini mungkin akar dari ketegangan antara lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah.
Rekomendasi lain adalah menilai dan mendesain ulang peran Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan lembaga penelitian lain; memberikan dukungan kepada unit-unit pemerintah yang secara khusus membidangi masalah teknis dan kebijakan; mengembangkan pelatihan tentang prosedur pengadaan kepada pegawai pemerintah; mendukung perumusan dan penerapan undang-undang pengadaan yang baru; dan memfasilitasi partisipasi organisasi masyarakat sipil, pemangku kepentingan, dan masyarakat umum dalam proses kebijakan.
Seperti halnya Nielsen, Sherlock menekankan pentingnya faktor-faktor struktural di atas faktor-faktor individual dalam memengaruhi kinerja penelitian. Perbedaan studi ini dengan sebelumnya adalah studi yang dilakukan oleh Sherlock menyentuh aspek modalitas, yaitu pemberdayaan kapasitas lembaga riset, peran pegawai pemerintah dalam meninjau dan membuat rancangan prosedur, dan peran masyarakat sipil. Studi ini mengakui bahwa reformasi struktural membutuhkan ‘massa yang kritis’ (critical mass) pada tingkat individu, yang hanya bisa dicapai melalui fasilitasi atau peningkatan modalitas.
Tinjauan Bantuan Pembangunan Kapasitas Ilmu Sosial pada Sektor Pengetahuan di Indonesia (McCarthy dan Ibrahim, 2010)
Tujuan studi ini adalah untuk mengidentifiasi faktor-faktor utama yang membatasi perkembangan penelitian sosial kualitatif di Indonesia. Di antara sejumlah temuan, pertama, perguruan tinggi tidak mengembangkan kerangka pendanaan dan kebijakan untuk mendukung penelitian sosial berkualitas tinggi.
Tidak ada insentif untuk memproduksi penelitian sendiri, yang berakibat pada ‘budaya’ di antara akademisi, dengan mencari pekerjaan sampingan di luar lingkungan akademik. Remunerasi yang sangat rendah dalam sektor akademik menyebabkan peneliti dan dosen bekerja di luar sektor penelitian, sebagai konsultan – memberikan jasa penasihat pada lembaga donor dan pemerintah – atau bahkan pindah pekerjaan ke sektor lain seperti pemerintahan atau swasta.
Kedua, pendekatan yang telah dilakukan lembaga donor dalam membantu menumbuhkan sektor penelitian tidak memberikan dampak signifian. Pendekatan-pendekatan tersebut termasuk mendukung perguruan tinggi dalam melakukan proyek penelitian di dalam negeri; perpindahan sementara staf antar unit kerja atau lembaga; mendukung pengembangan infrastruktur, pelatihan, dan pendidikan pascasarjana; dan membantu pusat studi independen untuk mendapatkan dana operasional dan penelitian.
Ketiga, studi ini menunjukkan bahwa sebagian besar upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan penelitian di perguruan tinggi tidak menyelesaikan persoalan terbesarnya, yaitu persoalan organisasi dan struktur di sektor pengetahuan (mungkin seperti fenomena ‘elephant in the room’ – persoalan nyata yang tak perlu didiskusikan lagi).
Persoalan terbesar ini diklasifiasikan sebagai persoalan mendasar dalam hal lingkungan pendukung penelitian, seperti ekonomi nasional dan kebijakan serta struktur perundang-undangan; budaya pendidikan yang tidak menekankan kualitas penelitian; kurangnya pendanaan hibah inti jangka panjang untuk lembaga penelitian; kurangnya permintaan untuk penelitian jangka panjang yang mengutamakan hasil (outcome); insentif untuk organisasi yang memberikan jasa konsultasi; sulitnya meningkatkan kapasitas kelembagaan penelitian dengan dana dan administrasi yang terbatas; dan kurangnya insentif karier untuk membuat penelitian mengenai kebijakan.
Terakhir, studi ini mengidentifiasi persoalan mendasar pada tingkat struktural (makro) dan tingkat modalitas (meso, diistilahkan sebagai ‘lingkungan pendukung’), tetapi tidak terlalu memberikan perhatian pada tingkatan peneliti (mikro). Walaupun semua masalah pada tingkat makro dan mikro telah diselesaikan, keberhasilan penelitian di tingkat individu tergantung juga pada seberapa besar motivasi dan perasaan ‘aman’ individu dalam bekerja di sektor pengetahuan.
Tinjauan Sektor Pengetahuan di Indonesia (Karetji, 2010)
Studi ini memberikan tinjauan luas terhadap tataran kelembagaan, kebijakan, dan karakteristik sektor pengetahuan di Indonesia. Studi ini menemukan tidak proporsionalnya anggaran dana penelitian untuk ilmu sosial.
Dalam anggaran riset nasional, alokasi belanja penelitian dibagi untuk tujuh sektor prioritas yang lebih menekankan aspek pengetahuan teknologi dan teknis. Studi ini mengidentifiasi bahwa pada ‘sisi penawaran’ atau sisi produksi pengetahuan, sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia tidak mempunyai jalur karier yang jelas untuk para penelitinya: kebanyakan akademisi direkrut secara internal, tanpa disertai transparansi prosedur perekrutan, sementara pusat studi didirikan tanpa peta jalan (roadmap) yang jelas. Pusat studi-pusat studi ini berdiri hanya berdasarkan minat individu sehingga mereka harus berjuang mencari dana penelitian sendiri.
Walaupun kurang pendanaan untuk melakukan penelitian, sebagian besar organisasi yang memproduksi pengetahuan telah cukup lama menerima bantuan dana untuk pengembangan kapasitas dari berbagai sumber. Namun demikian, keterampilan manajerial pusat studi-pusat studi tersebut masih lemah. Hal ini membatasi kemampuan mereka untuk melakukan penelitian yang berkualitas.
Sesungguhnya, ada peningkatan jumlah sumber daya manusia (termasuk peneliti) di perguruan tinggi untuk melakukan kegiatan penelitian karena tersedianya beragam keahlian dengan kualifiasi akademik yang tinggi.
Lembaga-lembaga tersebut perlu melakukan evaluasi terhadap cara mereka mengelola pendapatan dan melakukan investasi modal, khususnya investasi pada pelatihan staf dan pembangunan kapasitas organisasional. Investasi dalam infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi sangat penting untuk meningkatkan kapasitas organisasi penelitian, dan juga investasi dalam menjalin kemitraan (seperti kemitraan antara perguruan tinggi negeri dan swasta) yang akan memperkuat kapasitas organisasional lembaga-lembaga terkait.
Pengembangan kapasitas dalam organisasi penelitian harus mengatasi masalah seperti kurangnya sistem pengembangan pengetahuan kolektif dari penelitian yang dilakukan individu. Dalam proses pengembangan kapasitas dan manajemen penelitian, program penelitian harus dimonitor dan dievaluasi untuk menghindari bias individu.
Pada sisi permintaan, studi ini mengonfimasikan adanya permasalahan kesenjangan antara penelitian dan kebijakan: peran sektor pengetahuan dalam memengaruhi pengambil kebijakan tergantung pada seberapa penting sektor ini dipandang mampu mendukung kepentingan pengambil kebijakan dan birokrat di tingkat tinggi dalam mempertahankan kekuasaan dan akses kepada sumber daya.
Oleh karena itu, lembaga penelitian tidak bisa selalu mengandalkan sisi permintaan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Lembaga penelitian harus mengembangkan keterampilan agar dapat menjual jasa dan memperoleh pendapatan yang dapat diandalkan.
Studi Awal Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (Brodjonegoro dan Greene, 2012)
Selain empat studi yang mengkaji isu-isu struktural, kapasitas, dan peraturan, sebuah studi yang baru-baru ini dipublikasikan secara khusus meneliti dan menawarkan solusi terhadap permasalahan pendanaan. Studi ini dilakukan oleh AIPI dan didanai oleh World Bank dan AusAID (sekarang DFAT), dan menyajikan bukti bahwa jumlah publikasi dan paten di Indonesia rendah.
Para ilmuwan meyakini bahwa penyebab masalah ini adalah sulitnya mendapatkan bantuan proyek penelitian dan sistem penganggaran serta pelaporan yang kaku. Oleh sebab itu, produktivitas peneliti Indonesia lebih rendah dibanding peneliti di negara-negara lain, dilihat dari per dolar dana penelitian yang diinvestasikan. Akibatnya, dalam kelompok negara dengan kategori yang sama (dalam hal ukuran dan kekayaan), Indonesia mempunyai produktivitas sains dan teknologi nasional terendah.
Akar masalahnya, menurut studi ini, Indonesia tidak mempunyai infrastruktur pendanaan yang mendukung perkembangan sains dan teknologi. Indonesia juga tidak memiliki infrastruktur pendanaan terkait alokasi dana dan pengeluaran untuk para peneliti, penyediaan fasilitas penelitian, atau sistem penganggaran negara yang lentur, yang sesuai kegiatan penelitian.
Jumlah investasi di Indonesia untuk kegiatan penelitian dan pengembangan kurang dari 0,1% dari PDB, jumlah yang sangat kecil dan hampir tidak kentara disajikan dalam bagan resmi.
Kajian ini meyakini bahwa masalah ini dapat diatasi secara sistematis dengan membentuk Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dialokasikan secara kompetitif kepada para ilmuwan dan insinyur untuk melakukan penelitian kelas dunia. Hal ini dapat mengatasi persoalan peningkatan produktivitas, terlebih dengan disyaratkannya dukungan kelembagaan untuk mendapatkan dana tersebut.
Secara khusus, studi ini merekomendasikan pembentukan Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) sebagai berikut:
Dibentuk di bawah pengawasan AIPI karena statusnya otonom.
Penyederhanaan regulasi dalam mengakses dana penelitian, terutama dana yang berasal dari swasta dan dana nonpemerintah. Regulasi harus memungkinkan penggunaan dana terlepas dari proses anggaran tahunan, terutama untuk kasus proyek yang bersifat tahun jamak.
Penghapusan perbedaan antara jalur karier penelitian dan administrasi, dan memastikan pemberian gaji dan tunjangan yang sama untuk keduanya.
Membolehkan institusi penerima hibah DIPI, baik perguruan tinggi atau lembaga penelitian non-kementerian (LPNK), menerima dana tambahan untuk menutup biaya tidak langsung yang timbul dalam proses penelitian, tanpa mengurangi jumlah yang diterimanya.
KAJIAN YANG SEDANG BERJALAN
Ada dua studi yang berlangsung yang meneliti kendala penelitian di perguruan tinggi. Berikut adalah ringkasan dari kedua studi tersebut.
Studi yang Didanai oleh Global Development Network tentang ‘Reformasi Penelitian di Indonesia’
Studi Reformasi Penelitian di Indonesia: Kebijakan dan Praktik didanai oleh Global Development Network (GDN) dan dilaksanakan oleh Perguruan tinggi Indonesia dan CIPG (setelah ini kami istilahkan ‘studi GDN’).
Studi ini fokus pada bidang ilmu sosial dan meneliti faktorfaktor yang menghambat penelitian pada tingkat makro, meso, dan mikro. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, studi ini mengkaji tujuh studi kasus, dua di antaranya dilakukan di Papua dan Aceh.
Beberapa isu yang akan dibahas dalam studi kasus ini adalah:
Apakah ada pengaruh kebijakan yang berbeda dari penelitian dasar, terapan, dan kebijakan;
Mengapa hanya sedikit orang/akademisi di lingkungan perguruan tinggi yang berminat menjadi peneliti dibanding menjadi dosen, atau setidaknya minat untuk meningkatkan fokus penelitian;
Apakah otonomi kampus diikuti oleh otonomi akademisi dan otonomi birokrasi.
Walaupun studi ini masih dalam tahap awal, studi GDN tampaknya sejalan dengan upaya KSI dalam mengidentifiasi dan mengatasi hambatan-hambatan penelitian di perguruan tinggi.
Fokus studi pada tingkat struktural menganjurkan KSI untuk mengarahkan perhatian pada tingkat meso dan/atau mikro untuk meneliti dinamika penelitian dan dampaknya pada lembaga dan individu peneliti.
Pada tingkat makro, fokus studi adalah pada fasilitas dan modalitas. Dalam sistem perguruan tinggi, kedua hal ini adalah media yang membentuk kegiatan penelitian yang dilakukan oleh pusat studi atau individu (dan demikian pula dalam sistem penelitian nasional, fasilitas dan modalitas adalah hal yang membentuk penelitian di perguruan tinggi, yaitu dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang mengatur kegiatan penelitian).
Pada tingkat mikro, fokus penelitian adalah pada cara bagaimana penelitian sebagai sebuah ‘kegiatan’ dilakukan secara rutin oleh individu peneliti. Di sini, istilah ‘memperdalam bidang penelitian’ dan ‘memperluas ruang penelitian’ (akan didiskusikan di bagian selanjutnya) menjadi kunci untuk memahami dinamika alur penelitian, dari tingkat struktural/sistem (misalnya kebijakan) sampai organisasi dan manajemen penelitian pada tingkat meso (misalnya perguruan tinggi atau pusat studi), dan bagaimana semua hal ini berdampak pada kinerja individu peneliti.
Buku Putih Pendidikan Tinggi yang Didanai oleh KSI (Oey-Gardiner, 2015-2016)
Studi kedua yang sedang berlangsung meneliti pertentangan antara penelitian monodisiplin versus multidisiplin. Kompetisi global yang semakin ketat menuntut peneliti untuk mempunyai dasar pengetahuan yang luas.
Hal ini dapat dicapai dengan lebih baik melalui perguruan tinggi yang bersifat interdisipliner. Lembaga pendidikan tinggi di negara maju mengakui bahwa untuk menumbuhkan dan mengembangkan inovasi kreatif, pengetahuan peneliti yang sudah terlanjur terspesialisasi perlu diperluas.
Di Indonesia, saat ini kebijakan publik didasarkan pada prinsip ‘linieritas’, mempersempit pengalaman pendidika seseorang untuk lebih terspesialisasi.
Kebijakan ini dinilai kontradiktif dengan tuntutan perkembangan pasar global. Anggota AIPI mengakui bahwa tren global sekarang justru menuju wacana dan perkembangan ilmu pengetahuan yang bersifat inter-transmultidisipliner. Indonesia harus mengadopsi perkembangan ini jika ingin bersaing di dunia global.
Studi yang dilakukan AIPI bermaksud menilai posisi akademisi dalam isu pertentangan pendekatan monodisiplin versus multi-intertransdisipliner dalam proses pengembangan pengetahuan dan inovasi. Untuk mengumpulkan data terkait, AIPI akan melakukan serangkaian kunjungan konsultasi ke tujuh perguruan tinggi di Indonesia, menyelenggarakan seminar, dan pertemuan konsolidasi. Studi ini akan menghasilkan sebuah laporan tentang kesempatan melakukan studi interdisipliner di perguruan tinggi di Indonesia. Studi diharapkan selesai pada akhir 2016.
RINGKASAN KAJIAN LITERATUR
Ikhtisar studi tentang lingkungan penelitian di Indonesia tersebut telah melihat semua tingkatan yang terlibat di dalam permintaan akan dan produksi pengetahuan. Namun, yang masih belum terjawab adalah interaksi rinci antara sisi permintaan dan persediaan, dan mekanisme yang digunakan bagi berbagai tingkatan untuk saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain.
Kami sangat yakin bahwa mekanisme generatif dari hubungan-hubungan inilah yang akan menjelaskan karakteristik hambatan (atau pendorong) kinerja penelitian di Indonesia, terutama di suatu perguruan tinggi. Memahami mekanisme generatif dalam hubungan tersebut dapat pula mengarah ke beberapa solusi.
Seringkali kebutuhan untuk tujuan penelitian untuk kebijakan tertentu tidak dikomunikasikan maupun didefiisikan dengan benar. Ini bisa terjadi karena kebutuhan itu sendiri tidak dirumuskan dengan baik oleh pembuat kebijakan. Kebijakan membutuhkan penelitian karena beberapa alasan. Di antaranya yang paling mendasar adalah untuk mendukung suatu keputusan yang sah.
Di sinilah persoalan pokok dari sisi permintaan – kebijakan atau keputusan politik sebagian besar diambil sebelum adanya penelitian. Ini berarti permintaan akan penelitian datang setelah diambilnya keputusan politik terhadap kebijakan tertentu. Oleh karena itu, tujuannya adalah untuk memberikan legitimasi, atau dalam beberapa kasus, untuk menyempurnakan keputusan (politik/kebijakan) yang telah dibuat sebelumnya. Agar dianggap sah, kebijakan haruslah didukung oleh penelitian yang kuat dan konklusif.
Seharusnya penelitianlah yang mendorong kebijakan. Ranah proses pembuatan kebijakan bahkan mengindikasikan bahwa kenyataannya justru sebaliknya: keputusan politiklah yang mendorong kebijakan, lalu penelitian dibutuhkan untuk memberikan legitimasi. Tantangan bagi peneliti adalah mendapatkan bukti terkait isu-isu yang relevan sebelum proses pembuatan keputusan.
Ini berarti mengantisipasi isu sebelum pembuat kebijakan mengetahuinya. Sisi pasokan, atau produksi, pengetahuan di sektor pengetahuan memiliki agenda penelitiannya sendiri. Agenda ini kemungkinan didorong oleh pemahaman konseptual atau kemajuan reflksi teori dan akademik.
Namun seringkali kemajuan teoritis yang mendorong penelitian terputus dari aktualitas (dan faktualitas) yang mendorong kebijakan. Hal yang paling mencemaskan peneliti dan akademisi (baik dalam ilmu-ilmu alam maupun sosial) adalah kemajuan pemikiran/pemahaman teori atau konsep, bukan dinamika aktual dari konteks sosial dimana mereka bekerja – dan yang menjadi sasaran kebijakan.
Kesimpulannya, komunitas penelitian (termasuk perguruan tinggi atau pusat penelitian) menciptakan agenda penelitian mereka sendiri meski tidak berhubungan dengan kebutuhan kebijakan. Kedua hal tersebut tidak saling berkomunikasi; keduanya tidak saling berkaitan; keduanya tidak saling terhubung. Memang hubungan antara kebijakan (permintaan) dan penelitian (penawaran) adalah tidak mengikuti premis atau non sequitur.
KONSULTASI DENGAN KELOMPOK KONSULTATIF
Sebagai bagian dari usaha mengatasi hambatan penelitian di perguruan tinggi, KSI mengambil inisiatif untuk membentuk sebuah kelompok konsultatif yang terdiri dari empat pusatstudi perguruan tinggi mitra. Tiga diskusi kelompok terfokus telah dilakukan (15 Desember 2014, 12 Januari 2015 dan 25 Februari 2015), bersama dengan konsultasi individual, sebagai bagian dari upaya komprehensif untuk mengeksplorasi dan memperdalam pemahaman tentang topik yang dikaji, dan membangun kepedulian mitra terhadap permasalahan tersebut.
Kajian literatur dan diskusi-diskusi menghasilkan beberapa gagasan mengenai hambatan penelitian di perguruan tinggi. Hambatanhambatan ini teridentifiasi dan ditemukan pada konteks dan tingkatan yang berbeda-beda (dari tingkat struktural sampai individual), walaupun perbedaan karakter dan tipologi pusat studi memengaruhi bagaimana permasalahan tersebut terwujud. Isu-isu utama yang dipandang dapat mengurangi atau menghapus kendala penelitian di perguruan tinggi disepakati sebagai berikut:
Kesesuaian
Maksud dari kesesuaian adalah harmonisasi dan sinkronisasi kegiatan penelitian, peneliti, dan konteks organisasional.
Kegiatan penelitian dan pengajaran bukanlah hal yang bertolak belakang; sebaliknya, kedua hal tersebut saling memperkaya. Pengajaran yang berkualitas akan membawa pada penelitian yang berkualitas, begitu pula sebaliknya. Terjadinya ‘saling sandera’ (mutual hostage) antara penelitian dan pengajaran (yakni alokasi waktu pengajaran berkurang karena penelitian, dan waktu untuk kegiatan penelitian habis untuk pengajaran) adalah salah satu isu utama dan mendesak yang harus segera diselesaikan.
Perguruan tinggi dan pusat studinya harus ‘diharmonisasi’ – realisasi visi dan misi pusat studi harus sejalan dengan visi dan misi perguruan tinggi. Pusat studi dapat menyediakan penelitian mendalam yang relevan untuk proses pengajaran, sementara perguruan tinggi menjadi rumah tempat proses pengajaran berbasis penelitian. Kedua hal tersebut memerlukan pengembangan kapasitas dalam pengelolaan, dan yang lebih penting, penyeimbangan beban kerja.
Masalah struktural lain terkait dengan isu kesesuaian adalah dualisme dalam kualifiasi dan ranking jabatan profesor. Saat ini ada dua skema jabatan profesor, yaitu profesor peneliti dan profesor pengajar. Profesor pengajar lebih diterima luas dan dipandang lebih memiliki legitimasi. Jabatan profesor peneliti diberikan oleh LIPI, sementara profesor akademik diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dengan skema kredit. Kedua skema ini perlu direkonsiliasi agar jenjang akademik, baik penelitian maupun pengajaran, menuju kepada jabatan profesor yang sama.
Pendanaan Penelitian.
Walaupun sudah banyak diketahui bahwa ketersediaan dana adalah hal yang krusial bagi penelitian, masalah pendanaan riset masih belum terselesaikan: dana penelitian terbatas dan kalaupun tersedia sulit diakses oleh peneliti. Pendanaan penelitian masih dianggap sebagai beban ekonomi untuk investasi.
Di tingkat perguruan tinggi, tidak ada sistem penilaian terhadap dampak atau hasil penelitian untuk menilai kualitas penelitian atau dampak akademik dan sosioekonomi penelitian tersebut. Oleh karena itu, walaupun konsep ‘skala ekonomi’ diterapkan, perhitungannya sulit dilakukan. Dana untuk satu proyek penelitian biasa di perguruan tinggi saat ini berkisar Rp 150 juta dan dilaksanakan dalam periode satu tahun fikal. Jangka waktu yang pendek dan dana yang terbatas sering kali menyebabkan tak adanya hasil yang berarti dari kegiatan penelitian selain hanya sebuah laporan.
Tidak ada kegiatan lanjutan menerbitkan artikel jurnal atau pembekalan akademik, atau menulis artikel populer dan diseminasi publik. Dua tahun terakhir, alokasi dana penelitian dalam APBN menunjukkan peningkatan, walaupun jumlahnya tidak terlalu signifian. Alokasi dana penelitian yang bersumber dari internal perguruan tinggi sangat sulit bahkan mustahil diperoleh, karena perguruan tinggi lebih mengutamakan kegiatan pengajaran. Karakteristik kebanyakan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia – jika bukan semuanya – adalah sebagai ‘perguruan tinggi pengajaran’, bukan ‘perguruan tinggi riset’.
Agenda/Prioritas Riset
DRN telah mempublikasikan sebuah dokumen strategis yaitu ‘Agenda Riset Nasional’ atau ARN. Agenda riset ini bertujuan untuk memberikan rujukan tentang riset-riset yang mendukung proses kebijakan. Namun demikian, peneliti, perguruan tinggi, dan pemberi dana tidak pernah memberikan perhatian serius terhadap dokumen tersebut. Hal ini tercermin pada sedikitnya rujukan terhadap dokumen tersebut dari perspektif kebijakan. Sebabnya, bisa jadi fokus area yang dicakup dalam dokumen tersebut (27 area fokus) terlalu luas, sehingga sulit menyebut dokumen ini sebagai sebuah agenda penelitian. ARN gagal menjawab persoalan dasar dari pertanyaan, bagaimana dan sejauh mana penelitian dapat memberikan kontribusi terhadap pembuatan kebijakan berbasis bukti.
ARN tidak memberikan infomasi mengenai agenda riset perguruan tinggi dan pusat studi perguruan tinggi. Pada satu sisi, hal ini menunjukkan betapa sedikitnya pengaruh atau inspirasi ARN (dan DRN) terhadap arah dan pengelolaan riset perguruan tinggi. Pada sisi lain, hal tersebut memutus arahan kegiatan riset dan pengembangan kapasitas penelitian antara perencana di tingkat nasional dan perguruan tinggi. ARN harus digunakan sebagai alat untuk mengoordinasikan kegiatan riest yang dilaksanakan oleh lembaga kementerian, LPNK, dan perguruan tinggi.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah rujukan resmi dan panduan bagi kementerian dan pemerintah daerah untuk merumuskan kebijakan dan rencana pembangunan, walaupun terkadang mereka melenceng dari apa yang tertuang dalam RPJMN. Pesan kunci yang ingin disampaikan di sini adalah RPJMN sebagai dokumen rujukan bagi perumusan kebijakan sesungguhnya dapat juga dengan mudah diterjemahkan menjadi defiisi kebutuhan riset pada tingkat nasional dan kementerian, tetapi ini jarang terjadi.
Secara khusus mengenai riset, RPJMN 2015- 2019 telah mencantumkan prioritas agenda pengembangan sains dan teknologi yaitu meningkatkan produktivitas dan daya saing di pasar internasional melalui peningkatan bidang sains, teknologi, dan inovasi. Prioritas tersebut adalah meningkatkan hasil penelitian, pembangunan, dan penerapan sains dan teknologi; meningkatkan daya saing produksi barang dan jasa; mendukung keberlanjutan penggunaan sumber daya alam dan perubahan gaya hidup; mendukung kegiatan sains dan teknologi, termasuk penyediaan sumber daya manusia, infrastruktur, kelembagaan, dan jaringan;serta pencapaian target pembangunan fiik, yaitu membangun 100 techno-parks di tingkat kota dan satu taman sains di tiap provinsi.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mempunyai agenda risetnya sendiri yang bersifat sektoral dan diformulasikan dari bawah ke atas (seperti halnya perumusan RPJMN). Agenda tersebut dibangun dari konsolidasi agenda riset yang diajukan oleh kementerian dan didiskusikan dengan unit-unit kerja di lingkungan Bappenas. Proses ini dimaksudkan untuk menjamin koordinasi lintas kementerian. Namun demikian, direktorat Iptek di Bappenas hanya berkoordinasi dengan LPNK dan Kementerian Riset dan Teknologi. Ada kekhawatiran bahwa dengan dimasukkannya sains dan teknologi dalam UU Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 akan (dan sudah) terjadi keterputusan antara Kebijakan Strategi Pembangunan Nasional (Jakstranas) tentang sains dan teknologi dengan ARN yang dikeluarkan oleh DRN.
Sumber Daya Manusia untuk Riset dan ‘Karier’ Penelitian
Ironisnya, walaupun pelatihan tentang kegiatan penelitian meningkat, jumlah peneliti penuh waktu yang berkualitas di setiap disiplin ilmu sangat terbatas. Hal ini berlaku juga di kalangan peneliti pemula, yang mungkin karena karier seorang peneliti seringkali dipandang kurang menarik bukan saja dari segi keamanan kerja (jenjang karier yang tidak jelas), tapi juga dalam hal pendapatan. Sangat jarang ditemukan peneliti penuh waktu di sebuah perguruan tinggi kecuali peneliti tersebut orang yang sudah sangat terkenal, dan barangkali itu pun karena peneliti tersebut bekerja penuh waktu hanya dalam jangka waktu tertentu untuk proyek penelitian khusus. Isu yang lebih besar adalah kurangnya prioritas untuk kegiatan penelitian. Beban pengajaran yang tinggi membuat penelitian yang serius mustahil dilakukan. Selain itu, struktur penggajian membatasi penggunaan waktu untuk pelaksanaan penelitian yang serius (sering kali dengan dana minim).
Di perguruan tinggi di negara maju, gaji akademisi cukup untuk biaya hidup, dan waktu untuk kegiatan mengajar lebih sedikit dibanding dengan di Indonesia. Selain itu, dana riset dapat digunakan untuk mengompensasi sebagian waktu mengajar. Publikasi untuk promosi jabatan menjadi ukuran yang penting, tapi ada pembedaan antara penerbitan berbayar (vanity publishing), penerbitan artikel di jurnal yang diterbitkan oleh internal perguruan tinggi, dan penerbitan peer-reviewed, baik di tingkat domestik maupun internasional.
Dalam konteks perguruan tinggi, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kualifiasi untuk akademisi yang mengajar sering kali lebih rendah dibanding akademisi yang melakukan riset – apalagi jika publikasi diperhitungkan. Bagi akademisi, lebih mudah bekerja mendapatkan gaji dari kegiatan mengajar dan ditopang pekerjaan sebagai konsultan, dibanding mencari dana hibah penelitian.
Dalam beberapa kasus, peneliti profesional dari luar perguruan tinggi direkrut oleh rektor untuk ditempatkan di pusat studi. Sangat sedikit dari mereka melanjutkan meniti karier dalam sistem perguruan tinggi tersebut. Yang paling mengkhawatirkan adalah tidak adanya jenjang karier yang jelas bagi peneliti. Hal ini menimbulkan keraguan di antara akademisi junior yang baru meniti karier di perguruan tinggi untuk terjun sebagai peneliti. Ketidakjelasan ini tidak hanya terjadi pada jenjang karier seorang peneliti menuju jabatan profesor, tetapi juga mengenai arahan karier peneliti dalam kebijakan nasional dan peraturan perguruan tinggi. Hanya ketika peneliti tidak dipandang sebagai ‘kelas dua’, minat menjadi peneliti sebagai pilihan karier akan tumbuh.
Remunerasi Peneliti dan Sistem Insentif
Gaji atau remunerasi peneliti dalam sektor pengetahuan tidak semenarik gaji di sektor lain. Peneliti dipandang sebagai profesi yang kurang populer dan mempunyai reputasi sosial yang kurang mentereng. Untuk peneliti yang serius, sering kali lembaga tempat mereka bekerja (perguruan tinggi, atau pusat studi di perguruan tinggi, atau lembaga think-tank independen) mempunyai fasilitas penelitian yang minim.
Bagi peneliti, gairah mendapatkan hibah penelitian (dari pemerintah atau dari internal perguruan tinggi) dan kesempatan memperoleh tambahan gaji serta kesempatan melakukan penelitian, sering kali tergerus oleh desain pengawasan dan evaluasi penelitian yang buruk. Beban tugas-tugas administratif menumpuk dan, yang lebih parah, sistem pengawasan dan evaluasi memperlakukan kegiatan penelitian sama seperti kegiatan lain. Akibatnya, peneliti dibebani oleh tugas administratif pelaporan yang tidak perlu (yang sering kali tidak sejalan dengan tahapan penelitian, atau bahkan mengganggu kegiatan penelitian itu sendiri), dan bukannya memusatkan perhatian pada upaya menghasilkan penelitian yang berkualitas.
Tidak ada standar sistem insentif untuk peneliti di perguruan tinggi. Beberapa perguruan tinggi akan memberikan insentif fiansial (dan sosial) kepada peneliti yang berhasil menerbitkan artikel di jurnal peer-reviewed (biasanya jurnal internasional). Walaupun peneliti dapat mengajukan hibah publikasi untuk menulis artikel jurnal dari pemerintah (seperti Dirjen Pendidikan Tinggi), proses tersebut sangat lambat. Bantuan fiansial perguruan tinggi kepada peneliti untuk membuat publikasi internasional lebih rendah dari bantuan pemerintah.
Motivasi utama untuk menjadi akademisi di Indonesia sering kali untuk meningkatkan status sosial, yaitu menjadi dosen sehingga mempunyai otonomi lebih besar terhadap waktu yang bisa digunakan untuk melakukan pekerjaan sampingan lain. Jarang ada alasan ilmiah yang mendorong mereka menjadi peneliti yang baik.
Pasal 89 UU Nomor 12/2012 tentang Perguruan Tinggi menyatakan bahwa sekitar 30% dari BOPTN dapat dialokasikan untuk kegiatan penelitian selain PNBP dari perguruan tinggi yang mencapai Rp 300-400 miliar. 9 Walaupun aturan ini sudah berlaku selama beberapa waktu, realisasi dana ini dalam membangun penelitian di perguruan tinggi belum efektif.
Sistem Kredit ‘Kum’
Sistem kredit nasional yang mengutamakan angka kredit kumulatif, atau jamak disebut ‘kum’, yang telah diterapkan sejak 1990 adalah faktor struktural yang menentukan kemajuan karier seseorang di perguruan tinggi. Sistem kredit adalah alat penilaian akademik. Sistem penggajian terkait erat dengan sistem kredit ini, yang sayangnya tidak dapat mendorong pencapaian hasil penelitian yang berkualitas. Sebagai contoh, besarnya angka kredit yang diberikan kepada penerbitan artikel di jurnal nasional dan internasional tidak sesuai dengan sulitnya upaya yang dikerahkan untuk menerbitkan artikel tersebut. Sistem kredit juga mencerminkan pendekatan kaku yang kontraproduktif dalam mendorong riset yang berkualitas (misalnya, kehadiran dalam seminar, makalah konferensi/simposium, dll.). Oleh karena itu, reformasi sistem kenaikan jabatan dan perbaikan kualitas penelitian perguruan tinggi mutlak diperlukan.
Kum berlaku sebagai rujukan sistem remunerasi dan penggajian di perguruan tinggi yang bersifat nasional. Namun demikian, sistem verifiasi kum sangat rumit dan keseluruhan pendekatan basis datanya perlu direformasi. Sistem kum didesain tidak berdasarkan asas kepercayaan. Contohnya, penggunaan dokumen elektronik (misalnya ijazah yang dipindai, formulir-formulir administratif, dll.) harus mulai diterapkan, begitu pula sistem daring untuk pelaporan dan verifiasi. Hal ini tidak hanya akan mempermudah proses administrasi bagi para akademisi, tetapi juga untuk sistem administrasi pemerintah.
Skema Publikasi dan Riset untuk Kebijakan
Ada beberapa keluaran yang dapat dihasilkan dari suatu penelitian: laporan penelitian, artikel akademik (kertas kerja, artikel jurnal, makalah seminar, bab dalam buku), artikel populer (dalam majalah, koran), liputan berita (wawancara, profi, berita), dan makalah kebijakan (makalah pembekalan, risalah kebijakan). Jika strategi yang tepat diterapkan, target keluaran penelitian dapat dicapai dan penelitian dapat memberikan dampak. Namun demikian, tidak banyak peneliti mampu menerapkan strategi ini, atau lebih tepatnya, tidak banyak proyek riset yang didesain dengan pendekatan yang strategis untuk menciptakan dampak.
Skema sertifiasi dosen (mulai berlaku 2008) mencakup insentif fiansial untuk publikasi akademik di jurnal terakreditasi, selain kegiatan pengajaran dan penelitian. Hal ini bermanfaat untuk mendorong penelitian yang berkualitas, tapi hasilnya tidak sebesar yang diharapkan.
Skema publikasi perguruan tinggi secara keseluruhan perlu ditinjau ulang. Hampir semua departemen dan fakultas mengelola jurnal. Akibatnya, perguruan tinggi di Indonesia mempunyai jumlah jurnal internal tertinggi. Walaupun dipandang sebagai cara yang bagus untuk meningkatkan publikasi ilmiah dalam hal kuantitas (dan angka kum), hal tersebut tidak cukup mampu meningkatkan jumlah publikasi di jurnal internasional peerreviewed. Sistem kum memberi bobot lebih banyak kepada publikasi di jurnal nasional dibanding jurnal internasional, sehingga akademisi dan peneliti lebih memilih menerbitkan artikel di jurnal nasional yang dikelola oleh perguruan tingginya sendiri atau bahkan oleh departemen atau fakultas mereka sendiri karena lebih mudah. Dalam jangka panjang, pendekatan ini tidak akan bermanfaat jika peneliti Indonesia harus bersaing dengan peneliti dari negara lain di tingkat internasional. Ini adalah saat yang tepat untuk memikirkan indikator dan angka kredit yang sesuai untuk penilaian kenaikan jabatan: untuk mendekatkan riset pada proses kebijakan, sebaiknya bukan hanya publikasi di jurnal internasional peerreviewed yang diberi angka kredit, tapi juga hasilnya yang relevan dengan kebijakan, misalnya kertas kebijakan.
Ada dua masalah terkait penginformasian kebijakan. Pertama, kebutuhan dari sisi kebijakan tidak dikomunikasikan dengan baik kepada komunitas peneliti –atau jika dikomunikasikan, komunitas peneliti tidak menerima informasi tersebut dengan baik. Akibatnya, jarang sekali hasil penelitian digunakan secara efektif untuk membantu pembuatan keputusan atau kebijakan. Kedua, dan mungkin yang paling mendasar, pembuatan kebijakan didominasi oleh ranah politik, sementara penelitian berada pada ranah intelektual. Kedua ranah tersebut saling berjauhan bahkan terpisah. Hal ini bukan berarti dunia politik tidak intelek atau sebaliknya, tapi bahwa kebijakan sering kali diputuskan secara politis (melalui lobi, negosiasi, dll.), sementara riset bekerja dalam proses intelektual (membaca, bereflksi, berpikir, dll.). Perlu dipikirkan cara agar riset dapat memengaruhi pembuat kebijakan dan proses pembuatan kebijakan.
Ada kebutuhan mendesak untuk mendekatkan riset pada proses pembuatan kebijakan. Proses pembuatan kebijakan perlu didukung oleh data dan bukti; sementara agenda riset perlu diberi masukan oleh kebutuhan kebijakan. Memang tidak mudah (atau praktis) bagi pembuat kebijakan untuk mendekati komunitas peneliti secara langsung, mungkin lebih praktis jika komunitas penelitilah yang melibatkan diri dalam proses kebijakan.
Manajemen Riset
Isu lain yang digarisbawahi oleh kelompok konsultatif adalah manajemen riset. Pada tingkatan operasional, dibutuhkan staf yang berdedikasi untuk mengelola pelaksanaan riset, khususnya untuk mengelola agenda penelitian, alokasi sumber daya (staf peneliti, pendanaan, jaringan, dll.), menyiapkan aspek teknis administrasi penelitian (formulir, pelaporan), menghubungi donor potensial/sponsor untuk mendapat dana penelitian, dan menjamin kualitas proses dan hasil penelitian. Tugas-tugas tersebut harus dikelola bukan hanya secara efektif, tetapi juga strategis. Kuncinya adalah menjamin pusat studi mempunyai kapasitas penelitian untuk menarik manfaat dari setiap kesempatan penelitian.
Pengelolaan dimensi kapasitas penelitian versus kesempatan penelitian mungkin analogi yang tepat untuk menggambarkan pengelolaan dimensi ‘penawaran’ versus ‘permintaan’ dalam sektor pengetahuan. Penguatan kapasitas organisasional dalam pengelolaan penelitian mungkin aspek yang paling strategis dalam mendekatkan sisi penawaran kepada sisi permintaan (dan bukan sebaliknya). Hal ini di luar apa yang umumnya dipahami: mengelola riset secara profesional adalah suatu keharusan jika kita ingin menghasilkan penelitian yang berkualitas.
KESIMPULAN DAN LANGKAH KE DEPAN
Isu-isu pelaksanaan kegiatan penelitian di perguruan tinggi pada tiga tingkatan:
sistem dan struktur undang-undang, memahami beberapa kendala mendasar yang diidentifiasi dalam makalah ini membantu kerangka regulasi, dll. – yang berada di ranah negara),
modalitas (skema interpretasi, fasilitas, dll. – yang berada di ruang lingkup perguruan tinggi dan pusat studi), dan
tingkatan individu (pengembangan kapasitas, interaksi dan jaringan – yang berada pada tingkat personal).
Semua studi yang ditinjau di atas serta konsultasi dengan kelompok kerja telah membantu memberikan gambaran untuk memahami dinamika penelitian perguruan tinggi di Indonesia dan mengidentifiasi beberapa cara untuk mengatasi persoalan. Kesimpulan penelaahan ini dirangkum dalam sembilan poin kunci berikut:
1. Walaupun dikotomi antara penelitian dan pengajaran di perguruan tinggi telah banyak diketahui, regulasi pemerintah tentang staf tetap akademik di perguruan tinggi tidak mendorong peningkatan kegiatan penelitian. Profesor pengajar memperoleh penerimaan sosial dan legitimasi, sedangkan profesor peneliti tidak. Hal ini berdampak langsung pada tingkat perguruan tinggi: dosen mempunyai beban mengajar yang tinggi dan kehilangan kesempatan melakukan penelitian karena kontrak penelitian cenderung mengakibatkan berkurangnya waktu pengajaran dan bahkan, kehadiran di kampus. Hal ini mengurangi kesempatan untuk kenaikan jabatan.
2. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang baru mengalami perombakan (Kemenristekdikti – menggabungkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Kementerian Riset dan Teknologi) bertujuan, salah satunya, untuk memfasilitasi produksi penelitian. Tujuan utamanya adalah meningkatkan hasil penelitian di Indonesia, tetapi tampaknya lebih berfokus pada sains dan pengembangan teknologi. Barangkali masih terlalu awal untuk menilai hasil dari kementerian baru ini, tetapi aspek yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kementerian ini dapat mendorong penggunaan hasil penelitian dalam proses kebijakan.
3. RPJMN 2015-2019 (disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 2/2015) menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan di Indonesia tergantung pada kemampuan negara dalam memperkuat keunggulan kompetitif, khususnya sumber daya manusia yang berkualitas dan teknologi sains yang mumpuni. Namun demikian, tidak ada strategi atau peta jalan yang jelas untuk menjalankan gagasan ini dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk kegiatan penelitian.
4. UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan informasi yang rinci mengenai pengajaran dan pendidikan. UU ini memberikan perhatian yang lebih sedikit pada kegiatan riset. Sebagai contoh, menyebutkan bahwa perguruan tinggi dilaksanakan dalam sistem yang terbuka, dan bahwa perguruan tinggi harus menyelenggarakan kegiatan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tetapi, prioritas dari ketiga kegiatan tersebut tetap pada kegiatan pengajaran.
UU juga membolehkan perguruan tinggi untuk menarik dana dari berbagai sumber selama bisa menjaga akuntabilitas dalam hal pengelolaannya. Hal ini memberikan kesempatan kepada perguruan tinggi untuk mengatasi masalah keterbatasan dana dan peningkatan kualitas pendidikan. Sayangnya, kesempatan ini masih sedikit dimanfaatkan.
5. UU yang sama menyebutkan bahwa perguruan tinggi swasta juga dapat – atas nama pemerintah – bertindak sebagai mentor bagi perguruan tinggi di daerah terpencil. Dengan demikian, perguruan tinggi di daerah dapat meningkatkan kapasitasnya dengan cara yang lebih terjangkau (karena tidak memerlukan biaya perjalanan ke Jakarta), dan memberikan harapan terjadinya peningkatan kinerja penelitian. Ada keinginan untuk menghapuskan dikotomi antara perguruan tinggi negeri dan swasta –lebih dari 80% perguruan tinggi yang ada di Indonesia adalah perguruan tinggi swasta.
Kebanyakan perguruan tinggi swasta dipandang sebagai ‘kelas dua’ oleh masyarakat. Hal ini telah menimbulkan diskriminasi terhadap perguruan tinggi swasta antara lain dalam hal pendanaan, fasilitas, staf akademik, dan kesempatan untuk pengembangan. Pemerintah telah menyadari masalah tersebut dan baru-baru ini mengambil langkah perbaikan, terutama untuk menjamin pemerataan bantuan kepada institusi pendidikan tinggi swasta.
6. Temuan Sherlock (2010) memberikan gambaran tentang perubahan status beberapa perguruan tinggi negeri. Perubahan status ini belum membawa dampak terhadap lingkungan kinerja penelitian. Status baru PTN-BH memberikan otonomi yang besar kepada perguruan tinggi dalam hal pengelolaan, yaitu unversitas dibolehkan menarik dana dari sumber lain selain dari pemerintah.
Tujuh perguruan tinggi terkemuka telah diberi status ini, sementara empat lain masih dalam proses. Walaupun dampak dari perubahan status ini masih belum bisa diketahui, sejumlah pihak menilai status PTN-BH memberikan kesempatan kepada perguruan tinggi untuk meningkatkan pendapatan dari sumbangan pembinaan pendidikan mahasiswa. Tetapi, masih memberikan perhatian yang kecil terhadap kualitas pengajaran atau terhadap kesempatan untuk meningkatkan kegiatan penelitian.
7. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah pengadaan jasa penelitian pemerintah. Praktik belakangan ini menunjukkan bahwa pemerintah biasanya mengontrak jasa penelitian dari individu individu bukan dari lembaga riset.
Beberapa perguruan tinggi telah mendirikan unit kerja khusus untuk mengelola kemitraan langsung dengan pemerintah. Namun apakah praktik ini berkontribusi secara positif terhadap kinerja penelitian perguruan tinggi, atau terhadap efektivitas riset untuk kebijakan, masih menjadi pertanyaan. Masalah utama tampaknya adalah keterbatasan dana dan legislasi yang membatasi pengadaan penelitian oleh pemerintah, baik dalam hal durasi riset maupun lokasi peneliti. Hal ini membutuhkan investigasi lebih lanjut.
8. Dalam hal modalitas, prospek untuk mendorong penelitian perguruan tinggi melalui regulasi pemerintah dan dukungan swasta tidak sejalan dengan realitas. Anggaran penelitian masih berkisar antara 0,09% dari PDB (idealnya berkisar 1%), dan 74% dari jumlah itu berasal dari pemerintah. Pemerintah (misalnya Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi) mengakui bahwa pengelolaan dan tata kelola perguruan tinggi di Indonesia masih jauh di bawah negara lain, khususnya dalam hal pengelolaan fiansial. Hal ini akan berakibat pada rendahnya kemampuan perguruan tinggi dalam mengelola penelitian secara efektif.
9. Banyak upaya yang harus dilakukan agar riset untuk kebijakan dapat dilakukan. Temuan penelitian (baik pusat studi pemerintah maupun nonpemerintah) sangat jarang digunakan oleh pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah melihat pentingnya manfaat penelitian untuk membantu proses pembuatan kebijakan, dan gagalnya komunitas peneliti berinteraksi dengan pemerintah. Alasan yang sering dikemukakan pemerintah adalah penelitian tidak berfokus pada isu-isu yang mempunyai dampak sosial tinggi. Kesadaran masyarakat juga harus ditumbuhkan. Bahwa kebijakan yang baik hanya dapat dibuat berdasarkan proses pembuatan kebijakan yang didasarkan pada data berkualitas, informasi, dan penelitian. Di sini, kemauan politik pemerintah untuk menjamin kebijakan berbasis bukti menjadi kunci utama. Jalan ke Depan Kebutuhan studi diagnostik tentang hambatan penelitian perguruan tinggi di Indonesia mutlak diperlukan.
Studi diagnostik bukan saja harus membahas persoalan konseptual dan fiosofi, tetapi yang lebih penting adalah menawarkan intervensi untuk mengatasi permasalahan. Oleh karena itu, studi diagnostik harus membantu mitra KSI untuk meningkatkan kegiatan penelitian di perguruan tingginya masingmasing. Studi diagnostik harus fokus terhadap isuisu berikut:
1) Kesesuaian;
2) Pendanaan penelitian;
3) Agenda/prioritas riset;
4) Sumber daya manusia untuk riset dan ‘karier’ penelitian;
5) Remunerasi peneliti dan sistem insentif;
6) Sistem kredit ‘kum’
7) Skema publikasi dan riset untuk kebijakan;
8) Manajemen riset.
Setiap isu harus diselidiki pada tiga level hambatan/pendorong:
struktural/sistemik (misalnya kebijakan negara/pemerintah, struktur penelitian dan pendanaan, dukungan untuk memperdalam bidang penelitian, dll.);
tingkat modalitas (misalnya aturan dan peraturan perguruan tinggi, fasilitas, pengelolaan riset, fasilitasi untuk ruang penelitian, dll.); dan
pada tingkat individu (misalnya kinerja penelitian yang sedang dikerjakan, kualifiasi, kapasitas, jaringan, dll.).
Ada dua poin yang perlu dipertimbangkan:
Hibah kompetitif adalah bentuk pendanaan penting yang memungkinkan peneliti akademik mengejar agenda intelektualnya. Oleh karena itu, kemampuan akademisi untuk mencari pendanaan adalah sebuah keharusan dalam dunia akademik. Ekspektasi akademisi untuk mendapatkan dana riset dari perguruan tinggi, atau setidaknya perguruan tinggi mengupayakan dana penelitian untuk mereka, semakin meningkat. Hal ini dapat meningkatkan riset yang berkualitas dan memberikan dampak nyata pada masyarakat, dan juga menghasilkan publikasi di jurnal internasional terkemuka. Studi diagnostik harus dapat mengidentifiasi pengembangan kapasitas yang diperlukan peneliti dan pusat studi. Pengembangan kapasitas ini meliputi meningkatkan pemahaman peneliti terhadap peran hibah penelitian dalam karier akademik mereka, mengenalkan mereka pada kesempatan-kesempatan yang tersedia, dan membangun kapasitas pusat studi untuk memberikan pelayanan pendukung yang berkualitas.
Studi diagnostik harus menyadari bahwa riset sangat terkait erat dengan sistem inovasi. Pemerintah telah berkomitmen bahwa ekonomi berbasis pengetahuan akan menjadi salah satu jalan bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (misalnya dengan dibentuknya Badan Ekonomi Kreatif). Untuk mencapai hal ini, Indonesia harus memberikan perhatian lebih banyak kepada kegiatan penelitian: Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari persaingan dalam bidang penelitian dengan negara-negara tetangga. Tidak ada jalan lain untuk meningkatkan daya saing nasional pada tingkat global selain dengan mengembangkan penelitian. Dibutuhkan waktu yang panjang untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, infrastruktur, dan lembaga pengembangan sains dan teknologi. Studi diagnostik perlu mengkaji peraturan, regulasi, dan pengaturan kelembagaan yang mencerminkan upaya ini.
Makalah ini merangkum data dan perspektif dari perguruan tinggi mitra KSI. Kami melakukan kajian literatur untuk meninjau studi-studi diagnostik yang telah dilakukan dan mengeksplorasi temuan dari studi yang sedang berjalan. Temuan-temuan ini menjadi bahan diskusi antara KSI dengan perguruan tinggi mitra. Makalah ini dan konsultasi dengan mitra KSI membawa pada pengembangan studi yang lebih mendalam yang dilakukan oleh empat perguruan tinggi mitra KSI. Studi tersebut masih berjalan dan laporan penelitiannya diharapkan dapat selesai pada 2016. Kami yakin bahwa studi tersebut akan turut mendorong kebijakan berbasis bukti di Indonesia, khususnya dalam menarik manfaat dari sektor pengetahuan
Daftar Pustaka
Brodjonegoro, Satryo Soemantri and Greene, Michael P., 2012, Creating an Indonesian Science Fund, Indonesian Academy of Sciences, World Bank and AusAID, Jakarta
Gibbons, Michael, Limoges, Camille, Nowotny, Helga, Schwartzman, Simon, Scott, Peter and Trow, Martin, 1994, The new production of knowledge: the dynamics of science and research in contemporary societies, Sage Publication, London
Government of Indonesia, Ministry of Education and Civil Service Agency, Joint Decree No. 61409/MPK/KP/99 and No. 181 in 1999 on Guidelines on Lecturer Functional Post and Credit System
Government of Indonesia, Ministry of Research and Higher Education, Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah XII, Kumpulan Info Penting untuk Dosen (http://www.kopertis12.or.id/2010/08/02/kumpulan-info-penting-untuk-dosen.html#sthash.6XT7AipZ.dpuf)
Government of Indonesia, Ministry of State Apparatus and Bureaucracy Reform, Regulation No. 17/2013 on Lecturer Functional Post and Credit System Iding, Chaidir, 2015, Response to Evaluation of the National Research Agenda (ARN).
Presentation at KSI’s Knowledge Sharing Session, 27 January 2015, Jakarta
Jawa Pos, Hanya 3 PTN Berkualitas Internasional, 21 January 2015
Karetji, Petrarca, 2010, Overview of the Indonesian Knowledge Sector. AusAID, Jakarta (http://dfat.gov.au/about-us/publications/Documents/indo-ks8-overview.pdf)
Knowledge Sector Initiative, Meeting Notes 1st FGD on University Barriers to Research, 15 December 2014
Knowledge Sector Initiative, Meeting Notes 2nd FGD on University Barriers to Research, 12 January 2015
Knowledge Sector Initiative, Meeting Notes 3rd FGD on University Barriers to Research, 25 February 2015
Kompas, Anggaran Riset Inovatif Ditingkatkan, 16 December 2014
Kompas, Asa di Pendidikan Tinggi, 17 December 2014
Kompas, Pemerintah Gandeng Swasta untuk Riset, 9 January 2015
Kompas, Hasil Riset Kerap Diabaikan Pemerintah, 23 January 2015
Kompas, Menyikapi Keterbatasan Dana Riset, 23 January 2015
Luukkonen, T. and Nedeva, M., 2010, ‘Towards Understanding Integration in Research and Research Policy’, Research Policy, 39, 674-686.
McCarthy, John and Ibrahim, Rustam, 2010, Review of Social Science Capacity BuildingSupport to Indonesia’s Knowledge Sector, AusAID, Jakarta (http://dfat.gov.au/about-us/publications/Documents/indo-ks9-socialscience.pdf)
Nielsen, Greta, 2010, Comparative Experiences of Middle Income Countries, AusAID, Jakarta (http://dfat.gov.au/about-us/publications/Documents/indo-ks10-comparativeexperience.pdf)
SCImago, 2007, SJR — SCImago Journal & Country Rank, 24 December 2010 (http://www.scimagojr.com)
Sherlock, Stephen, 2010, Knowledge for Policy: Regulatory Obstacles to the Growth of A Knowledge Market in Indonesia, AusAID, Jakarta (http://dfat.gov.au/about-us/publications/Documents/indo-ks13-knowledge-to-govt.pdf)
Suryadarma, D., Pomeroy, J. and Tanuwidjaja, S, 2011, Economic Factors Underpinning Constraints in Indonesia’s Knowledge Sector, AusAID, Jakarta (http://dfat.gov.au/aboutus/publications/Documents/indo-ks2-economic-incentives.pdf)