DATA DAN FAKTA KINERJA RISET PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA
Kinerja Riset bagian dari persoalan Perguruan tinggi di Indonesia. Pendidikan tinggi dalam hal ini Perguruan tinggi bukan hanya tempat belajar-mengajar, juga tempat dikembangkannya ilmu pengetahuan melalui riset atau penelitian.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir menyatakan, jumlah peneliti dan publikasi jurnal penelitian di Indonesia masih sangat rendah pada 2016. Terdata baru sekitar 4.500 hingga 5.500 karya yang berhasil dipublikasikan. Problem seperti itu tidak bisa terlepas karena masih minimnya jumlah peneliti Indonesia. Hal yang sama, disampaikan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar, saat ini jumlah peneliti Indonesia hanya 90 orang per 1 juta penduduk. Sementara jumlah peneliti di Brasil mencapai 700 orang per 1 juta penduduk, dan Rusia 3000 peneliti per 1 juta penduduk. Menurut ketua LIPI, hal seperti itu menjadi persoalan mendasar terkait rendahnya kinerja penelitian di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan investasi terendah dalam bidang penelitian.
Alokasi anggaran penelitian hanya berkisar 0,09% dari produk domestik bruto (PDB), sangat rendah jika dibandingkan dengan negara berpenghasilan menengah lain seperti Malaysia dengan investasi sebesar 0,6%, Thailand 0,26%, dan China 1,47%.
Berikut data dan fakta pada tabel di bawah ini yang disajikan SCImago Journal and Country Rank. SCImago dipakai sebagai salah satu indeks oleh Dikti untuk melihat reputasi sebuah jurnal.
Berdasarkan data pada tabel diatas, Indonesia berada di nomor urut 11 dari 33 negara di Asia. Posisinya di bawah Pakistan, Thailand dan Malaysia.
Perhatikan data di atas. Titik berangkat di tahun 1996, Indonesia tidak terpaut jauh dari Malaysia. (Peneliti) Indonesia memproduksi 540 paper ilmiah, sementara Malaysia 961.
Jarak terlihat melebar di tahun 2005 ketika jumlah paper ilmiah di Malaysia mencapai tiga kali lipat. Puncaknya di tahun lalu (2013), Indonesia hanya mampu memproduksi 4.175 paper ilmiah dan Malaysia mencapai 23.190, hampir enam kali lipat.
Data ini menunjukkan bahwa aktifitas dan kegiatan riset Indonesia sungguh tertinggal. Tentu saja ini bukan hanya masalah dosen di perguruan tinggi, namun juga lembaga-lembaga riset dan semua litbang di semua kementerian.
Beberapa hal yang menyebabkan rindahnya performance riset di dunia pendidikan tinggi Indonesia.
Riset masih dilihat sebagai tugas tambahan seorang dosen, bukan terintegrasi dan disadari sebagai bagian dari tugas pokok. Paradigma di dunia pendidikan tinggi Indonesia masih melihat proses belajar-mengajar sebagai hal yang utama, bukan riset. Dosen masih melihat tugasnya sama dengan guru: mengajar. Bisa jadi karena Dosen diletakkan sejajar dengan Guru dalam satu undang-undang. Mestinya, berdasarkan perbedaan requirement, perbedaan instansi induk dan perbedaan tugas pokok, guru dan dosen harus dipisahkan. Mesti diatur dalam undang-undang yang berbeda.
Persoalan infrastruktur dasar yang tidak memadai. sarana prasarana kerja yang mendasar seperti meja kerja saja masih menjadi hal yang mewah bagi dosen? Hasil survey yang dilakukan Abdul Hamid dengan populasi dosen-dosen yang tergabung di Grup Dosen Indonesia. Hasilnya 39% dosen tak memiliki meja kerja, hanya ada ruang dosen yang dipakai bersama-sama. Sebanyak 35% memakai ruang dosen bersama, namun memiliki meja kerja, dan hanya 26% yang memiliki privasi: ada meja kerja dan satu ruangan dipakai maksimal dua orang dosen.(sumber:https://abdul-hamid.com/). Berkaitan dengan point 1 (satu) diatas, bahwa tugas dosen hanyalah mengajar. Hal ini dianut oleh banyak pemimpin perguruan tinggi (negeri dan swasta) maupun banyak dosen itu sendiri. Pada umumnya pemimpin kampus tidak memfasilitasi dosen untuk memiliki ruang/meja kerja memadai, sementara banyak dosen yang memang ke kampus untuk mengajar saja, setelah itu mengerjakan kegiatan lain, mencari penghasilan tambahan. Mungkin hal ini dilihat bukan sebagai masalah, kecuali dalam instrumen akreditasi belaka. Ini baru soal ruang/meja untuk bekerja, belum bicara perpustakaan atau laboratorium berkualitas yang masih jadi hal langka di kampus-kampus di Indonesia.
Ketiga, sistem yang memberi disinsentif bagi dosen yang rajin melakukan publikasi ilmiah. Intinya batas sebuah aktivitas dosen dinilai dalam sistem promosi. Misalnya, paper ilmiah yang terbit di jurnal internasional hanya diakui satu paper dalam satu semester. Lebih dari satu tak dihitung sebagai pencapaian. Padahal tentu saja kita sebagai peneliti tak bisa memastikan atau mendikte editor atau publisher menerbitkan paper kita di waktu yang berbeda. Proses sebuah paper dari mulai dikirim sampai betul-betul terbit juga bervariasi bisa satu sampai dua tahun.
Kesibukan administratif. Dosen disibukkan dengan berbagai kesibukan administratif. Contoh nyata adalah kesibukan mengisi BKD setiap semester hanya untuk sekedar mendapatkan tunjangan sertifikasi dosen. Contoh lain misalnya, ketika Dosen di seluruh Indonesia diwajibkan mengisi SIPKD dengan scan semua SK, ijazah dan sebagainya. Kewajiban tersebut disertai ancaman dan batas waktu . Akibatnya, dosen-dosen pontang-panting mencari berbagai SK dan surat-surat penting, men-scan, menyerbu situs SIPKD sehingga server tumbang alias ERROR.
Kesibukan administratif juga berkaitan dengan aktivitas penelitian itu sendiri. Dosen harus berkompetisi untuk mendapatkan dana penelitian. Dan dosen yang mendapatkan grant penelitian biasanya disibukkan oleh aspek administratif dan bukan kualitas riset itu sendiri. Berurusan dengan kwitansi dan stempel, serta mencari dana talangan penelitian, sebelum dana-nya betul-betul turun. Belum lagi seringkali menghadapi potongan di sana-sini yang membuat kualitas riset berkurang.
Rendahnya pendapatan dosen di Indonesia. Seberapa rendah? kan sudah ada sertifikasi dosen? Data Dikti sampai februari 2014 menunjukkan baru 39% dosen yang tersertifikasi. Sisanya, antri.
Hal ini tentu saja membuat sulit untuk menarik anak-anak muda bangsa terbaik untuk berkarir di dunia akademik. Untuk yang terlanjur menjadi dosen, kondisi semacam ini memaksa banyak dosen memiliki kesibukan ekstra menambah pendapatan. Apa akibatnya? seperti di point 1 dan 2 di atas: ke kampus hanya mengajar, mau singgah menulis atau membaca tak ada meja, akibatnya menyibukkan diri dengan aktivitas di luar kampus.
Lantas masih ada juga dosen-dosen yang menghasilkan publikasi ilmiah berkualitas. Tentun saja ada, di manapun pasti ada orang-orang hebat yang bertarung melawan keterbatasan. Jika keterbatasan itu kemudian tidak jadi hambatan, maka Indonesia akan menghasilkan lebih banyak dosen peneliti hebat dan lebih banyak publikasi ilmiah yang hebat pula.
Berbagai kebijakan misalnya surat edaran Dirjen Dikti SE152/E/T/2012 tentang kewajiban menerbitkan jurnal ilmiah bagi mahasiswa S1, S2 dan S3.
Dirjen Dikti dalam surat resminya menyebutkan alasan pengenaan kewajiban tersebut disebutkan karena “…jumlah karya ilmiah Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sepertujuh…” Akibatnya, di berbagai kampus dibuatlah jurnal-jurnalan untuk menampung skripsi dan tesis mahasiswa.
Menariknya, tak banyak kampus yang berani mengikuti surat edaran di atas, bagi S3 yang diwajibkan publikasi di jurnal internasional. Bagi yang menerapkan, ada yang kemudian asal terbit dan jatuh ke dalam pelukan jurnal (internasional) predator.
Referensi :
https://abdul-hamid.com/
https://en.wikipedia.org/wiki/SCImago_Journal_Rank
www.ksi-indonesia.org/files/1464160545$1$DYOBW$.pdf
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=4&date=2017-01-03
http://www.ristekdikti.go.id/tingkatkan-publikasi-hasil-penelitian/
www.scimagojr.com/