PENDIDIKAN TINGGI BERBASIS ‘INDUSTRI PRODUK DAN JASA’
PENGANTAR
Sudah bertahun-tahun Bangsa Indonesia menyadari pentingnya pendidikan tinggi dalam membangun bangsa yang maju. Maka disusunlah suatu sistem pendidikan lengkap dengan komponen dan metodologinya. Tetapi muncul pertanyaan, apakah pendidikan tinggi Indonesia sekarang telah mencapai apa yang dicita-citakan, memenuhi tugasnya dalam membangun daya saing, daya guna dan mencerdaskan kehidupan bangsa?
Masa pendaftaran peserta didik baru selalu menjadi momok bagi para calon mahasiswa, merasa gelisah tentang keberlangsungan studinya. Setiap pelajar memiliki harapan yang tinggi untuk melanjutkan studi di lembaga pendidikan dengan kualitas terbaik, tetapi terkadang realitas berkata lain.
Lihat saja dari data SNMPTN, dari 852.093 pendaftar, hanya 137.005 saja yang diterima. Sungguh kasihan para calon mahasiswa ini, sudah dibebani oleh kurikulum yang berat, masih juga tidak memiliki kepastian tentang kelanjutan studinya.
Setiap lembaga pendidikan selalu berusaha untuk menjaga kualitasnya. Itulah sebabnya mengapa setiap lembaga pendidikan yang berkualitas selalu berusaha mencari input yang juga berkualitas. Semata karena gengsi persaingan kualitas antar lembaga pendidikan.
Bak sebuah industri yang selalu mencari bahan baku terbaik agar kelak produknya dapat bersaing dengan industri lain, itulah gambaran dunia pendidikan Indonesia saat ini. Kiranya pendidikan di perguruan tinggi berusaha agar mutu produknya bagus, mudah diterima di dunia kerja.
Lembaga pendidikan tinggi saat ini telah mirip dengan suatu industri. Jika dianalogikan, para peserta didik selayaknya sumber daya atau bahan baku yang akan diolah. Itulah mengapa dibutuhkan calon mahasiswa yang berkualitas jika ingin menghasilkan lulusan yang berkualitas pula. Selain itu, tingkat penjualan dalam industri dapat diibaratkan dengan angka diterimanya lulusan-lulusan di dunia kerja.
Hal lain yang perlu disadari adalah persaingan antar lembaga pendidikan tinggi tak ubahnya seperti persaingan dalam dunia industri dan bisnis. Kerap kali pengembangan dan pembaharuan yang dilakukan bukan semata ditujukan untuk kepentingan mahasiswa, tetapi untuk mendongkrak daya saing perguruan tinggi serta memikat calon-calon peserta didik baru.
Dalam situasi yang telah digambarkan di atas, sangat mungkin timbul mindset yang buruk. Lembaga pendidikan tinggi yang mempersiapkan murid layaknya produk yang diharap cepat laku dapat berimbas pada pola pikir mahasiswanya. Mahasiswa Indonesia akan terbentuk dalam suatu mental pengikut yang selalu ingin cari mapan, bukan seorang pemimpin yang tak henti berinovasi. Mahasiswa Indonesia akan selalu mengusahakan agar kelak dapat mudah mendapat kerja, gaji, dan uang pensiun yang terjamin. Mereka akan sulit tumbuh menjadi seorang kreatif, inovatif, dan pembaharu.
PEMBAHASAN
REALITAS PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA
Pendidikan tinggi Indonesia terdiri dari dua jalur yaitu jalur akademik dan jalur kejuruan (vokasi). Jalur akademik adalah universitas, institut dan sekolah tinggi yang menawarkan stratafikasi gelar akademik dan spesialis (higher degrees and specialist) dan mencakup program pendidikan S1 (gelar sarjana), S2 (gelar Magister), Spesialis dan S3 (gelar Doktor). Sedangkan Jalur kejuruan atau vokasi, umumnya menawarkan pendidikan kejuruan (vocational education) setingkat program diploma (Ahli Madya). Pendidikan ini umumnya diselenggarakan oleh semua akademi yang ada di Indonesia.
Pendidikan tinggi (higher education) melayani jasa pendidikan tinggi termasuk pemberian pelayanan ilmu Basic Sciences (MIPA), Sciences (Ilmu-ilmu eksakta), Social Sciences and Humanities (Ilmu Sosial dan Humaniora). Pendidikan tinggi berhak menganugrahkan gelar akademik kepada alumninya yang telah memenuhi syarat-syarat akademis sesuai dengan UU Sisdiknas.
Namun, biaya pendidikan tinggi yang selama ini sudah amat mahal dikhawatirkan bertambah mahal karena pengelola perguruan tinggi, yang didorong oleh motif ekonomi dan mengikuti hukum pasar, akan menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang komersial, sama seperti barang dagangan lain dalam suatu transaksi perniagaan.
Lazimnya transaksi perniagaan, pertimbangan untung-rugi merupakan faktor penentu dalam pengelolaan perguruan tinggi. Jika pendidikan tinggi sudah menjadi barang komersial berharga mahal, sudah pasti hanya masyarakat kaya yang mampu menjangkaunya. Masyarakat miskin akan kian sulit mendapat akses ke layanan pendidikan tinggi karena keterbatasan kemampuan finansial.
Hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan bermutu sampai ke tertiary education menjadi kian sulit dipenuhi, terlebih karena sejauh ini kemampuan pemerintah dalam melindungi kelompok miskin melalui aneka instrumen kebijakan masih belum memadai.
Padahal, tiga isu besar yang bersifat eternal—affordability, accessibility, accountability—justru merupakan persoalan utama yang harus mendapat perhatian khusus dan harus ditangani serius oleh para perumus kebijakan dan pengelola perguruan tinggi (Heller, 2003).
Beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia menjadikan institusi pendidikan sebagai salah satu komoditi dalam industri, terutama pendidikan tinggi. Perubahan ini umumnya didorong oleh beberapa alasan utama, yaitu;
Hasrat mencari dana dan dukungan finansial serta keinginan menggali sumber-sumber pembiayaan alternatif.
Persaingan yang ketat dengan sesama lembaga pendidikan dalam hal kualitas lulusan.
Meningkatkan nama lembaga sehingga mampu menarik sebanyak-banyaknya peserta didik.
Dengan perubahan menjadi industri pendidikan tinggi tersebut, maka akan muncul kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki, yaitu;
Pelayanan jasa pendidikan tinggi hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja, belum seluruh rakyat Indonesia;
Kurikulum pendidikan tinggi terlalu padat dengan bobot kredit yang kecil;
Kebijakan pendidikan tinggi yang kaku yaitu pendidikan tinggi hanya menawarkan program full-time students dengan bobot mata kuliah yang padat SKS;
Kebanyakan perguruan tinggi hanya menawarkan on-campus program dan belum menawarkan off-campus progam;
Stratafikasi pendidikan tinggi belum banyak menghargai prestasi akademik yang gemilang;
Program akademik di perguruan tinggi tidak fleksibel karena hanya menawarkan program kuliah dan penelitian, tidak salah satunya saja;
Mutu pendidikan tinggi di Indonesia akan dapat ditingkatkan kualitasnya dan dapat sejajar dengan kualitas pendidikan tinggi di negara Asia dan dunia jika seandainya para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan tinggi termasuk policy makers (pembuat kebijakan) dan decision makers (pengambil keputusan) sebaiknya mereview, mengevaluasi, dan merevisi kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia secara periodik dengan banyak mempertimbangkan feedbacks atau umpan balik dari stakeholders pendidikan.
PENDIDIKAN TINGGI BAK ‘INDUSTRI DAN PRODUK’
Australia mampu menjadikan pendidikan sebagai salah satu industri terbesar penyumbang devisa, di mana pemerintahnya menciptakan standar yang jelas, infrastruktur dan kemudahan bagi perguruan tinggi berupa network dan endorsement. Jika kita berkunjung ke perguruan tinggi di Singapore dan Malaysia, sangat banyak mahasiswa dari Indonesia dan tidak sedikit yang berprestasi sangat baik.
Pelajar-pelajar terbaik dari negara tersebut malah menuntut ilmu di negara-negara lain yang lebih berkembang, misalnya Amerika dan Australia. Untuk lebih mendekatkan diri kepada customer, banyak perguruan tinggi dari luar negeri masuk ke Indonesia seperti Australia dengan Monash dan RMIT, Malaysia dengan Inti College, India dengan NIIT, Singapore dengan Informatics dan Canada dengan LaSalle College. Model yang digunakan adalah tahun awal belajar di Indonesia dan dilanjutkan di luar negeri, sering disebut sebagai pre-university ataupun kemudahan transfer ke luar negeri.
Maraknya pameran pendidikan luar negeri menunjukkan kesadaran negara berkembang seperti Amerika, Australia, Inggris, Jepang dan Malaysia mendatangkan calon masiswa dari Indonesia yang banyak mendatangkan devisa. Ada perguruan tinggi yang bagus, ada pula yang tidak beres, sekedar memberikan kesempatan mendapat izin tinggal untuk kerja atau menjual sertifikat.
Beberapa perguruan tinggi swasta di Indonesia patut dibanggakan, misal; President University yang berada di Cikarang, perguruan tinggi yang mendapatkan mahasiswa dari China dan Vietnam berkat dukungan beasiswa dari pemain-pemain industri besar. Ini adalah salah satu langkah awal bagi Indonesia untuk bisa masuk ke pasar pendidikan secara internasional. Universitas Binus dan Gunadarma, perguruan tinggi ini berkembang dari kursus, ATK (akademi teknik komputer), sekolah tinggi dan akhirnya universitas dalam waktu relatif singkat. Kini Binus menjadi salah satu universitas paling bergengsi dengan gedung di mana-mana, dan menambah portofolionya dengan Binus High dan Binus Training. Di Surabaya, UK Petra berkembang pesat dengan setiap jurusan favorit seperti Komunikasi, Desain Komunikasi Visual dan Ekonomi. Pada tingkat akademik, Bina Sarana Informatika dan Interstudi di Jakarta diikuti ribuan mahasiswa karena mematok harga sangat terjangkau, seperti halnya Wearness di kota Malang dan Denpasar serta SOB (School of Business) juga di Malang.
Model pengembangan lain dalam bentuk franchise seperti yang diterapkan oleh Englisih First, ILP, LP3I dan Primagama sukses membuat cabang di mana-mana. Pemain lain yang juga banyak dikenal di dunia IT adalah Inixindo. Digital Studio yang berkonsentrasi di dunia multimedia dan komputer grafik berkembang menjadi 10 cabang di berbagai kota hanya dalam kurun waktu 4 tahun dan menggandeng partner Metrodata.
Beberapa tahun terakhir ini, pendidikan dengan standar global mengalami masa perkembangan signifikan dengan diserbunya tempat-tempat pendidikan di kota-kota besar. Perkembangan ini bisa dicermati khususnya pada perguruan tinggi terbaik, negeri maupun swasta yang memiliki yang telah memiliki reputasi dan kualitas serta jaringan luas, banyak diminati calon mahasiswa karena seakan membeli jaminan masa depan yang lebih baik. Perguruan tinggi di Indonesia yang sudah mapan seperti UI, UGM dan Binus, bahkan menggandeng perguruan tinggi luar sehingga mahasiswa bisa mendapat double degree dari dalam dan luar negeri.
Sebagai paradoks, pemerintah kini menutup izin Perguruan Tinggi baru karena Indonesia memiliki jumlah perguruan tinggi salah satu terbanyak di dunia dan sangat banyak di antaranya yang tidak bisa mempertanggung jawabkan fungsinya sebagai lembaga pendidikan dengan menurunnya jumlah mahasiswa serta banyaknya kasus perguruan tinggi bermasalah, bodong, abal abal.
Peguruan tinggi yang tidak memiliki brand kuat banyak yang terengah mencari calon mahasiswa. Kota pendidikan seperti Jogja yang dulu diserbu mahasiswa luar daerah kini mengalami penurunan jumlah mahasiswa secara signifikan. Hanya perguruan tinggi dengan brand saja yang bertahan dan malah mampu menambah jumlah mahasiswanya secara signifikan dari tahun ke tahun.
Produk/Komoditasi pendidikan di Indonesia memberikan manfaat positif bagi masyarakat karena terjadi liberasi pengetahuan. Pendidikan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan industri. Daerah yang tadinya tertinggal perkembangannya kini menjadi prospek pasar masa depan dengan daya beli dan kemampuan ekonomi yang besar. Ilmu yang tadinya sulit didapat menjadi mudah diakses oleh banyak orang.
Selain perguruan tinggi, kursus yang berkonsentrasi pada keterampilan melengkapi institusi perguruan tinggi yang banyak berorientasi pada pengetahuan. Pada banyak kasus, mereka yang hanya belajar keterampilan malah mampu melampaui mereka yang belajar di perguruan tinggi saat mereka bekerja. Hal ini mendorong pertumbuhan luar biasa untuk pendidikan luar sekolah dan akademi.
Di jalur kemampuan terapan, ada akademi (D1, D2, D3 dan D4) yang berkonsentrasi kepada kemampuan terapan. Sedang perguruan tinggi (S1) berorientasi pada kemampuan analitis dan riset. Tidak berarti kemampuan terapan lebih rendah dari kemampuan analitis. Asumsi ini timbul karena perbedaan jalur ini kurang dipahami dan kurangnya sosialisasi. Trend ini mulai berubah dengan banyaknya universitas besar menawarkan program Extension dan D1 seperti halnya UI dan UGM.
KOMPETISI KUALITAS DAN KUANTITAS
Pendidikan tinggi sebagai komoditasi menuntut pengelolaan perguruan tinggi tidak lagi sebagai institusi yang hanya berorientasi produk, tetapi perguruan tinggi perlu menghadapi era kompetisi global yang membutuhkan kemampuan membangun kesan dan mengkomunikasikannya kepada publik. Kurikulum, pengajar, metode pengajaran tidak lagi dipandang menjadi bahan generik, tetapi merupakan bagian dari konsep positioning perguruan tinggi.
Mau tidak mau, perguruan tinggi dan bidang pembelajaran akan mengalami cycle seperti bisnis lain. Produk yang masih berada di masa formatif sesuai untuk para early adopter sangat membutuhkan product excellence. Untuk berpindah ke market yang lebih besar, kendala yang dihadapi adalah standarisasi kurikulum, modul dan pengajar, juga reduksi cost sehingga harga bisa terjangkau masyarakat luas.
Begitu memasuki era market mainstream dimana mayoritas customer adalah early dan late majority, produk harus mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar, baik dari sisi harga maupun availability. Dalam hal ini perguruan tinggi harus berkonsentrasi pada distribusi dan marketing, sedang dari sisi kurikulum dan produk mereka akan mulai bermitra atau melisensi. Nama besar dari industri IT sukses menjual kurikulum seperti Cisco dan Microsoft. Menggunakan infrastruktur Internet, semua kurikulum, modul dan pengajaran bisa dideliver dengan standar, di mana pengajar hanya menjadi fasilitator dan pembimbing. Metode lain untuk memperkuat brand adalah menggandeng nama-nama bergengsi untuk terlibat di dalam industri pendidikan seperti Roy Sembel di Binus, Rhenald Kasali di UI. Konsep positioning dan membentuk kategori yang lebih sempit adalah salah satu strategi di era kompetisi. Jika Binus adalah IT, maka Inixindo adalah IT untuk high-end, Linuxindo adalah IT menggunakan Linux dan Digital Studio adalah multimedia. Strategi diferensiasi juga bisa dimanfaatkan, mulai dari metode pembelajaran, harga, local genius dan banyak lagi.
MEMBENTUK PASAR DARI KOMUNITAS
Untuk tetap stay ahead in the competition, tetap diperlukan strategi inovasi dan pengembangan produk di masa depan. Salah satu teknik yang sangat sukses mengidentifikasi kebutuhan pasar adalah dengan membentuk komunitas. Inggris dengan British Council membuktikan hal ini. Mempromosikan kegiatan budaya akan menarik komunitas awal (disebut alpha pada buku Buzz: Harness the Power of Influence and Create Demand – Marian Salzman) yang akan mempengaruhi komunitas yang lebih besar (disebut bees). Riri Riza dan Ira Kusno sebagai penerima beasiswa dari Inggris adalah para alpha yang menjadi influencer para bees – siswa dan pelajar di British Council yang nantinya mempengaruhi mainstream market. Japan Foundation juga menggunakan metode serupa dengan membawa pendidikan manga dan anime ke Indonesia, mereka mengundang animator senior Indonesia seperti Dwi Koendoro dan Deddy Djoenaid untuk membimbing pembelajaran membuat komik dan animasi.
Pendidikan tinggi di Indonesia telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pembangunan di Indonesia. Beberapa politisi dan negarawan besar seperti presiden RI pertama (the founding father), sejumlah pejabat negara, pengusaha dan ilmuawan ternama telah dihasilkan oleh perguruan tinggi di Indonesia.
Universitas ternama (leading universities) di pulau Jawa seperti UI, ITB, IPB, UGM, Unpadj, Unair, Undip serta diluar pulau jawa seperti USU, Unand, Unud, Unhas Unstrat, Unhalu, Untad, Unmul dan beberapa perguruan tinggi negeri lainya termasuk Universitas Negeri (eks IKIP) dan Univ Islam Negeri (eks IAIN) dan beberapa perguruan tinggi negeri lainnya merupakan perguruan tinggi yang telah aktif berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat). Hasil-hasil penelitian staf akademiknya telah dipublikasikan lewat jurnal ilmiah dan diseminasikan lewat seminar,loka karya dan publikasi media. Perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia ternyata juga banyak didukung oleh partisipasi aktif perguruan tinggi swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah perguruan tinggi negeri. Ada banyak perguruan tinggi swasta yang memiliki reputasi atau status akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang sama atau hampir sama dengan perguruan tinggi negeri. Bahkan sebahagian perguruan tinggi swasta telah memiliki jurnal ilmiah yang telah terkreditasi.
Beberapa perguruan tinggi swasta yang cukup dikenal baik ditingkat lokal maupun tingkat nasional misalnya untuk di pulau Jawa ada Univ Trisakti, Universitas Brobudur, Univ Guna Darma, Unika Atma Jaya, Unas, Unpar Bandung, UII Jokyakarta, Unmuh Malang, Ubaya. Sedangkan di luar pulau Jawa terdapat beberapa PTS yang dapat diperhitungkan dan sebahagian juga telah memiliki jurnal ilmiah. Perguruan tinggi swasta tersebut antara lain seperti Universitas Nomensen Medan, Universitas Bung Hatta Padang, UMI Makassar, Unismu Makassar, Universitas Klabad Manado, Unisa Palu dan Unismuh Palu. KELEMAHAN INDUSTRI PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA
Industri pendidikan di Indonesia yang mengarah ke komersialisasi ini mengandung bahaya bagi lembaga pendidikan yang bersangkutan. Derek Bok dalam Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (2005) mencatat sejumlah bahaya yang patut diwaspadai, yaitu :
Bila godaan mencari keuntungan finansial melalui aneka kontrak dari perusahaan/ industri tak terkendali dan tak dikelola dengan baik, hal itu akan menggiring perguruan tinggi melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diemban, yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian, yang menjadi basis bagi ikhtiar membangun masyarakat beradab dan pilar utama upaya pencapaian kemajuan bangsa.
Bila sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuan baru. Padahal, peran hakiki perguruan tinggi adalah the center of knowledge inquiries and technology innovations, yang bukan saja penting untuk memperkuat institusi perguruan tinggi sendiri sebagai pusat keunggulan dan penelitian, tetapi juga akan memberi kontribusi pada ikhtiar membangun peradaban umat manusia.
Konflik kepentingan antara dua hal—menggali sumber pembiayaan dan mengembangkan iptek melalui riset ilmiah— berpotensi mengorbankan core academic values karena perguruan tinggi cenderung berkompromi antara pilihan menjaga standar mutu program akademik dan tuntutan mendapatkan dukungan finansial dari perusahaan/industri.
Selain itu, ada beberapa kelemahan atau kekurangan lainnya yang perlu dibenahi karena kebijakan pendidikan tinggi yang kurang efektif dan sangat sentralistik. Antara lain adalah:
Pelayanan jasa pendidikan tinggi baru dinikmati oleh mayoritas kalangan keluarga kelas menengah ke atas atau hanya segelintir kalangan kelas menegah ke bawah yang dapat menikmati jasa pendidikan tinggi. Idealnya, pelayanan jasa pendidikan tinggi tidak menciptakan dikotomi dan disparitas terutama berakaitan dengan akses rekrutmen mahasiswa baru. Pejabat perguruan tinggi harus dapat memfasilitasi mahasiswa yang kurang mampu tapi berprestasi untuk memperoleh susbsidi atau beasiswa yang dapat menunjang studi mahasiswa dari kalangan ekonomi lemah tersebut.
Kurikulum pendidikan tinggi terlalu padat dengan bobot kredit yang kecil (antara 2 sampai 4 sks permata kuliah). Kemudian, penelitian yang memakan waktu satu sampai dua semester ironisnya hanya dinilai dengan bobot sks yang sangat kecil (sekitar 4 sampai 6 sks) jika dibandingkan bobot sks penelitian mahasiswa di luar negeri. Sehingga seharusnya mahasiswa belajar sedikit mata kuliah tapi mendalam (in-depth) seperti yang terjadi di negara-negara maju.
Kebijakan pendidikan tinggi yang kaku yaitu pendidikan tinggi hanya menawarkan program full-time students dengan bobot mata kuliah yang padat SKS. Pendidikan tinggi seperti ini sangat membebani mahasiswa terutama yang sudah bekerja karena mereka terbebani oleh bobot SKS yang padat (overloading) ditambah dengan tugas-tugas pokok mereka di instansi pemerintah atau swasta. Seharusnya ada alternatif untuk menawarkan program part-time students yang dapat meringankan beban mahasiswa yang sudah bekerja walaupun program pendidikannya relatif lebih lama tapi pasti.
Kebanyakan perguruan tinggi hanya menawarkan on-campus program dan belum menawarkan off-campus progam. Akibatnya, banyak mahasiswa yang kebenaran harus pindah ke kota lain oleh karena tuntutan ekonomi atau tugas kantor terpaksa harus bolos atau berhenti kuliah. Padahal program off-campus (distant learning) mungkin dapat menjadi solusi bagi mereka yang ingin meningkatkan kemampuannya dengan melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi namun tidak harus selalu ke kanmpus, seperti yang ditawarkan oleh Universitas Terbuka.
Stratafikasi pendidikan tinggi belum banyak menghargai prestasi akademik yang gemilang, misalnya untuk melanjutkan pendidikan S3 seorang mahasiswa harus menyelesaikan pendidikan S2 dulu walaupun mahasiswa yang bersangkutan mendapat nilai Cum-laude. Dengan kata lain pendidikan tinggi kita belum menawarkan program honours seperti kebanyakan perguruan tinggi di luar negeri, yaitu bagi mahasiswa S1 yang mendapat nilai Cum-laude bisa langsung mengambil program S3 (leading to PhD) tanpa melalui pendidikan Magister (S2).
Program akademik di perguruan tinggi tidak fleksibel karena hanya menawarkan program kuliah dan penelitian (combined course work dan research), idealnya perguruan tinggi juga menawarkan beberapa pilihan program pendidikan misalnya, program research student (mahasiswa peneliti melalui bimbingan), Combined course work (seperti di Indonesia) dan pure course work (jalur mata kuliah tanpa penelitian) yang mungkin cocok untuk praktisi atau pekerja profesional. Melalui program seperti ini mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih salah satu jenis jalur pendidikan tinggi yang diinginkan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Program seperti ini sebenarnya sangat fleksibel dan mungkin sangat menguntungkan mahasiswa. Selanjutnya, untuk program combined course work atau kuliah dan setelah itu diikuti dengan tugas akhir kegiatan penelitian, misalnya seperti versi di Indonesia. Program ini sebaiknya direvisi menjadi program yang lebih fleksibel yaitu mahasiswa ditawarkan salah satu dari beberapa alternatif program pendidikan tinggi, pertama " program yang bobot sks mata kuliah lebih banyak misalnya 80 % dan bobot penelitian lebih kecil atau sekitar 20 % atau sebaliknya mata kuliah 20 % dan bobot penelitian 80 % dan atau fifty-fity yaitu 50 % bobot mata kuliah dan 50% penelitian.
Dalam melakukan evaluasi program pendidikan seharusnya bersifat fair dan tidak diskriminatif. Selama ini evaluasi dan assessment pendidikan baru diterapkan secara sepihak. Dengan kata lain, setiap semester hanya mahasiswa yang dievaluasi hasil belajarnya misalnya, melalui tengah semester dan akhir semester. Seharusnya perguruan tinggi juga melakukan evaluasi kinerja staf dosen (academic performance) misalnya melalui penyebaran angket kepada mahasiswa setiap akhir semester. Angket tersebut harus diisi oleh mahasiswa dengan tujuan untuk memberikan umpan balik atau penilaian mengenai kemampuan mengajar dosen yang bersangkutan.
Di samping itu, perguruan tinggi haruslah merancang program orientasi mahasiswa baru yang menekankan pada program orientasi yang bersifat informatif dan edukatif karena beberapa waktu yang lalu program orientasi mahasiswa banyak diwarnai oleh kegiatn perpeloncoan yang bersifat kurang mendidik dan mungkin membuka peluang terjadinya tindakan kekerasan dan aksi balas dendam sesama mahasiswa yang berbeda angkatan. Kini sudah saatnya perguruan tinggi merubah paradigma program orientasi mahasiswa baru, yaitu :
Materi program orientasi mahasiswa baru harus bersifat informatif yakni pemberian informasi yang cukup komprehensif dan lugas mengenai fasilitas pembelajaran yang tersedia dan cara pemanfaatannya serta beberapa informasi penting dan relevan mengenai statuta perguruan tinggi.
Program orientasi haruslah bersifat mendidik (edukatif), misalnya memberikan pengenalan materi kepada mahasiswa baru mengenai mekanisme pebelajaran di perguruan tinggi yang jauh beberbeda dengan model pebelajaran di sekolah menengah.
Program orientasi bersifat membangun mental positif dan jiwa nasionalisme dengan membekali Pendidikan karakter dan dan memberikan materi bela negara.
MODEL PENDIDIKAN TINGGI MASA DEPAN
Kategorisasi pendidikan tidak lagi hanya terbatas dari sisi fasilitas yang tangible, terobosan-terobosan model pembelajaran akan terus bermunculan dan banyak akan muncul dalam bentuk intangible. Contohnya seperti e-learning yang meskipun saat inipun di negara maju tingkat keberhasilan masih di bawah 30%, masih terus mengalami evolusi sehingga bisa diterima publik.
Moore’s Law mengatakan bahwa prosesor akan memiliki kecepatan 2 kali lipat setiap 18 bulan dengan harga sama. Hal sama terjadi pada GPU (graphical processing unit) atau kemampuan kartu grafik komputer menampilkan gambar, hanya di sini nilai tersebut dikuadratkan. Artinya, dalam waktu beberapa tahun, kita akan memiliki kemampuan tampilan seperti gambar bioskop dengan hampir real time untuk game. Saat ini di dunia industri game sudah lebih besar dari industri film. Model pembelajaran masa depan akan menggunakan game sebabagai simulator, mulai dari pelajaran kreativitas, strategi hingga pembentukan karakter bisa dilakukan dengan game.
Macromedia membuat model computer-based training menggunakan Director, Dreamweaver, Flash, dan Breeze untuk membuat online interactive learning atau webinar (web seminar). Adobe dengan produk Acrobat mencoba menciptakan standar archival untuk digital library yang bisa disearch dengan mudah. Infrastruktur ini akan dimanfaatkan sebagai knowledge database system yang bisa diakses di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Standarisasi melalui tes tidak lagi dilakukan dengan kertas (Paper Basic Test), tetapi (Computer Basic Test) online seperti yang sudah ditunjukkan oleh brainbench.com
KESIMPULAN
Pemerintah seharusnya memfasilitasi masyarakat agar mudah dan murah dalam mengenyam pendidikan tinggi, baik melalui kebijakan maupun melalui anggaran.
Pendidikan Tinggi di Indonesia memang telah masuk salah satu komoditas yang menjanjikan keuntungan, mengingat banyaknya masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan lebih baik.
Dalam arus industri pendidikan tinggi sekarang ini, sistem atau model pelaksanaan pendidikan di perguruan tinggi yang kaku seharusnya diubah menjadi lebih fleksibel agar lebih kompetitif dan menarik pelajar, baik dalam maupun luar negeri.
Mutu pendidikan tinggi di Indonesia dapat tingkatkan kualitasnya sehingga dapat sejajar dengan kualitas pendidikan tinggi di negeri jiran jika seandainya stakeholders pendidikan tinggi termasuk policy makers (pembuat kebijakan) dan decision makers (pengambil keputusan) sebaiknya mereview, mengevaluasi, dan merevisi kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia secara periodik dengan banyak mempertimbangkan feedbacks atau umpan balik dari stakeholders pendidikan.
Daftar Pustaka
Alhumami, Amich. 2009. Industri Pendidikan Tinggi. www.dikti.org
Banathy, Bela H. 1991. Systems Design of Education. A journey to create the future. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications.
Boediman, Andi S. 2004. Marketing & Branding Industri Pendidikan. http://andisboediman.blogspot.com/2004/06/marketing-branding-industri-pendidikan.html
Bok, Derek. 2003. Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education. Princeton University Press. New Jersey.
Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. 2005. Online Learning. Concept, strategies and application. Columbus,OH : Pearson.
Heller, D.E, 2001. The states and public higher education policy: Affordability, access, and accountability, The Johns Hopkins University Press.
Lie, Anita. 2007. Membedah Industri Pendidikan Tinggi. www.stbalia.ac.id
Marhum, Mochtar. 2009. Prospek Pendidikan Tinggi Di Indonesia. http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=30102
Mariana, Dede. 2010. Industri (dan) Pendidikan. http://bataviase.co.id
Miarso, Yusufhadi. 2008. Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Unpublished Paper.
Munawaroh, Munjiati. 2005. Analisis Pengaruh Kualitas Jasa Terhadap Kepuasan Pada Industri Pendidikan di Yogyakarta. Jurnal Siasat Bisnis Edisi Khusus JSB on Marketing.
Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle. 1994. Systemic Change in Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications
Teasdale, G.R. and Z. Ma Rhea. 2000. Local Knowledge and Wisdom in Higher Education. Pergamon Press. United Kingdom.
http://www.kompasiana.com/clemensdion/pendidikan-bak-industri_5734a9fc5a7b612e20856b21
http://combackcampus.blogspot.co.id/2012/05/industri-dan-pendidikan.html
http://jurnal.selasar.com/budaya/jika-pendidikan-dianggap-sebuah-industri
https://kuliah2020.wordpress.com/2012/12/29/pendidikan-berbasis-industri
http://pendidikan-tomi.blogspot.co.id/2010/11/jika-saja-pendidikan-dimaknai-sebagai.html