Budaya Intelektual & Budaya Akademik Kekinian
PENGANTAR
Budaya intelektual dan akademik tak terpisahkan dari kehidupan di lingkup perguruan tinggi. Istilah intelektual biasanya ditunjukkan kepada orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Merujuk pada istilah modern ‘intelektual’ adalah mereka yang amat terlibat dalam ide-ide dan buku-buku.
Konsep Marxisme istilah intelektual ini adalah mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersbebut, intelektual sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan atau belajar di universitas. sedangkan budaya Akademik (Academic Culture) dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik, di lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian.
Berbicara mengenai pendidikan tinggi (universitas), tentunya akan berhubungan dengan civitas akademik (dosen, mahasiswa, pengelolah) sebagai komponen penting dari sebuah universitas. Pendidikan tinggi merupakan struktur tertinggi pendidikan yang menyelenggarakan berbagai kegiatan pembelajaran, untuk membekali mahasiswanya dengan berbagai bekal pengalaman empiris dan pengetahuan. PT mempunyai dengan kemampuan dan kapasitas yang dimilikinya dapat memperkuat eksistensi sebagai lembaga pendidikan tinggi dalam membangun budaya intelektual dan akademik. Civitas akademika PT adalah masyarakat ilmiah yang beraktifitas di lingkungan ilmiah, berpikir ilmiah dan sekaligus kaum INTELEKTUAL dan ILMUWAN. Kaum Intelektual (Intellectual / free thinkers) adalah kaum "pemikir yang tercerahkan". Lingkup masyarakat ilmiah, Intelektual dan ilmuwan adalah adalah bagian yang tak terpisahkan. Seorang Ilmuwan menemukan kenyataan, sedangkan seorang intelektual menemukan kebenaran. Ilmuwan menampilkan fakta sebagaimana adanya. Ilmuwan bersikap netral dalam menjalankan pekerjaannya, Intelektual harus melibatkan diri pada ideologi.
Peradaban dan sejarah, dibentuk hanya oleh kaum intelektual. Seorang intelektual bukan hanya membaca, menulis dan berdiskusi, akan tetapi mampu memberikan konsep ideal atas permasalahan-permasalahan yang ada untuk kemasalatan umat. Seiring berjalannya waktu, budaya intelektual sudah jarang kita temukan. Dikampus yang merupakan penghasil intelektual kini telah luntur dengan sikap apatis. Civitas akademika sibuk dengan kenyamanan mereka sendiri tak peduli apakah mereka sedang tertindas ataupun tidak. Melihat permasalahan dalam dunia intelektual, perlu rasanya untuk menghidupkan kembali budaya intelektual di dalam maupun di luar kampus, agar bangsa ini memiliki peradaban yang baik, karna sebuah peradaban suatu bangsa ditentukan oleh para intelektual yang dimilikinya. Semakin banyak kaum intelektual semakin berkembang juga peradaban tersebut.
Sebagai sebuah institusi sosial yang dibangun dari, oleh, dan untuk masyarakat, lembaga pendidikan setidaknya secara hipotik akan selalu mengalami dinamika perkembangan. Perkembangan itu dapat berupa gerakan kearah kemajuan dan dapat pula kearah kemunduran. Ada institusi pendidikan formal, termasuk institusi perguruan tinggi, yang maju pesat dan ada pula yang stagnan, bahkan mati. Banyak PT/kampus di tanah air, khususnya di daerah kabupaten seakan mati dari budaya intelektual. Di timpali dengan sarana, fasilitas dan peralatan pendidikan yang minim, juga faktor non fisik yang mempengaruhi seperti manajemen dan tatakelola. Fenomena ini Nampak pada beberapa perguruan tinggi swasta. Sebaliknya, cukup banyak prestasi yang ditunjukkan oleh akedemisi perguruan tinggi (PTN/PTS), misalnya dilihat dari karya akademik yang mereka hasilkan.
Bekerja dan Belajar di Universitas bukan jaminan seseorang bisa menjadi intelektual karena ternyata tidak semua civitas akademika yang intelek. Seorang intelektual itu adalah seorang pemikir yang sentiasa berfikir dan mengembangkan serta menyumbangkan ideanya untuk kesejahteraan masyarakat. Dia juga adalah seorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman fikirannya untuk mengkaji dan menganalisis perkembangan dan peradaban kehidupan. Menganalisa gejala yang nyata di sekeliling hidup manusia, berusaha memahaminya untuk memudahkan hidup manusia dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Usaha memahami tersebut menghasilkan suatu falsafah (pemikiran) dan ilmu pengetahuan (empirik).
Karena bersifat menyeluruh, budaya intelektual atau pengkajian menyeluruh mengenai ilmu pengetahuan, bisa kita amati dalam percakapan sehari-hari di lingkungan kampus. Jika kita menyimak percakapan mahasiswa di Universitas besar, guyonannya merupakan penjabaran dari rumus-rumus yang dipelajari sebelumnya atau jurnal terbaru yang sedang banyak dibicarakan. Atau sekedar membuat soal-soal latihan sederhana pemecah kebuntuan ketika lelah berpikir. Percakapan-percakapan seperti itu jika sering dilakukan menjadi akrab ditelinga sehingga belajar pun menjadi menyenangkan.
Dunia ilmu pengetahuan adalah dunia fakta, dunia yang objektif, universal, dan rasional. Ilmu pengetahuan merupakan produk dari kebudayaan enlightment, pencerahaan menghasilkan enlightened thingking and action dari manusia modern sekarang ini. Kita hidup dalam dua dunia, dunia ilmu pengetahuan dan dunia praktis. Ilmu pengetahuan menawarkan cara kerja rasional. Prinsip kausalitas misalnya menjadi prinsip rasional dari ilmu pengetahuan. Sementara kita juga tidak bisa melepaskan diri dari dunia dengan segala macam bentuk kepercayaan dan prakteknya. Singkatnya, terdapat banyak sekali masalah dalam ilmu dan kehidupan yang membutuhkan kaum intelektual dan ilmuwan untuk memecahkan masalahnya.
Ilmu pengetahuan sebagai salah satu faktor paling menentukan. Satu per satu gejala-gejala alam diterangkan dengan ilmu pengetahuan. Gejala alam pertama yang melepaskan diri dari cengkraman takhayul diterangkan dengan ilmu pengetahuan, seperti gerhana (Thukydides). Contoh lain : lihat bagaimana dunia kedokteran harus bergulat melawan kepercayaan-kepercayaan tradisional baik yang sungguh-sungguh takhayul maupun yang didukung kuat oleh moralitas agama yang sempit, mulai dari masalah penyakit malaria sampai pada masalah transplatasi jantung. Ada dua dampak ilmu pengetahuan terhadap dunia praktis, yaitu dampak intelektual langsung terutama tentang perubahan cara pandang tradisional terhadap realitas; dampak tidak langsung melalui mediasi teknik-teknik ilmiah terutama teknik-teknik produksi dan organisasi sosial.
Budaya intelektual ini bisa dimulai dari pengkajian akan ilmu yang diperoleh dari proses belajar mengajar. Tidak hanya berakhir di ruang kuliah, tetapi juga berkesinambungan terus hingga disimpulkan kembali di dalam kelas berikutnya. Setiap Universitas sebenarnya sama saja, tergantung masyarakat ilmiah yang ada di dalamnya.
Idealnya, perkembangan perguruan tinggi identik dengan sebuah metamorphosis yang kontinyu. Frasa metamorphosis yang kontinyu ini merujuk pada perubahan menuju kemajuan atau kesempurnaan secara terus menerus. Pendidikan tinggi sepertinya mengkingkari kesejatiannya, oleh karena meski didalam literatul akademik pendidikan tinggi dikonsepsikan mengembang fungsi konservatif dan progresif secara simultan.
Atas dasar itulah, budaya intelektual dan akademik harus tercipta dan berjalan di sebuah perguruan tinggi di Indonesia untuk melakukan perubahan dan perbaikan yang mengarah kepada terjadinya peningkatan mutu. Baik secara kualitas intelektual, ataupun dari segi karakter mahasiswa dan kualitas pembelajaran yang dihasilkan.
Perjalanan sejarahnya membuktikan bahwa universitas hanya sedikit dapat dipengaruhi oleh ide-ide radikal secara cepat. Tampilan lembaga pendidikan tinggi seperti itu membuat fungsi kedua yang diembannya belum menunjukkan signifikansi geliatnya. Sementara fungsi konservatif lebih menjelma dalam sosok konservatisme pendidikan pembelajaran statis, bukan sebagai wahana pewarisan dan seleksi budaya, ditandai dengan makin terperosoknya kearifan generasi kekinian didalam mewarisi nilai-nilai mulia peradaban masa lampau, setidaknya jika aneka distorsi perilaku kemanusiaan disekitar kita menjadi ukuran. Bukti konservatisme pendidikan tinggi benar-benar nyata didalam alur perjalanan sejarah. Seperti dikemukakan oleh Ash Hartwel diperlukan waktu sekitar 100 tahun bagi teori-teori dan ide-ide ilmiah untuk dapat mempengaruhi isi, proses, dan struktur kegiatan pendidikan. Meski kita harus menerima realitas bahwa pendidikan tinggi Indonesia belum menampakkan pergeseran fungsi yang signifikan.
Skema pendidikan yang berkembang di Indonesia, adalah adanya pemisah secara konseptual mengenai pendidikan akademik dengan pendidikan professional, vokasional, atau kejuruan. Terminologi pendidikan akademik mengandung makna bahwa mahasiswa lebih banyak menerima bekal pengetahuan teoritis ketimbang keterampilan praktikal. Sebaliknya, pendidikan professional bermakna bahwa mahasiswa lebih banyak menerima pengalaman praktikal ketimbang pengetahuan teoritis.
Muncul pemikiran untuk mengembangkan subtansi program pendidikan, yaitu menyiapkan siswa dari sekolah-sekolah (SMU/SMK) untuk tidak hanya siap melanjutkan studi, melainkan juga memasuki dunia kerja. Pemikiran ini menuntut institusi pendidikan tinggi mampu mengkreasi model-model pembelajaran yang mendemonstrasikan bagaiman pembelajaran akademik dapat diterapkan secara praktikal untuk mengembangkan kompetensi memasuki pasar kerja.
Pembelajaran yang dimaksud harus berkaitan dengan pembekalan pengetahuan kontekstual dan keterampilan praktikal yang memungkinkan peserta dididk melakukan pemecahan masalah dan memiliki keterampilan untuk bekerja. Inisiatif ini meniscayakan adanya kolaborasi multi disiplin didalam perencanaan kurikulum, kordinasi dalam pembelajaran dan penyertaan dunia bisnis kedalam program-program.
PENDIDIKAN DAN KULTUR INTELEKTUAL DAN AKADEMIK
Dari sekian banyak reformasi pendidikan tinggi, umumnya dosen yang paling menjadi tumpuan. Dosen sedemikian rupa berusaha mencoba untuk menghindari kewalahan dan kefrustasian akibat pesimisme melihat realitas pendidikan tinggi kekinian. Meskipun mereka percaya dan menyadari bahwa upaya mengembangkan pendidikan dapat menjadi bagian dari perjuangan jangka penjang untuk menciptakan masyarakat yang lebih terdidik dan berdayaguna. Dosen pun menyakini bahwa mahasiswa harus menjadi bagian dari perjuangan ini dan hal itu merupakan bagian penting dari tugas sebagai akademisi, yaitu membantu mempersiapkan mahasiswa berpartisipasi sebagai warga negara yang bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa.
Pendidikan adalah bagian dari proses diskusi kelompok terus menerus. Peran dosen sebagai seorang akademisi, intelek dan ilmuwan yang profesional adalah mengajar, mendidik dan membantu mahasiswa mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi mereka dimasyarakat, bekerja sama denagn mahasiswa untuk menemukan ide-ide atau membuat symbol yang menjelaskan pengalaman hidup mereka serta analisis yang mendorong pengalaman masyarakat sebagai dasar untuk memahami ajaran baru dan tindakan sosial atau penyadaran.
Pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan tradisi nilai intelektual pembelajaran. Civitas akademika harus memposisikan pendidikan dan dirinya sendiri dalam tradisi intelektual dan kultur akademik. Tak di pungkiri, PT tak luput dari kritik, terutama berkaitan dengan keterbatasan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran, khususnya cara yang dipraktikan pada banyak PTN/PTS elit. Praktik penyelenggaraan pendidikan sering kali mendiskriminasi kondisi ekonomi. Pendidikan sejati haruslah mengembangkan masyarakat dengan mengabaikan spectrum tersebut dan dampak berkelanjutan yang ditimbulkan, khususnya berkaitan dengan Kelas ekonomi, gender, dan kesenjangan lainnya.
Pendidikan tinggi (Universitas), merupakan ladang tempat lahirnya kader-kader intelektual. Sehingga disinilah nilai-nilai positif seperti jujur, cerdas, peduli, tangguh, tanggung jawab, religius dan nilai positif lainnya bisa ditanamkan, terinternalisasi, dan menjadi sebuah budaya dalam upaya membangun tradisi intelektual.
Realitas yang lain, mengartikan kampus sebagai tempat untuk beradu fashion, tempat trendi-trendian, tempat tebar pesona dan bermain cinta masa muda, dengan kesibukan yang seakan menegaskan gaya hidup baru yang dibentuk oleh modernisasi. Tidak heran jika banyak mahasiswa hanya datang ke kampus, duduk dan diam mendengarkan penjelasan dari dosen kemudian pulang. Mereka lebih nyaman berlama-lama hang-out di mall, cafe menikmati indahnya dunia masa muda dengan semakin menyuburkan sikap hedonis dan konsumtif dalam jiwa mereka.
Realitas tersebut adalah cermin dari tumpukan cermin-cermin retak yang memantulkan permasalahan bangsa kita terkait dunia pendidikan tinggi, dosen dan mahasiswa. PT di era kekinian, tak ubahnya sebagai pusat kebobrokan moral, elitism, anti kerakyatan, dan lahan bisnis ala dunia pendidikan. PT kini telah menjadi korban dari intervensi budaya luar yang penuh kepentingan kapitalistik. Menjadikan civitas akademikanya lupa bahwa kampus adalah tempat yang memang dimaksudkan untuk kegiatan akademis dan non-akademis.
Secara logika, bagaimana bisa mengharapkan adanya output yang berkompeten dan berkarakter jika di lingkungan pendidikan tersebut seolah tidak pernah memberikan mainstream untuk itu. Padahal, jika budaya akademik dan intelektual kampus yang positif mampu diterapkan dengan maksimal, akan mampu mendorong tumbuhnya iklim sosial dan interaksi yang sehat antar civitas akademika. Serta mampu menggali potensi diri para mahasiswa, dan warga civitas akademika lainnya, mampu membentuk mereka tidak hanya dari oleh pikir, tapi juga dari olah hati, olah rasa/karsa. Akhirnya akan banyak melahirkan karya dan karsa yang spektakuler.
Pendidikan (PT) sebagai wahana transformasi sosial, ada beberapa dimensi yang berkaitan, yaitu: manusia itu sendiri, mahasiswa, dosen, lembaga pendidikan. Atas dasar itulah diperlukan asumsi-asumsi yang berkenaan dengan hakikat manusia, masyarakat, pendidikan, subjek didik, pendidik, belajar- mengajar, dan kelembagaan.
Hakikat Manusia
Manusi sebagai makhluk tuhan mempunyai kebutuhan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Manusia membutuhkan lingkungan hidup berkelompok untuk mengembangkan diri.
Manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkn dan kebutuhan materi serta spiritual yang harus dipenuhi.
Manusia itu pada dasarnya dapat dan harus dididik serta dapat mendidik disi sendiri.
Hakikat Masyarakat
Masyarakat merupakan sumber nilai-nilai yang memberikan arah normative pendidikan.
Kehidupan bermasyarakat ditingkatkan kualitasnya oleh insan yang berhasil mengembangkan dirinya melalui pendidikan.
Kehidupan masyarakat berlandaskan system nilai keagamaan, sosial dan budaya yang dianut warga masyarakat, sebagian dari nilai tersebutr bersifat lestari dan sebagian lagi terus berubah sesuai dengan perkembangan ilmuan teknologi.
Hakikat Pendidikan
Pendidikan merupakan proses interksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antra kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik.
Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat.
Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat.
Hakikat Subjek Didik
Subjek didik bertangungg jawab atas pendidikannya sendiri sesuai dengan wawasan pendidikan seumur hidup.
Subjek didik memiliki potensi, baik fisik maupun psikologis yang berbeda-beda sehingga masing-masing subjek didik merupakan insan yang unik.
Subjek didik merupakan fokus pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.
Hakikat pendidik
Pendidik merupakan agen pembaharuan.
Pendidik berperan sebagai pemimpin dan pendukung nili-nilai masyarakat.
Pendidik bertangungg jawab atas tercapainya hasil belajar subjek didik
Pendidik dituntut untuk menjadi contoh dalam pengelolaan proses belajar mengajar subjek didiknya.
Hakikat Belajar Mengajar
Peristiwa belajar mengajar terjadi apabila subjek didik secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh pendidik
Proses belajar mengajar yang efektif memerlukan strategi dan media/teknologi pendidikan yang tepat
Program berlajar mengajar dirancang dan diimplikasikan sebagai suatu system.
Hakikat Kelembagaan
Lembaga pendidikan menyelenggarakan program-program dan meyiapkan peluang yang relevan dengan kebutuhan masyarakat baik kualitatif maupun kuantitatif.
Lembaga pendidikan dikelola dalam suatu system pembinaan yang terpadu dalam rangka menghasilkan output pembelajaran berkualitas.
Lembaga pendidikan memiliki mekanisme balikan yang efektif untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada masyarakat secara terus menerus.
Mutu Pendidikan merupakan tangungg jawab bersama antara lembaga pendidikan, pemerintah, masyarakat dan pemakai keluaran hasil pembelajaran (lulusan).
PENUTUP
Budaya intelektual dan akademik tidak dapat di pisahkan dari kebebasan akademik. Budaya intelektual dan akademik tidak dapat dicapai tanpa iklim dan lingkungan akademik yang kondusif yang di dukung dengan ketersediaan sarana dan fasilitas PT yang memadai. Lingkungan akademik yang dimaksudkan di sini adalah lingkungan yang mendukung kegiatan dan aktifitas akademik, menentukan materi/substansi pembelajaran, penelitian serta metode penyampaian dan publikasi hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sesuai dengan etika keilmuan.
Iklim dan lingkungan akademik yang kondusif merupakan syarat utama dan mutlak di miliki dalam mendukung aggota sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggungjawab dan mandiri. Budaya intelektual dan akademik dijalankan sesuai dengan undang-undang yang ada dan tidak dibenarkan jika melanggar norma-norma kemanusiaan yang berlaku.
Di perlukan dorongan bagi setiap civitas akademika untuk mengembangkan dan menjaga tradisi maupun budaya intelektual dan akademik yang mereka miliki. Realitasnya, akan dijumpai variasi dan perbedaan budaya intelektual dan akademik yang dimiliki oleh masing-masing PT. Hal tersebut bisa dipahami mengingat keberadaan PT didasarkan pada latar belakang yang berbeda dalam hal ukuran maupun kompleksitasnya. Pentingnya budaya intelektual dan akademik yang berbeda, juga ditujukan agar PT yang baru tumbuh dan berusaha untuk mencapai keunggulan dengan cara yang berbeda. Oleh karena itu, iklim dan lingkungan akademik yang kondusif merupakan prinsip dasar, bersifat universal dan sangat diperlukan bagi PT dalam wujud peran berbeda dalam melayani dan memuaskan stakeholder mereka yang lebih spesifik. Pada akhirnya, untuk mensukseskan membangun dan mengembangkan budaya intelektual dan akademik dibutuhkan sinergi dari segenap civitas PT.
Referensi :
Bronowski, Jacob. 1968. On Being an Intellectual. Northampton, Mass.: Smith College.
CODESRIA. 1996. The State of Academic Freedom in Africa 1995. Dakar, Senegal: Codesria.
Daedalus. Winter 1997. “American Academic Culture in Transformation: Fifty Years, Four Disciplines.”
Hassan, Fuad. 1990. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Budaya.
________. 1992. Cultural Dimension and Human Development. Jakarta: Balai Pustaka.
Icksan, M. Achmad. 1985. Mahasiswa dan Kebebasan Akademik. Yogyakarta: Hanindita.
Jary, David & Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: Harper Collins.
Kebudayaan RI, Departemen Pendidikan dan. 1995. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Kempner, Ken and William G. Tierney, Eds. 1996. The Social Role of Higher Education – Comparative Perspectives. New York: Garland.
Kistanto, Nurdien H. 2000. Budaya Akademik: Kehidupan dan Kegiatan Akademik di Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Jakarta: Dewan Riset Nasional, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi.