top of page

Membangun Masyarakat Pengetahuan Berbasis Information Literacy


A. ERA INFORMASI


Perubahan dunia, cepat dan pasti telah memasuki era persaingan ekonomi dan bisnis yang dikenal dengan nama Era Ekonomi Kreatif. Pergeseran dari ekonomi pertanian menuju era industrialisasi, disusul dengan era informasi yang menghasilkan banyak penemuan baru di bidang teknologi informasi telah membawa masyarakat dunia menuju ekonomi digital.


Keberadaan teknologi informasi menciptakan hubungan saling ketergantungan antarmanusia, sehingga mendorong masyarakat lebih aktif, kreatif dan produktif dalam menemukan teknologi-teknologi baru. Nampak terlihat bahwa menguasai sumber daya konvensional yang kerap dinyatakan sebagai 4M saja tidaklah cukup (4M=Men, Materials, Money, dan Machines/Method).


Lihatlah bagaimana pada kenyataannya terdapat sejumlah negara yang sangat miskin dipandang dari kacamata portofolio 4M yang dimilikinya, namun berhasil mengembangkan dan membangun bangsanya; sementara itu tidak kurang terlihat adanya negara yang kaya raya akan sumber daya 4M-nya, namun tidak mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Hasil pengkajian terhadap fenomena tersebut memperlihatkan bahwa terdapat sumber daya kelima yang sangat penting untuk dikuasai sebuah negara, yaitu “informasi”.


Informasi selain berfungsi sebagai faktor produksi penting disamping 4M, merupakan pula ‘bahan mentah’ dari knowledge atau pengetahuan, sehingga mereka yang menguasai informasi berpotensi menjadi bagian dari masyarakat dan komunitas global yang pintar dan cerdas. Menyadari akan hal tersebut, maka dalam berbagai kesempatan formal maupun informal, pemerintah Indonesia telah menyatakan bahwa teknologi informasi – yang merupakan perangkat pendukung dalam proses penciptaan, penyimpanan, dan pendisitribusian informasi – merupakan salah satu pilar pembangunan nasional bangsa Indonesia dalam menghadapi millenium ketiga saat ini.


Era Informasi telah menemui zaman keemasan pada saat ini. Informasi menjadi kebutuhan sehari-hari bagi semua kalangan. Tidak hanya sekedar butuh tetapi tiap elemen baik itu pribadi, lembaga pendidikan, komunitas, masyarakat, swasta maupun pemerintah sangat berperan dan berlomba-lomba tidak hanya menjadi penerima (obyek) informasi tetapi berusaha menjadi pemberi (subyek) informasi.


Informasi adalah asset, sumber daya yang harus di kelolah dengan baik. Informasi bukan sesuatu yang bisa diabaikan pelaku startup dan bisnis. Semakin banyak informasi, semakin optimal dalam mengambil keputusan. Informasi yang diperoleh haruslah berkualitas dan akurat Karena berfungsi sebagai pembentuk kesimpulan yang menjadi dasar berstrategi dan berkeputusan.


Dari segi teknologi sendiri telah menemukan sebuah revolusi sebagai pemegang peran sebagai media atau sarana lalu lintas informasi. Terasa cepat dan makin mudah dimiliki maupun penggunaannya, mulai dari perangkat keras mobile maupun desktop, perangkat lunak, jaringan maupun antar jaringan atau internet hingga munculnya trend media sosial.


Daniel Keys Moran, seorang programmer dan penulis science fiction, pernah berkata, “You can have data without information, but you can’t have information without data.” Informasi tak bisa didapatkan tanpa adanya data sebagai kumpulan fakta. Data juga tidak akan memberikan arti apa-apa tanpa diolah menjadi informasi. Inilah yang dibutuhkan masyarakat, dunia pendidikan, dan para pelaku bisnis sekarang. Bahwa kesempatan untuk memenangkan persaingan bisa dimiliki mereka yang memegang informasi.


Informasi telah memegang peran sedemikian penting dalam setiap aspek kehidupan, dalam pengambilan kebijakan yang menentukan strategi mengahadapi tantangan masa depan. Dunia pendidikan sudah seharusnya memberikan perhatian serius terhadap tantangan dalam abad informasi saat ini. Proses pembelajaran dalam berbagai tingkatan sebagai bagian inti dalam dunia pendidikan juga harus menyikapi pentingnya peran informasi yang setiap saat senantiasa terbarukan.


Dewasa ini perubahan informasi sedemikian cepatnya, sehingga bukan lagi dapat dikatakan up to date, tetapi up to second. Semula, pembelajaran hanya berfungsi untuk menyampaikan sumber informasi yang spesifik. Tuntutan era informasi menjadikan pembelajaran bergeser ke arah kemampuan berfikir kritis untuk menggunakan sumber-sumber informasi.


Di sisi lain, paradigma pembelajaran dewasa ini juga mengalami pergeseran dari paradigma mengajar menjadi paradigma belajar. Perubahan paradigma ini memberikan pemahaman baru bahwa proses pembelajaran bukan sebagai proses transfer ilmu dari dosen ke mahasiswa. Kegiatan pembelajaran lebih diartikan sebagai upaya aktif pengajar-pendidik untuk membantu peserta didik dalam membangun pengetahuannya dengan menggunakan pengalaman-pengalaman atau pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik.


Ernest Boyer (Rockman, 2004:2) menyatakan bahwa memberdayakan peranan informasi adalah tujuan terpenting dalam pembelajaran. Jika diorganisasikan dengan baik, maka informasi selanjutnya akan menjadi pengetahuan. Kemampuan mengelola informasi yang dimaksud adalah mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan, mencari informasi yang relevan dan tepat, dan mengevaluasi informasi tersebut apakah sesuai dengan kebutuhannya, dan menggunakan informasi tersebut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah diidentifikasi. Kemampuan itulah yang disebut dengan information literacy.


Informasi dapat diperoleh dari bermacam sumber, dan dalam berbagai macam bentuk, cetakan, video, audio, informasi online dan sebagainya. Tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia dan dunia pendidikan untuk meletakkan information literacy sebagai dasar kemampuan pembelajaran seumur hidup bukanlah dikarenakan sedikitnya informasi yang dapat diakses. Kesulitan terbesar justru dikarenakan informasi yang ada melimpah, dan belum dapat dipastikan reliabilitas dan validitasnya.


Sektor pendidikan akan menjadi salah satu komunitas yang memiliki tanggung jawab langsung sesuai dengan tugas dan fungsinya menciptakan dan membangun knowledge society atau masyarakat pengetahuan berbasis information literacy dengan memanfaatkan, menerapkan, dan mengembangan teknologi informasi.


Berkaca pada visi teknologi informasi Indonesia yang dinyatakan kalimat : “Terwujudnya Indonesia sebagai negara tangguh dalam kompetisi global, melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi demi terbentuknya masyarakat sejahtera berbasis pengetahuan yang berpegang teguh pada nilai-milai luhur bangsa”, terlihat secara jelas strategi dan harapan diterapkannya teknologi informasi di segala bidang sesuai dengan konteksnya agar dapat tercipta sebuah daya saing nasional.


B. KESEJANGAN DIGITAL


Salah satu musuh utama negara berkembang dan negara miskin di era globalisasi dan teknologi informasi dewasa ini adalah masalah kesenjangan digital atau yang lebih dikenal dengan istilah “digital gap”. Beragam hasil penelitian memperlihatkan, bahwa isu utama dari berbagai aspek kesenjangan digital yang ditemui berakar pada kualitas sumber daya manusia – dalam arti kata tingkat kompetensi individu dan masyarakat terkait dengan pemahaman akan kegunaan atau manfaat teknologi informasi dan bagaimana mendayagunakannya untuk meningkatkan kualitas kehidupan sehari-hari.


Agregasi dari seluruh individu ini akan membentuk sebuah masyarakat “buta digital” yang secara langsung berpengaruh pada tingkat dan kecepatan perkembangan suatu negara. Oleh karena itu adalah merupakan tanggung jawab pemerintah untuk dapat mengidentifikasi permasalahan ini dan mencari jalan keluar atau menyusun strategi solusi yang ampuh dan tepat untuk mengatasi isu kesenjangan terkait. Jika kesenjangan tersebut tidak segera teratasi, maka tidak mustahil Indonesia akan diasingkan dari pergaulan bangsa-bangsa di dunia.


Guna mengatasi dampak “digital gap”, maka segenap komponen bangsa – dimana perguruan tinggi menjadi fokusnya – harus memiliki suatu kerangka pemikiran yang holistik agar segala usaha yang dilakukan dapat secara konvergen mengurangi kesenjangan tersebut.


C. INFORMATION LITERACY


Information literacy merupakan metode yang sangat potensial dalam memberdayakan komunitas akademik dan masyarakat melalui pendekatan resource-based learning. Information literacy menuntut komunitas akademik dan masyarakat mampu mengenali kapan suatu informasi dibutuhkan dan mampu mencari informasi tersebut, mengevaluasinya dan menggunakan secara efektif.


Berbagai macam bentuk informasi dapat diakses dari berbagai macam sumber, yang akan menjadikan komunitas akademik dan masyarakat terlatih dalam mempelajari sesuatu hal baru atau memperdalam pengetahuannya yang lama.


Pada dasarnya information literacy dideskripsikan sebagai kemampuan untuk mencari, mengelola, mengevaluasi secara cerdas, dan menggunakan informasi untuk memecahkan masalah, melakukan riset, mengambil keputusan dan melanjutkan pengembangan profesionalitas (Kasowitz-Scheer & Pasqualoni, http://www.libraryinstruction.com/higher-ed.html).


Lebih rinci, information Literacy dapat didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk :


  1. Mengenali kebutuhan informasi,

  2. Mengidentifikasi dan mencari sumber-sumber informasi yang tepat,

  3. Mengetahui cara memperoleh informasi yang terkandung dalam sumber yang ditemukan,

  4. Mengevaluasi kualitas informasi yang diperoleh,

  5. Mengorganisasikan informasi, dan;

  6. Menggunakan informasi yang telah diperoleh secara efektif. (hancock, http://www.libraryinstruction.com/informationliteracy.html ).


Lebih lanjut, Doyle (http://www.libraryinstruction.com/informationliteracy2.html) menyatakan bahwa seorang individu disebut information literate jika memiliki kemampuan:


  1. Menyadari bahwa informasi yang akurat dan lengkap adalah dasar dalam pengambilan keputusan yang cerdas,

  2. Mengenali kebutuhan informasi,

  3. Menyusun pertanyaan-pertanyaan berdasarkan kebutuhan informasi,

  4. Mengidentifikasi sumber-sumber informasi yang potensial,

  5. Mengembangkan strategi pencarian informasi yang berhasil guna,

  6. Mengakses informasi baik yang bersumber dari komputer maupun teknologi lain,

  7. Mengevaluasi informasi,

  8. Mengorganisasikan informasi untuk aplikasi-aplikasi praktis,

  9. Mengintegrasikan informasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada, dan

  10. Menggunakan informasi dalam pemecahan masalah dan berfikir kritis.


1. Pengertian Ragam Literacy


Dalam berbagai kamus bahasa Inggris, istilah “literacy” diartikan sebagai “the ability to read and write” atau kemampuan untuk membaca dan menulis. Kata ini kemudian berkembang dan sering dipadankan dengan kata “technology” sehingga dikenal istilah “technology literacy” yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan teknologi sebagai alat untuk mempermudah mencapai tujuan (Bunz, 2002).


Ketika teknologi komputer berkembang, dikenal pula istilah “computer literacy” yang secara luas dipergunakan dalam berbagai diskursus. Berbagai definisi “computer literacy” kemudian diperkenalkan di masyarakat luas, dari yang bersifat sederhana yaitu “the ability to use computer to satisfy personal needs” (Rhodes, 1986) sampai yang sangat berbau filosofis seperti “the collection of skills, knowledge, understanding, values, and relationships that allow a person to function comfortably as a productive citizen in a computeroriented society” (Watt, 1980).


Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer, berkembang pula sejumlah produk-produk teknologi lain berbasis digital seperti personal digital assistant, tablet computing devices, pocket communicatior, dan lain sebagainya. Seiring dengan berkembangnya teknologi tersebut, diperkenalkanlah istilah “digital literacy” yang secara lugas didefinisikan sebagai “the ability to understand and use information from a variety of sources when presented via digital devices” (Gilster, 1997) yang oleh Central European University disempurnakan menjadi “the ability to understand how information is generated and communicated in all formats through the creation of critical frameworks for the retrieval, organisation, evaluation, presentation, and use of information by using digital technology devices”.


Ketika internet berkembang secara pesat, istilah “internet literacy”-pun (i-literacy) lahir dengan sendirinya, yaitu “the ability to use theoretical and practical knowledge about the internet as a medium of communication and information retrieval” (Doyle, 1996). Dan ketika terjadi konvergensi antara teknologi komputer dengan teknologi komunikasi, dipergunakan pula secara luas istilah “information technology literacy” maupun “ICT literacy” (ICT=Information and Communication Technology) yang memiliki arti kurang lebih sebagai “a combination of intellectual capabilities, fundamental concepts, and contemporary skills that a person should posses in order to navigate and use information technology effectively” (Young, 1999).


Jika dikaji secara seksama, keseluruhan definisi terkait dengan literacy ini memiliki kesamaan, yaitu keseluruhannya mengandung nuansa penguasaan dan penggunaan informasi sebagai sebuah faktor atau bahan baku penting untuk pencapaian obyektivitas tertentu. Oleh karena itu di dalam beberapa jurnal ilmiah disimpulkan bahwa ‘hulu’ atau root discipline dari ragam literacy tersebut adalah ‘information literacy’ yang didefinisikan sebagai ‘the ability to access, evaluate, and use information from multiple formats – books, newspapers, videos, CD-ROMs, or the Web’.



Gambar : Hubungan Antara Berbagai Literacy



Penggunaan perangkat digital lainnya seperti personal digital assistant, camera digital, tablet computing, digital videocam, dan lain sebagainya sudah sangat banyak peminatnya. Tahap selanjutnya dalam evolusi yang cukup sulit dilakukan adalah meningkatkan kemampuan e-literacy mereka ke arah penggunaan komputer dan teknologi internet untuk membantu aktivitas keseharian mereka.


Di Indonesia – khususnya di kota-kota besar – fenomena ini mulai tampak dengan dilibatkannya teknologi komputer sebagai salah satu alat bantu ajar yang dipergunakan oleh intitusi/lembaga pendidikan salah satu tujuannya untuk merangsang dan meningkatkan kemampuan multiple intelligence peserta didik (komputer sebagai alat belajar dan bermain).


Sejalan dengan perkembangan, masyarakat mulai mengenal teknologi digital lainnya yang banyak ditemukan pada sejumlah consumer products, seperti peralatan rumah tangga, perangkat yang dapat dibawa ke mana-mana (digital mobile devices), mainan, alat-alat tulis dan kantor, dan lain-lain. Teknologi tersebut akan dapat membantu masyarakat yang sudah memiliki computer literacy dan digital literacy dari awal. Tidak sulit bagi mereka untuk dapat memahami cara kerja internet dan memanfaatkannya (e-literacy).


Komunitas akademik dan kalangan masyarakat yang sudah mulai memahami akan pentingnya arti informasi sebagai salah satu faktor produksi penting dan bahan baku knowledge (pengetahuan), dengan sendirinya kemampuan information literacy akan terbentuk. Terlihat jelas bahwa evolusi e-literacy pada generasi sekarang akan jauh lebih cepat dan efektif.


Hasil kajian memperlihatkan bahwa pola evolusi e-literacy mereka sangat beragam sesuai dengan sejumlah aspek seperti: latar belakang pendidikan, lingkungan, kemampuan ekonomi, konteks pekerjaan/aktivitas, lokasi geografis (tempat tinggal), jenis kelamin, dan lain sebagainya (Schaumburg, 1999).


2. Tantangan E-Literacy


Setiap negara terdiri dari masyarakat dengan beragam portofolio generasi yang berbeda tingkat e-literacy-nya. Semakin banyak jumlah penduduk yang memiliki tingkat e-literacy yang tinggi, akan semakin kompetitif nilai keunggulan masyarakat di negara tersebut.


Realitas kekinian terlihat bahwa generasi sekarang merupakan generasi dengan tingkat e-literacy tinggi, namun baru akan memberikan kontribusi bagi negara di kemudian hari, ketika mereka memanfaatkan e-literacy dengan baik, secara masif dan terstruktur. Permasalahan muncul ketika melihat kenyataan bahwa justru masyarakat Indonesia yang pada saat ini memegang kendali atas pergerakan roda perekonomian dilakukan oleh orang-orang yang rata-rata tingkat e-literacy-nya rendah (karena mereka berada pada kuadran yang tingkat akselerasi evolusi e-literacy-nya lambat).


Kenyataan ini tidak saja berakibat semakin sulitnya Indonesia untuk bersaing secara kompetitif dengan bangsa lain di dunia, namun lebih jauh dapat mengakibatkan permasalahan di kemudian hari ketika new generation mengambil alih kendali perekonomian karena belum disiapkannya sejumlah infratruktur dan suprastruktur untuk mendukung mereka. Melihat kenyataan ini, maka tidak ada jalan lain kecuali mencoba sekuat tenaga untuk menerapkan strategi yang ampuh agar terjadi akselerasi peningkatan e-literacy secara signifikan dan dramatis (Fulk, 1993).


Tiga tahapan strategi sebagai pendekatan efektif guna mengakselerasi peningkatan e-literacy di kalangan old generation dan today’s generation, yaitu:

  • Strategi Pertama : Menciptakan Konteks (Demand Creation)

  • Strategi Kedua : Melibatkan Teknologi (Supply Providing)

  • Strategi Ketiga : Merubah Perilaku (Behaviour Change)


Strategi 1: Menciptakan Konteks


Menempatkan informasi sebagai sebuah solusi, faktor atau komponen penentu pencapaian keinginan yang dimiliki atau pemecahan permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang timbul adalah terlampau banyaknya individu yang masih berada dalam pola pikir paradigma lama yang menganggap bahwa jawaban hanya berada dalam sebuah ‘dunia fisik’ yang ditandai oleh adanya hal-hal yang dapat disentuh seperti 4M (money, men, materials, dan machine/method), bukan sebuah “dunia maya” yang didalamnya memiliki suatu value atau kekayaan baru seperti “informasi mengenai dimana money berada”, “informasi terkait dengan men yang dapat dihubungi’, ‘informasi mengenai cara mendapatkan materials yang diinginkan dengan mudah”, atau “informasi terkait dengan cara atau method melakukan sesuatu”.


Oleh karena itulah diperlukan sebuah strategi atau pendekatan yang dapat merubah paradigma maupun pola pikir seseorang di era informasi global ini yang bermuara pada tingginya nilai sebuah informasi sebagai sebuah faktor produksi penting maupun bahan baku dari pengetahuan yang berkualitas. Adalah merupakan tugas dari mereka yang telah memiliki e-literacy tinggi untuk menemukan sebuah konteks agar masyarakat yang dalam kesehari-hariannya mengalami peristiwa positif maupun negatif tersebut dapat berfikir bahwa “since information is a part of the solution, it is also a part of the solution”.


Cara mencari atau menciptakan konteks bagi mereka beraneka ragam, sesuai dengan situasi dan kondisi serta budaya masyarakat yang ada, misalnya dengan memberikan contoh, cerita sukses, analogi, dan lain sebagainya.


Strategi 2: Melibatkan Teknologi


Ketika masyarakat “sadar” dan percaya bahwa informasi merupakan jawaban atas keinginan atau permasalahan yang ada, maka mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan entiti tersebut. Pada saat inilah the value of technology dapat ditawarkan kepada mereka karena kemampuannya untuk melakukan hal-hal semacam: pencarian informasi secara lebih cepat dan akurat, menembus lintas batas geografis negara, tersedia ragam fitur atau fasilitas untuk berinteraksi dan bertransaksi secara mudah dan murah, melakukan akses terhadap informasi berkualitas yang “tak terhingga” jumlahnya, dan lain sebagainya.


Tantangan utama yang dihadapi masyarakat terkait dengan hal ini adalah tidak adanya “kemauan, kemampuan, dan pengetahuan” untuk berubah (dari yang tidak menyukai teknologi, menjadi yang technology litterate). Oleh karena itu diperlukan sebuah strategi jitu yang dapat membawa masyarakat tersebut mau dengan kesadaran penuh (atau jika perlu karena keadaan terpaksa) untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana efektif dan efisien ‘mengakuisisi’ informasi yang menjadi kebutuhannya.


Hal yang utama yang berperan di sini adalah produk teknologi terkait dengan hal ini. Semakin sulit sebuah teknologi dipergunakan atau dipandang oleh pengguna, semakin sulit pula “memaksa” masyarakat atau individu untuk menggunakannya.


Berdasarkan realitas tersebut, maka strategi yang perlu diciptakan adalah dengan melakukan aktivitas-aktivitas seperti: menciptakan teknologi tepat guna yang mudah difungsikan, mengajarkan orang lain bahwa menggunakan teknologi itu mudah dan menyenangkan. Menyediakan jasa pelatihan cara menggunakan teknologi pada berbagai komunitas, mempraktekkan kiat-kiat mencari informasi secara cepat dan tepat, membuka takbir rahasia keampuhan teknologi, dan lain sebagainya (Coovert, 1980).


Strategi 3: Merubah Perilaku


Strategi pertama dan kedua sangat mempengaruhi ada atau tidaknya perubahan perilaku dari individu atau masyarakat yang bersangkutan. Jika masyarakat dan individu yang bersangkutan pada akhirnya memperoleh bukti bahwa memang benar informasi dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi telah berhasil memberikan kontribusi bagi pencapaian keinginan maupun pemecahan masalah yang dihadapi, maka tentu saja pengalaman baik ini akan merupakan sebuah saksi pembelajaran tak ternilai bagi mereka.


Selanjutnya, individu atau masyarakat secara sadar akan selalu memperlakukan informasi sebagai sebuah asset yang sangat bernilai dan teknologi sebagai sebuah sarana atau medium atau perangkat yang mutlak untuk dipergunakan. Banyak jenis atau pendekatan strategi yang kerap dipergunakan oleh mereka yang telah berada pada tahap ini, seperti misalnya melakukan kalkulasi terhadap cost-benefit atau perbandingan antara biaya dan manfaat yang diperoleh, menceritakan kisah suksesnya tersebut ke orang lain (testimony), mencoba berbagai teknologi baru dan pendekatan pencarian informasi secara bervariasi (experiment), dan lain sebagainya.


Intinya adalah pada tahapan ini, mereka telah berada pada posisi yang “ketagihan” atau addicted terhadap sebuah entiti yang bernama informasi dan teknologi, sehingga secara perlahan-lahan namun pasti, kualitas kehidupan mereka dapat meningkat secara signifikan.


Hasil akhir dari tahapan ini adalah lahirnya kesadaran kolektif dari setiap individu dan masyarakat tentang pentingnya informasi. Pemanfaatan dan penggunaan informasi dalam memberikan kontribusi bagi pencapaian keinginan maupun pemecahan masalah yang dihadapi.


3. Tingkat Kematangan E-Literacy


Setiap individu atau masyarakat memiliki pola pematangan e-literacy-nya masing-masing. Berdasarkan pendekatan dengan menggunakan kerangka konsep atau teori Personal-Capability Maturity Model (PCMM), maka kurang lebih level e-literacy dapat digambarkan sebagai berikut :


  • Level 0 – jika seorang individu atau masyarakat sama sekali tidak tahu dan tidak perduli akan pentingnya informasi dan teknologi untuk kehidupan sehari-hari;

  • Level 1 – jika seorang individu atau masyarakat pernah memiliki pengalaman satu dua kali dimana informasi merupakan sebuah komponen penting untuk pencapaian keinginan dan pemecahan masalah, dan telah melibatkan teknologi informasi maupun komunikasi untuk mencarinya;

  • Level 2 – jika seorang individu atau masyarakat telah berkali-kali menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu aktivitasnya sehari-hari dan telah memiliki pola keberulangan dalam penggunaannya;

  • Level 3 – jika seorang individu atau masyarakat telah memiliki standar penguasaan dan pemahaman terhadap informasi maupun teknologi yang diperlukannya, dan secara konsisten mempergunakan standar tersebut sebagai acuan penyelenggaraan aktivitasnya sehari-hari;

  • Level 4 – jika seorang individu atau masyarakat telah sanggup meningkatkan secara signifikan (dapat dinyatakan secara kuantitatif) kinerja aktivitas kehidupannya sehari-hari melalui pemanfaatan informasi dan teknologi; dan

  • Level 5 – jika seorang individu atau masyarakat telah menganggap informasi dan teknologi sebagian bagian tidak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari, dan secara langsung maupun tidak langsung telah mewarnai perilaku dan budaya hidupnya (bagian dari information society atau manusia berbudaya informasi).


Peningkatan e-literacy akan sangat dipengaruhi pula oleh sejumlah faktor ekseternal lainnya, seperti: ketersediaan infrastruktur, keberadaan regulasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, kemauan politik pemerintah (political will), kualitas penyelenggaraan pendidikan, human development index, dan lain sebagainya.


Terlepas dari sejumlah faktor yang sebagian memberikan pengaruh cukup besar terhadap akselerasi pertumbuhan e-literacy masyarakat, satu hal yang harus diperhatikan bahwa saat ini tidaklah lagi relevan bagi masyarkat untuk “menunggu bola”, tetapi harus secara proaktif “menjemput bola”.


Bukan jamannya lagi untuk menunggu hingga orang lain - seperti pemerintah atau sektor swasta – datang mengulurkan tangan kepada masing-masing individu atau masyarakat sebagai sebuah harapan pertolongan, tetapi justru setiap individu dan masyarakat harus aktif mencari jalan untuk mengatasi permasalahan pelik yang dihadapinya.


Jika melihat dari kaca mata positif, maka keadaan saat ini terkait dengan perkembangan teknologi informasi di tahan air sudah lumayan bagus. Dengan semangat peribahasa “ala biasa karena biasa” dan “tak kenal maka tak sayang”, maka untuk menjadi seorang individu yang memiliki keunggulan kompetitif, tidak lagi harus “mencari ilmu sampai ke luar negeri”, namun cukup dengan keinginan dan usaha untuk “mencari ilmu sampai ke mbah google”.


Masyarakat perguruan tinggi dianggap sebagai suatu komunitas akademik, intelektual dan terpelajar yang dianggap sebagai komunitas panutan dalam berbagai usaha terkait dengan pembelajaran atau pendidikan. Hal apapun yang dilakukan oleh para masyarakat pendidikan–baik yang bergelar sarjana, magister, dan doktor – kan memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat di sekitarnya.


Mempertimbangkan hal tersebut di atas, maka merupakan tugas dari perguruan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan e-literacy di kalangan komunitas akademik, dan khususnya masyarakat Indonesia agar komunitas berbasis pengetahuan dapat dengan segera terbentuk.


4. E-literacy di Perguruan Tinggi


Istilah information literacy sering dikaitkan dengan information competency, yaitu kemampuan individu atau masyarakat dalam mendayagunakan informasi yang diperolehnya untuk membantu meningkatkan kinerja aktivitas sehari-hari.


Seorang individu dikatakan memiliki information literacy yang baik apabila yang bersangkutan dapat melakukan investigasi terhadap informasi apa yang dibutuhkan dalam suatu konteks kondisi tertentu, dapat menyatakannya dalam terminologi yang tepat, dapat melakukan pencarian secara efektif terhadap informasi berkualitas dari berbagai sumber data yang tersedia, dapat melakukan analisa berdasarkan hasil koleksi informasi tersebut, dapat memanfaatkannya untuk berbagai keperluan positif dan mendatangkan value yang signifikan, dan dapat mengolahnya lebih lanjut menjadi sebuah sumber daya pengetahuan.


Di negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris, dan Korea, rata-rata tingkat information literacy masyarakatnya sudah sedemikian tinggi karena mereka sadar bahwa informasi telah menjadi faktor produksi penting kelima selain 4M.


Pembelajaran di abad informasi menyebabkan terjadinya pergeseran fokus dari hanya penyampaian sumber informasi yang spesifik ke arah kemampuan berfikir kritis untuk menggunakan sumber-sumber informasi. Kemampuan untuk mengelola informasi yang digunakan untuk melanjutkan pengembangan profesionalitas dikenal dengan information literacy.


Penguasaan Information Literacy tidaklah sama dengan penguasaan teknologi informasi. Teknologi informasi merupakan sebagian teknik untuk menguasai Information Literacy. Information Literacy mempunyai fokus pada bagaimana mencari informasi, mengorganisasikannya, meneliti, menganalisis informasi, menilai dan mengevaluasi informasi. Cara memperoleh informasi yang diolah tersebut diantaranya dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi.


Derasnya arus informasi menjadikan dunia pendidikan tinggi harus mampu membekali mahasiswa dengan kemampuan memilih dan memilah informasi, agar dapat unggul berkompetisi di era informasi. Mengingat pentingnya kemampuan mengelola informasi tersebut, maka sudah selayaknya kebijakan dunia pendidikan mengambil rencana strategis agar kompetensi tersebut diintegrasikan dengan proses pembelajaran atau dalam kurikulum.


Pembelajaran di perguruan tinggi bertujuan menyiapkan lulusannya agar unggul dalam persaingan di era global yang ditandai dengan dominasi informasi dalam setiap laju perkembangannya. Keunggulan berkompetisi juga ditentukan oleh kecakapan lulusan menggunakan informasi (pengetahuan) yang dimilikinya dan kepiawaian mencari dan memanfaatkan informasi yang digunakan sebagai pijakan dalam mengambil keputusan.


Pengintegrasian information literacy dalam pembelajaran di perguruan tinggi dapat dilaksanakan dalam beberapa macam bentuk, di antaranya: stand-alone courses or classes, online tutorials, workbooks, course-related instruction, atau course-integrated instruction. (Plotnick, http://www.libraryinstruction.com/ infolit2.html)


Pentingnya kemampuan mengelola informasi, selayaknya perguruan tinggi membuat kebijakan dan rencana strategis agar kompetensi tersebut diintegrasikan dengan proses pembelajaran atau dalam kurikulumnya. Bahkan, jika perlu, perguruan tinggi dapat menetapkan kemampuan mengelola informasi sebagai salah satu syarat kelulusan.


Idealnya, pada saat mahasiswa baru memasuki jenjang pendidikan di perguruan tinggi, mereka sudah seharusnya dikenalkan dengan information literacy melalui materi ”Ekspositori Menulis dan Meneliti”, ”Pengenalan Dunia Perguruan Tinggi”, ”Teknologi dan Informasi”, dan ” Dasar-dasar Information Literacy”. (Rockman, 2004: 16).


Umumnya, proses pembelajaran yang terjadi di PT, belum dapat mengarahkan mahasiswa untuk dapat mengelola informasi dengan baik. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari kesulitan mahasiswa pada saat diminta untuk melakukan penelitian, atau mengidentifikasi pertanyaan sekaligus mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri.


Realitas ini menjelaskan fenomena meningkatnya kinerja dan produktivitas negara-negara tersebut secara tajam sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi – sebuah teknologi yang terkait erat dengan proses penciptaan, pengelolaan, dan penyebaran informasi. Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa keberhasilan pemerintah dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi negaranya ini tidak terlepas dari usaha segenap praktisi industri E-Literacy dan Digital Divide.


Salah satu bentuk ancaman bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk dapat bersaing di alam globalisasi adalah adanya fenomena kesenjangan digital atau yang lebih dikenal sebagai digital divide–yaitu keadaan dimana terjadi gap antara mereka yang dapat mengakses internet melalui infrastruktur teknologi informasi dengan mereka yang sama sekali tidak terjangkau oleh teknologi tersebut (Hayslett-Keck, 2001). Bahkan bagi mereka yang telah terjangkau oleh infrastruktur teknologi informasi pun belum tentu dapat memanfaatkannya secara optimum, dalam arti kata dipergunakan untuk dapat secara signifikan meningkatkan kualitas hidupnya.


Fenomena ini dipandang sebagai sebuah warna digital divide lain yang disebabkan karena rendahnya e-literacy dari kebanyakan masyarakat Indonesia, yang oleh pemerintah didefinisikan sebagai “kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya informasi serta pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi di kalangan masyarakat dalam rangka pengembangkan budaya informasi ke arah terwujudnya the information society” (Kominfo, 2003).


Dari definisi tersebut dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan e-literacy di sini merupakan kemampuan sumber daya manusia dalam menguasai sejumlah literacy yang dapat direpresentasikan melalui sebuah fungsi sebagai berikut.


e-literacy = f (ICT literacy, computer literacy, digital literacy, i-literacy)


Indonesia sebagai salah satu negara yang dianggap mengalami permasalahan digital divide (kesenjangan digital) terancam akan semakin diasingkan dan ditinggalkan oleh negara-negara lainnya jika tingkat e-literacy-nya tetap rendah. Oleh karena itu dibutuhkan strategi jitu paling tidak untuk meningkatkan e-literacy di kalangan komunitas akademik PT dan masyarakat.


5. Kerangka Program Perguruan Tinggi


Kerangka yang dapat dipergunakan oleh perguruan tinggi dalam memposisikan dirinya sebagai salah satu intitusi yang bertanggungjawab dalam membangun dan mengembangkan masyarakat pengetahuan dan agent dalam penuntasan masalah kesenjangan digital dapat dibagi menjadi 4 (empat) domain utama, masing-masing adalah :


1. Domain Pemicu (Driver Domain);

2. Domain Kebutuhan (Demand Domain);

3. Domain Penyediaan (Supply Domain); dan

4. Domain Strategi (Strategy Domain).


Penjelasan secara singkat untuk masing-masing domain tersebut, sebagai berikut :


Domain Pemicu


Domain Pemicu terkait dengan berbagai aspek latar belakang yang dibutuhkan individu atau masyarakat dalam konteks tatanan masyarakat berbasis digital atau yang kerap diistilahkan sebagai the digital society. Mengingat bahwa setiap negara memiliki konteks pemahaman dan kebutuhan yang berbeda akan karakterstik individu dan masyarakat yang dimaksud, maka perlu dilakukan kajian terlebih dahulu terhadap aspek-aspek yang terkait dengan domain ini. Hasil akhir dari analisa pada domain ini adalah ciri atau karakteristik digital society yang dimaksud, menyangkut hal-hal seperti kompetensi, keahlian, keunggulan, perilaku, dan lain sebagainya.


Di Indonesia, sejumlah kondisi makro yang dianggap sebagai pemicu adalah: globalisasi (perubahan, pergeseran, persaingan), fenomena ekonomi baru (pasar bebas dan digital economy), perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi, serta agenda reformasi.


Domain Kebutuhan


Domain Kebutuhan adalah bagian yang mencoba untuk melakukan perkiraan terhadap jumlah sumber daya manusia telematika yang dibutuhkan atau demand berdasarkan klasifikasi atau kategori tertentu dengan memperhatikan aspek karakteristik seperti yang telah didefinisikan sebelumnya.


Hasil akhir kajian pada domain ini adalah ballpark atau perhitungan kasar terhadap jumlah kebutuhan masyarakat atau individu yang dimaksud dari tahun ke tahun sesuai dengan pertumbuhan industri atau organisasi yang membutuhkannya, baik ditinjau dari segi kuantitas maupun kualitas.


Secara ideal diharapkan seluruh masyarakat Indonesia harus memiliki e-literacy dalam tingkatan tertentu, yang berarti dalam konteks Indonesia keseluruhan 280 juta rakyatnya harus menjadi “manusia telematika”. Namun untuk menuju hal tersebut tentu saja dibutuhkan waktu dan tahapan yang lebih pragmatis sesuai dengan kebutuhan yang ada.


UNESCO sendiri mengklasifikasikan manusia telematika menjadi dua kategori besar, yaitu IT-Worker dan IT-Enabled Worker. IT Worker adalah orang-orang yang memiliki kemampuan mengembangkan produk-produk teknologi informasi dan komunikasi seperti perangkat keras, perangkat lunak, dan jasa, baik yang berada dalam lingkungan industri telematika itu sendiri maupun yang tersebar di berbagai perusahaan atau organisasi yang menerapkan teknologi telematika. Sementara itu IT-Enabled Worker adalah orang-orang yang secara aktif berperan sebagai user atau pemakai/pengguna perangkat telematika untuk menunjang aktivitas sehari-hari.


Domain Penyediaan


Domain Ketersediaan adalah bagian yang memperlihatkan kondisi supply atau keberadaan sumber daya dimaksud yang dimiliki pada saat ini, baik dipandang dari segi kuantitas maupun kualitas. Tentu saja perlu dilakukan kajian secara menyeluruh terhadap semua lembaga formal maupun informal yang telah berkontribusi terhadap penciptaan individu atau masyarakat yang dimaksud.


Di sinilah secara jelas terlihat peranan perguruan tinggi yang dimaksud, yaitu sebagai sebuah lembaga formal tertinggi yang bertanggung jawab dalam penciptaan sumber daya berkualitas di bidang telematika, baik para individu bertipe IT Worker maupun IT-Enabled Worker.

Secara khusus terlihat bahwa IT Worker akan banyak dihasilkan oleh perguruan tinggi yang memiliki fakultas, jurusan, atau program studi terkait dengan informatika karena darinyalah akan lahir para profesional dengan jenjang sarjana, magister, maupun doktor.


Domain Strategi


Domain Strategi merupakan bagian yang terpenting karena berisi jawaban bagaimana negara terkait berusaha untuk menyusun strateginya berdasarkan hasil analisa gap terhadap kenyataan demand dan supply yang dimaksud. Jika ternyata ketersediaan sumber daya manusia lebih rendah dari kebutuhan yang ada, tentu saja perlu dilakukan berbagai usaha untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Kebalikannya seandainya ketersediaan sumber daya manusia melampaui tingkat kebutuhan yang ada, perlu pula dicarikan strategi bagaimana memanfaatkan kelebihan sumber daya tersebut.


Hasil akhir dari domain ini adalah berupa portofolio kegiatan atau program yang perlu dilaksanakan, dimana keseluruhannya akan membentuk suatu strategi holistik (utuh dan menyeluruh) dalam usaha mengembangan sumber daya manusia di bidang telematika.


6. E-literacy Melahirkan Daya Saing Nasional


Teknologi informasi dianggap memiliki suatu karakteristik yang sangat berbeda dengan teknologi lainnya, karena hampir semua sendi kehidupan dan sektor industri dapat menerapkannya dan memperoleh manfaat signifikan darinya.


Lihatlah bagaimana penerapan sejumlah aplikasi teknologi informasi – seperti e-commerce, e-business, e government, e-procurement, electronic data interchange, data warehouse, intranet, internet, extranet, dan lain sebagainya – telah menghasilkan berbagai value yang sungguh berarti seperti perbaikan efisiensi, peningkatan efektivitas, internal kontrol yang lebih baik, penambahan sumber-sumber pendapatan, terselenggaranya proses pengambilan keputusan yang berkualitas, dan lain sebagainya.


Agregasi dari manfaat yang diperoleh setiap organisasi atau perusahaan yang menerapkan teknologi ini akan berdampak pada terciptanya daya saing secara nasional karena telah terjadi perbaikan-perbaikan kinerja di berbagai institusi atau organisasi mikro tersebut.


Sadar akan keberadaan manfaat tersebut - terutama setelah melihat sejumlah kenyataan bagaimana negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Jepang dan Hongkong dapat meningkatkan keunggulan kompetitifnya karena keberhasilan mereka dalam menerapkan teknologi informasi di berbagai sektor kehidupan.


Pemerintah Indonesia dengan dibantu oleh berbagai kalangan akademisi, industri, dan lembaga swadaya masyarakat melahirkan suatu konsep yang diberinama Sisfonas (Sistem Informasi Nasional). Konsep yang disusun dan diperkenalkan oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi ini merupakan suatu kerangka pemikiran strategis dan holistik mengenai perencanaan, pembangunan, penerapan, dan pengembangan telematika di Indonesia yang dianggap sebagai salah satu pilar keberhasilan pembangunan bangsa dan negara.




Gambar : Sistem Informasi Nasional

Dalam sejumlah kerangka yang dipergunakan, nampak jelas terlihat peranan perguruan tinggi dalam konteks pembangunan tersebut. Fungsi utama pendidikan tinggi adalah terkait dalam hal peletakan posisi perguruan tinggi sebagai penanggung jawab terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas.


Dalam kerangka strategis Sisfonas, perguruan tinggi memiliki peranan dalam hal penyediaan suprastruktur. Adapun pembentukan sumber daya manusia yang dimaksud adalah melalui penciptaan berbagai institusi, program, dan mekanisme terkait dengan hal-hal semacam: pendidikan formal, pendidikan non formal, wadah profesional, sertifikasi, penelitian dan pengembangan, standar kompetensi, dan lain sebagainya.


Gambar : Peran Simfonas


7. Center of excellence


Arsitektur infrastruktur dan infostruktur dari Sistem Informasi Nasional memperlihatkan diterapkannya konsep sistem jaringan terdistribusi dimana seluruh wilayah geografis tanah air dibagi menjadi sejumlah simpul-simpul informasi. Mengingat bahwa setiap simpul adalah merupakan suatu entitas yang mandiri (subsistem yang dapat berjalan secara independen), maka diperlukan sejumlah perangkat infrastruktur, suprastruktur, dan infostruktur yang dapat mendukung sub-sistem tersebut.

Gambar : Lingkup Simfonas

Perlu diperhatikan bahwa simpul yang dimaksud tidak saja merepresentasikan suatu wilayah geografis seperti propinsi, kabupaten, dan kota, namun ada pula yang merepresentasikan suatu wilayah lintas geografis seperti departemen, lembaga non departemen, dan lain sebagainya. Sebagai sebuah pusat unggulan atau center of excellence, hal-hal yang diharapkan dapat dilakukan perguruan tinggi adalah:


  • Menjadi tempat untuk meningkatkan pengetahuan, kompetensi, keahlian, maupun keterampilan sumber daya manusia agar konsep Sisfonas dapat dilaksanakan secara efektif;

  • Menjadi suatu komunitas cerdas yang dapat membantu berbagai isu dan kendala yang dihadapi oleh masing-masing simpul yang ada terutama karena disebabkan oleh terbatasnya kemampuan dan pengalaman stakeholder terkait;

  • Menjadi pemicu perubahan atau agent of change di kalangan mayarakat pada simpul yang bersangkutan agar terjadi percepatan di dalam pemahaman dan penggunaan teknologi informasi; dan lain sebagainya.


Dalam kerangka inilah maka keberadaan perguruan tinggi menjadi sangat penting karena yang bersangkutan harus berperan sebagai pusat unggulan atau center of excellence pada setiap simpul yang ada tersebut. Pengembangan teknologi informasi di tanah air, perguruan tinggi harus melakukan kerjasama atau berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait Konsep yang diberi nama “The Golden Triangle”.


Gambar : The Golden Triangle


The Golden Triangle pada dasarnya adalah suatu strategi kerjasama saling sinergi antara Pemerintah, Perguruan Tinggi, dan Industri agar teknologi yang dimaksud dapat secara efektif dikembangkan untuk mendayagunakan masyarakat dalam rangka membangun masyarakat informasi dan masyarakat digital. Tanpa adanya kolaborasi tersebut, maka mustahil cita-cita nasional yang telah dicanangkan dapat dicapai sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditetapkan bersama.



PENUTUP


Era global yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan informasi yang didukung dengan perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang sangat pesat - berpeluang terciptanya masyarakat pengetahuan berbasis informasi yang memiliki keahlian mencari dan memanfaatkan informasi, berfikir kritis dan bertindak profesional dalam memecahkan masalah.


Dunia pendidikan sebagai pusat penyiapan kader generasi masa depan sudah harus membekali peserta didik (mahasiswa) dengan kemampuan information literacy. Tidak diragukan lagi, information literacy merupakan salah satu faktor yang mendukung pembangunan masyarakat pengetahuan dan kunci sukses pembelajaran di era informasi.


Information literacy yang di dukung dengan penerapan teknologi informasi di berbagai sektor kehidupan dapat meningkatkan keunggulan kompetitif, berdampak pada terciptanya daya saing secara nasional.



Referensi


  1. Doyle, Christina S., Information Literacy in an Information Society, Dari http://www.libraryinstruction.com/information-literacy2.html

  2. Fulk, J, Social Construction of Communication Technology, Academy of Management Journal, 36, 921-950, 1993

  3. Hancock, Vicki E, Information Literacy for lifelong learning. Dari http://www.libraryinstruction.com/information-literacy.html

  4. Kasowitz-Scheer,A. & Pasqualoni, M. Information Literacy Instruction in Higher Education. Dari http://www.libraryinstruction.com/higher-ed.html

  5. Kementerian Komunikasi dan Informasi, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government, Deputi Bidang Telematika, 2003

  6. Plotnick, E. Information Literacy. Dari http://www.libraryinstruction.com/infolit2.html

  7. Rockman, Ilene.F and Associates. 2004. Integrating Information Literacy into the Higher educatian Curriculum. San Francisco, John Wiley & Sons. Inc.

  8. Schaumburg, Heike, Fostering Girls’ Computer Literacy through Laptop Learning: Can Mobile Computers Help to Level Out the Gender Difference?, Venter for Media Research, Freie Universitat Berlin, Germany, 1999

  9. Valenza, J, Media specialists: Leading the way to information literacy, Retrieved February 11, 2003.

  10. Young, James, Learning to Learn: Assessing Information Technology Literacy, Inventio Magazine, October 1999, Issue 2, Vol. 1, 1999


bottom of page